Sabtu, 30 Oktober 2010

Saling Menghargai dan Toleransi, Kunci Keberhasilan Membangun Keberagaman


...sebuah esai yang tak menang dalam perlombaan... namun sengaja saya publikasikan untuk menyampaikan segala uneg-uneg saya tentang Bhineka Tunggal Ika... semoga bermanfaat


 
Tuhan menciptakan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Besar kepulauannya, besar kekayaan alamnya, hingga besar jumlah penduduknya. Dari sekitar 200 juta penduduk di Indonesia, terdapat ragam budaya serta adat istiadat yang kompleks. Indonesia memiliki sekitar 1.128 suku bangsa (data dari BPS hingga akhir Februari 2010) yang tersebar hampir di seluruh kepulauan. Sudah selayaknya sebagai generasi muda, kita bangga akan keberagaman yang ada di Indonesia. Mungkin hanya di Indonesia lah kita bisa melihat ragam warna kulit, ragam bentuk mata, ragam bentuk rambut, hingga ragam dialek. Indonesia kaya akan budaya yang bukan hanya berbeda tiap propinsi, kadang meski masih satu propinsi budaya yang dimiliki masing-masing daerah pun beragam. Contohnya, bahasa Jawa yang dipakai di daerah Yogyakarta akan berbeda jika dibandingkan dengan dialek bahasa Jawa orang-orang Semarang. Ada juga daerah seperti Kebumen, Brebes, Tegal, atau Probolinggo yang dialek Jawanya sangat khas “ngapak”. Itu baru contoh yang berasal dari satu suku (suku Jawa) dan satu propinsi (Jawa Tengah), tentu masih banyak lagi ragam budaya yang dimiliki daerah-daerah di Indonesia. Bukan hanya suku bangsa atau pun adat istiadat saja yang beragam, setidaknya ada enam kepercayaan (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, serta Konghuchu)  yang diakui di Indonesia. Berangkat dari segala keberagaman itulah bangsa Indonesia masih bisa bertahan sampai sekarang.
Salah satu semboyan bangsa Indonesia yang begitu fasih kita kenal adalah Bhineka Tunggal Ika yang berarti “walaupun berbeda-beda namun tetap satu juga”. Ciri khas Indonesia sangat nampak dari semboyan tadi. Bangsa Indonesia dipersatukan melalui ribuan suku bangsa yang ada, ribuan budaya yang berbeda, serta ragam kepercayaan yang dianut. Bahkan sebaris lirik lagu Kahitna dengan judul Bumi Indonesia pun seolah menceritakan kebanggaan akan bangsa ini: “..seribu perbedaan tak mengubah bangsaku, kejayaan hanya untuk bumi Indonesia...”. Saya sendiri merasa sangat bersyukur saat Tuhan menetapkan saya untuk lahir dan hidup di Indonesia. Saya belajar banyak hal dari kebragaman di sini, terutama dalam hal saling menghormati. Indonesia memiliki masyarakat yang begitu ramah dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Meski hidup dengan segala perbedaan (baik budaya maupun agama), masyarakat Indonesia tak pernah menganggap perbedaan itu sebagai masalah melainkan sebagai bagian dari kekayaan dan keunikan Indonesia.
Namun belakangan ini ada beberapa kelompok yang nampaknya mulai mencederai makna Bhineka Tunggal Ika. Salah satu contoh yang baru saja terjadi adalah kejadian yang menimpa jemaat Gereja HKBP Bekasi pada bulan Agustus 2010 silam. Sekelompok orang melarang para jemaat Gereja HKBP untuk melakukan ibadah di hari Minggu. Tak jelas apa motif dari tindakan itu. Selain itu penyebab adanya pelarangan ibadah pun masih simpang siur. Buntut dari masalah ini nampaknya melebar bahkan mulai menjalar ke masyarakat pada umumnya. Beberapa komentar yang muncul pada situs-situs internet yang memberitakan kasus ini sungguh memprihatinkan. Perang argumen dan lontaran kata-kata kotor menjadi penyedap berita ini. Sungguh sangat disayangkan mengapa masyarakat ini masih sangat mudah tersulut emosi dan mulai melupakan nilai-nilai toleransi yang ada. Bukan hanya soal agama saja yang menjadi hits akhir-akhir ini, kerusuhan yang masih sering terjadi di Ambon, Maluku, maupun Papua juga menjadi bukti mulai terkikisnya rasa kebanggaan akan keberagaman di Indonesia.
Saya rasa akar dari segala masalah yang berhubungan dengan keberagaman tadi adalah kurangnya rasa saling menghormati di antara sesama. Selama 20 tahun hidup di Indonesia saya tak mengalami banyak masalah tentang keberagaman. Saya seorang Nasrani dan saya sudah terbiasa hidup  sebagai kaum minoritas. Mayoritas penduduk di Indonesia merupakan Muslim dan sudah hal yang wajar jika orang-orang terdekat saya pun kebanyakan juga Muslim. Sejak TK sampai sekarang saya sudah terbiasa dengan kata-kata seperti Assalamualikum, Astagfiruglah, Alhamdulilah, dan masih banyak “kata-kata” yang sering dipakai umat Islam. Saat saya duduk di bangku TK dan SD, saya merupakan satu-satunya penganut agama Kristen. Awalnya saya sempat minder dan risih, namun lama-kelamaan saya terbiasa juga hidup di sekeliling umat Muslim. Saya juga tak sungkan membalas sapaan assalamualikum dengan walaikumsalam (bagi saya sapaan itu sama dengan kata Syaloom yang dipakai sehari-hari di Gereja, hanya saja assalamualikum merupakan bahasa Arab). Saya jamin sebenarnya Islam dan Kristen itu mampu hidup berdampingan. Tahun ini saya melewatkan bulan Ramadhan di kost dan saya bisa menghormati ibadah teman-teman kost saya. Setiap waktu sahur sekitar pukul 03.00 saya ikut teman-teman saya membeli makan sahur. Tanpa saya sadari saya juga kadang ikut-ikutan puasa seperti yang lain. Tak jarang pula saya sering ikut acara buka bersama dengan teman-teman. Intinya, meski lahir sebagai minoritas namun saya bisa merasakan hidup bahagia bersama kaum mayoritas. Perselisihan tak akan timbul jika kita mampu menempatkan diri kita dengan tepat dan mau menghargai sesama kita. Rasa bangga akan agama yang kita anut memang penting, namun jangan sampai kebanggaan  tadi mampu melecehkan pemeluk agama lain.
Cerita saya di atas hanya bagian dari seklumit kisah toleransi yang ada. Ada lagi satu kisah yang mungkin bisa membuka mata kita akan indahnya keberagaman. Setelah lulus SMA saya melanjutkan studi saya ke Universitas Diponegoro Semarang. Di tempat ini lah saya bisa melihat keanekaragaman budaya Indonesia. Saya menjumpai banyak orang di kampus mulai dari orang Jawa, orang Sunda, sampai orang Batak. Awalnya saya geli mendengar logat bicara teman saya yang berasal dari Bima. Selain logatnya yang begitu aneh di telinga saya, cara bicara teman saya yang begitu keras tak jarang membuat saya harus menutup telinga. Teman saya yang dari Batak juga hampir sama gaya bicaranya dengan orang Bima (keras dan lantang. Kadang gayanya terkesan “menggurui”). Lain lagi dengan orang Sunda yang begitu halus dalam bicara dengan bahasa Sunda (tentu saja bahasa Sunda juga agak lucu di telinga saya). Ada juga teman saya yang meski sama-sama fasih berbahasa Jawa, namun kosakata kami sangatlah berbeda. Orang-orang Semarang jauh lebih fasih berbicara “bahasa Jawa ngoko” ketimbang “bahasa Jawa krama inggil” (bahkan kebanyakan dari mereka tidak bisa memakai “bahasa Jawa krama inggil”). Bahasa Jawa orang Semarang terkesan dan terdengar lebih kasar daripada orang-orang Yogyakarta atau pun Solo. Dalam hal budaya terutama bahasa, kami memang berbeda-beda. Untuk berkomunikasi tentu kami memakai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Namun lama-kelamaan tak jarang juga beberapa teman saya yang dari luar Jawa mulai belajar bahasa Jawa. Meski kosakata yang diapakai masih terbatas dan sangat lucu jika didengarkan, teman-teman saya nampak bersemangat belajar bahasa Jawa. Bahkan ada satu orang yang selalu mencatat tiap kosakata baru dalam bahasa Jawa di buku catatannya. Nampaknya teman-teman saya mempunyai cara tersendiri untuk menghargai keberagaman yang ada. Ketika mereka hidup di tanah Jawa, maka segala tutur dan tindakan mereka harus dijaga agar sesuai dengan budaya yang ada.
Banyak cara untuk menunjukkan rasa bangga akan keberagaman budaya di Indonesia. Saya dan teman-teman angkatan saya punya cara sendiri untuk melestarikan budaya Indonesia. Misalnya, tiap hari Kamis kami sepakat untuk memakai baju batik saat ke kampus (walau harus diakui juga ada beberapa yang enggan memakai batik). Teman-teman yang berasal dari luar Jawa dan tidak terbiasa memakai batik pun sanggat bangga bisa mengenakan batik saat di kampus. Ini bukti bahwa berawal dari rasa saling menghargai (mereka yang bukan orang Jawa dengan senang hati memakai batik) maka segala keberagaman yang ada akan menjadi penguat kebersamaan di antara kami. Selain melestarikan batik di kalangan anak muda, beberapa dari kami juga melestarikan salah satu budaya Indonesia yang lain, yaitu tari Saman. Tarian yang berasal dari daerah Aceh ini menjadi inspirasi bagi kami untuk mendirikan perkumpulan tari Saman. Para anggotanya pun kebanyakan bukan berasal dari Aceh. Kami dari berbagai suku dan latar belakang berbeda bekerja sama melestarikan tari Saman. Tari Saman kemudian menjadi hiburan tersendiri yang dinanti-nanti di tiap acara seperti seminar maupun penerimaan mahasiswa baru. Satu lagi bukti bahwa keberagaman yang ada justru mampu membuat sebuah budaya tak akan mati.
Dari semua kisah yang saya alami, saya bisa katakan bahwa keberagaman bukanlah alasan untuk kita menjadi terpecah. Rasa untuk mau saling menghormati dan menghargai budaya serta agama orang lain menjadi kunci lestarinya keberagaman itu. Sudah sewajarnya kita mengingat bahwa Indonesia diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai perbedaan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika bukanlah semboyan yang “main-main”. Ada sebuah doa dan harapan dalam makna semboyan tadi. Jika kami para mahasiswa yang baru seumur jagung “melek” mampu membuat keindahan di balik segala perbedaan kami, saya yakin masyarakat Indonesia yang lain pun mampu. Kuncinya adalah saling menghargai. Jangan pernah menganggap budaya atau agama kita lebih baik daripada milik orang lain. Segala provokasi yang dapat memicu konflik hendaknya tak membuat kita mudah tersulut amarah. Justru jadikan provokasi-provokasi tadi menjadi pelecut bagi kta untuk bisa bertahan hidup dengan saling menghargai di atas segala keberagaman. Ada baiknya kita melakukan perubahan mulai dari diri sendiri dengan harapan suatu saat kemudian perbuatan kita mampu dicontoh orang lain. Saya percaya bahwa satu perbuatan kecil mampu mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
 Keberagaman di Indonesia selayaknya dijadikan kekayaan Indonesia yang paling berharga. Seperti yang sudah saya ulas di depan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang unik. Unik karena masyarakatnya memiliki latar belakang, fisik, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Enam puluh lima tahun sudah Indonesia berdiri tegak meski dengan keberagaman yang ada. Berbagai konflik yang timbul (konflik agama, konflik etnis, maupun konflik-konflik yang lain) lebih disebabkan karena kurangnya rasa menghargai dan toleransi di antara kita. Marilah dengan berbagai perbedaan yang kita miliki, kita bangun dan lestarikan kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Milikilah rasa bangga akan keberagaman ini. Ingatlah bahwa tonggak dari negara ini pun karena adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika: walaupun berbeda-beda namun tetap satu juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 30 Oktober 2010

Saling Menghargai dan Toleransi, Kunci Keberhasilan Membangun Keberagaman


...sebuah esai yang tak menang dalam perlombaan... namun sengaja saya publikasikan untuk menyampaikan segala uneg-uneg saya tentang Bhineka Tunggal Ika... semoga bermanfaat


 
Tuhan menciptakan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Besar kepulauannya, besar kekayaan alamnya, hingga besar jumlah penduduknya. Dari sekitar 200 juta penduduk di Indonesia, terdapat ragam budaya serta adat istiadat yang kompleks. Indonesia memiliki sekitar 1.128 suku bangsa (data dari BPS hingga akhir Februari 2010) yang tersebar hampir di seluruh kepulauan. Sudah selayaknya sebagai generasi muda, kita bangga akan keberagaman yang ada di Indonesia. Mungkin hanya di Indonesia lah kita bisa melihat ragam warna kulit, ragam bentuk mata, ragam bentuk rambut, hingga ragam dialek. Indonesia kaya akan budaya yang bukan hanya berbeda tiap propinsi, kadang meski masih satu propinsi budaya yang dimiliki masing-masing daerah pun beragam. Contohnya, bahasa Jawa yang dipakai di daerah Yogyakarta akan berbeda jika dibandingkan dengan dialek bahasa Jawa orang-orang Semarang. Ada juga daerah seperti Kebumen, Brebes, Tegal, atau Probolinggo yang dialek Jawanya sangat khas “ngapak”. Itu baru contoh yang berasal dari satu suku (suku Jawa) dan satu propinsi (Jawa Tengah), tentu masih banyak lagi ragam budaya yang dimiliki daerah-daerah di Indonesia. Bukan hanya suku bangsa atau pun adat istiadat saja yang beragam, setidaknya ada enam kepercayaan (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, serta Konghuchu)  yang diakui di Indonesia. Berangkat dari segala keberagaman itulah bangsa Indonesia masih bisa bertahan sampai sekarang.
Salah satu semboyan bangsa Indonesia yang begitu fasih kita kenal adalah Bhineka Tunggal Ika yang berarti “walaupun berbeda-beda namun tetap satu juga”. Ciri khas Indonesia sangat nampak dari semboyan tadi. Bangsa Indonesia dipersatukan melalui ribuan suku bangsa yang ada, ribuan budaya yang berbeda, serta ragam kepercayaan yang dianut. Bahkan sebaris lirik lagu Kahitna dengan judul Bumi Indonesia pun seolah menceritakan kebanggaan akan bangsa ini: “..seribu perbedaan tak mengubah bangsaku, kejayaan hanya untuk bumi Indonesia...”. Saya sendiri merasa sangat bersyukur saat Tuhan menetapkan saya untuk lahir dan hidup di Indonesia. Saya belajar banyak hal dari kebragaman di sini, terutama dalam hal saling menghormati. Indonesia memiliki masyarakat yang begitu ramah dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Meski hidup dengan segala perbedaan (baik budaya maupun agama), masyarakat Indonesia tak pernah menganggap perbedaan itu sebagai masalah melainkan sebagai bagian dari kekayaan dan keunikan Indonesia.
Namun belakangan ini ada beberapa kelompok yang nampaknya mulai mencederai makna Bhineka Tunggal Ika. Salah satu contoh yang baru saja terjadi adalah kejadian yang menimpa jemaat Gereja HKBP Bekasi pada bulan Agustus 2010 silam. Sekelompok orang melarang para jemaat Gereja HKBP untuk melakukan ibadah di hari Minggu. Tak jelas apa motif dari tindakan itu. Selain itu penyebab adanya pelarangan ibadah pun masih simpang siur. Buntut dari masalah ini nampaknya melebar bahkan mulai menjalar ke masyarakat pada umumnya. Beberapa komentar yang muncul pada situs-situs internet yang memberitakan kasus ini sungguh memprihatinkan. Perang argumen dan lontaran kata-kata kotor menjadi penyedap berita ini. Sungguh sangat disayangkan mengapa masyarakat ini masih sangat mudah tersulut emosi dan mulai melupakan nilai-nilai toleransi yang ada. Bukan hanya soal agama saja yang menjadi hits akhir-akhir ini, kerusuhan yang masih sering terjadi di Ambon, Maluku, maupun Papua juga menjadi bukti mulai terkikisnya rasa kebanggaan akan keberagaman di Indonesia.
Saya rasa akar dari segala masalah yang berhubungan dengan keberagaman tadi adalah kurangnya rasa saling menghormati di antara sesama. Selama 20 tahun hidup di Indonesia saya tak mengalami banyak masalah tentang keberagaman. Saya seorang Nasrani dan saya sudah terbiasa hidup  sebagai kaum minoritas. Mayoritas penduduk di Indonesia merupakan Muslim dan sudah hal yang wajar jika orang-orang terdekat saya pun kebanyakan juga Muslim. Sejak TK sampai sekarang saya sudah terbiasa dengan kata-kata seperti Assalamualikum, Astagfiruglah, Alhamdulilah, dan masih banyak “kata-kata” yang sering dipakai umat Islam. Saat saya duduk di bangku TK dan SD, saya merupakan satu-satunya penganut agama Kristen. Awalnya saya sempat minder dan risih, namun lama-kelamaan saya terbiasa juga hidup di sekeliling umat Muslim. Saya juga tak sungkan membalas sapaan assalamualikum dengan walaikumsalam (bagi saya sapaan itu sama dengan kata Syaloom yang dipakai sehari-hari di Gereja, hanya saja assalamualikum merupakan bahasa Arab). Saya jamin sebenarnya Islam dan Kristen itu mampu hidup berdampingan. Tahun ini saya melewatkan bulan Ramadhan di kost dan saya bisa menghormati ibadah teman-teman kost saya. Setiap waktu sahur sekitar pukul 03.00 saya ikut teman-teman saya membeli makan sahur. Tanpa saya sadari saya juga kadang ikut-ikutan puasa seperti yang lain. Tak jarang pula saya sering ikut acara buka bersama dengan teman-teman. Intinya, meski lahir sebagai minoritas namun saya bisa merasakan hidup bahagia bersama kaum mayoritas. Perselisihan tak akan timbul jika kita mampu menempatkan diri kita dengan tepat dan mau menghargai sesama kita. Rasa bangga akan agama yang kita anut memang penting, namun jangan sampai kebanggaan  tadi mampu melecehkan pemeluk agama lain.
Cerita saya di atas hanya bagian dari seklumit kisah toleransi yang ada. Ada lagi satu kisah yang mungkin bisa membuka mata kita akan indahnya keberagaman. Setelah lulus SMA saya melanjutkan studi saya ke Universitas Diponegoro Semarang. Di tempat ini lah saya bisa melihat keanekaragaman budaya Indonesia. Saya menjumpai banyak orang di kampus mulai dari orang Jawa, orang Sunda, sampai orang Batak. Awalnya saya geli mendengar logat bicara teman saya yang berasal dari Bima. Selain logatnya yang begitu aneh di telinga saya, cara bicara teman saya yang begitu keras tak jarang membuat saya harus menutup telinga. Teman saya yang dari Batak juga hampir sama gaya bicaranya dengan orang Bima (keras dan lantang. Kadang gayanya terkesan “menggurui”). Lain lagi dengan orang Sunda yang begitu halus dalam bicara dengan bahasa Sunda (tentu saja bahasa Sunda juga agak lucu di telinga saya). Ada juga teman saya yang meski sama-sama fasih berbahasa Jawa, namun kosakata kami sangatlah berbeda. Orang-orang Semarang jauh lebih fasih berbicara “bahasa Jawa ngoko” ketimbang “bahasa Jawa krama inggil” (bahkan kebanyakan dari mereka tidak bisa memakai “bahasa Jawa krama inggil”). Bahasa Jawa orang Semarang terkesan dan terdengar lebih kasar daripada orang-orang Yogyakarta atau pun Solo. Dalam hal budaya terutama bahasa, kami memang berbeda-beda. Untuk berkomunikasi tentu kami memakai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Namun lama-kelamaan tak jarang juga beberapa teman saya yang dari luar Jawa mulai belajar bahasa Jawa. Meski kosakata yang diapakai masih terbatas dan sangat lucu jika didengarkan, teman-teman saya nampak bersemangat belajar bahasa Jawa. Bahkan ada satu orang yang selalu mencatat tiap kosakata baru dalam bahasa Jawa di buku catatannya. Nampaknya teman-teman saya mempunyai cara tersendiri untuk menghargai keberagaman yang ada. Ketika mereka hidup di tanah Jawa, maka segala tutur dan tindakan mereka harus dijaga agar sesuai dengan budaya yang ada.
Banyak cara untuk menunjukkan rasa bangga akan keberagaman budaya di Indonesia. Saya dan teman-teman angkatan saya punya cara sendiri untuk melestarikan budaya Indonesia. Misalnya, tiap hari Kamis kami sepakat untuk memakai baju batik saat ke kampus (walau harus diakui juga ada beberapa yang enggan memakai batik). Teman-teman yang berasal dari luar Jawa dan tidak terbiasa memakai batik pun sanggat bangga bisa mengenakan batik saat di kampus. Ini bukti bahwa berawal dari rasa saling menghargai (mereka yang bukan orang Jawa dengan senang hati memakai batik) maka segala keberagaman yang ada akan menjadi penguat kebersamaan di antara kami. Selain melestarikan batik di kalangan anak muda, beberapa dari kami juga melestarikan salah satu budaya Indonesia yang lain, yaitu tari Saman. Tarian yang berasal dari daerah Aceh ini menjadi inspirasi bagi kami untuk mendirikan perkumpulan tari Saman. Para anggotanya pun kebanyakan bukan berasal dari Aceh. Kami dari berbagai suku dan latar belakang berbeda bekerja sama melestarikan tari Saman. Tari Saman kemudian menjadi hiburan tersendiri yang dinanti-nanti di tiap acara seperti seminar maupun penerimaan mahasiswa baru. Satu lagi bukti bahwa keberagaman yang ada justru mampu membuat sebuah budaya tak akan mati.
Dari semua kisah yang saya alami, saya bisa katakan bahwa keberagaman bukanlah alasan untuk kita menjadi terpecah. Rasa untuk mau saling menghormati dan menghargai budaya serta agama orang lain menjadi kunci lestarinya keberagaman itu. Sudah sewajarnya kita mengingat bahwa Indonesia diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai perbedaan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika bukanlah semboyan yang “main-main”. Ada sebuah doa dan harapan dalam makna semboyan tadi. Jika kami para mahasiswa yang baru seumur jagung “melek” mampu membuat keindahan di balik segala perbedaan kami, saya yakin masyarakat Indonesia yang lain pun mampu. Kuncinya adalah saling menghargai. Jangan pernah menganggap budaya atau agama kita lebih baik daripada milik orang lain. Segala provokasi yang dapat memicu konflik hendaknya tak membuat kita mudah tersulut amarah. Justru jadikan provokasi-provokasi tadi menjadi pelecut bagi kta untuk bisa bertahan hidup dengan saling menghargai di atas segala keberagaman. Ada baiknya kita melakukan perubahan mulai dari diri sendiri dengan harapan suatu saat kemudian perbuatan kita mampu dicontoh orang lain. Saya percaya bahwa satu perbuatan kecil mampu mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
 Keberagaman di Indonesia selayaknya dijadikan kekayaan Indonesia yang paling berharga. Seperti yang sudah saya ulas di depan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang unik. Unik karena masyarakatnya memiliki latar belakang, fisik, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Enam puluh lima tahun sudah Indonesia berdiri tegak meski dengan keberagaman yang ada. Berbagai konflik yang timbul (konflik agama, konflik etnis, maupun konflik-konflik yang lain) lebih disebabkan karena kurangnya rasa menghargai dan toleransi di antara kita. Marilah dengan berbagai perbedaan yang kita miliki, kita bangun dan lestarikan kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Milikilah rasa bangga akan keberagaman ini. Ingatlah bahwa tonggak dari negara ini pun karena adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika: walaupun berbeda-beda namun tetap satu juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar