Rabu, 18 Agustus 2010

DULU "PENJAJAHAN FISIK", KINI "PENJAJAHAN MORAL"

Sudah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka. Usia enam puluh lima bukanlah usia remaja lagi. Jika diibaratkan manusia, di usia itulah manusia sudah banyak menjalani pahit manis kehidupan. Indonesia bukan lagi “remaja” yang sedang berusaha mencari jati dirinya, melainkan negara yang seharusnya sudah mampu memperbaiki diri dari banyak masalah di negara ini. Meski secara yuridis dan de facto Indonesia telah merdeka sejak enam puluh lima tahun yang lalu, kini nampaknya bangsa ini harus menerima kenyataaan kalau kembali “terjajah”. Perjuangan merebut kemerdekaan oleh para pahlawan sejak bertahun-tahun yang lalu nampaknya sia-sia jika melihat kondisi bangsa ini sekarang.

Apakah sekarang benar-benar sudah merdeka? Ada baiknya kita telisik dulu definisi merdeka tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka artinya bebas dari penghambaan, penjajahan, dan lain-lain; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; atau leluasa. Jika dilihat dari peristiwa enam puluh lima tahun yang lalu, memang bisa dikatakan Indonesia telah merdeka. Dalam sejarah tercatat setidaknya ada lima bangsa yang pernah menjajah Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang. Bentuk penjajahan oleh kelima bangsa tersebut lebih bersifat “penjajahan fisik” (misal kerja paksa di zaman Jepang: romusha). Kini kita telah bebas dari belenggu kelima bangsa tadi dan berdiri sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan. Namun jika kita lebih mau membuka mata, sebenarnya negara ini kembali “terjajah” di tengah “kemerdekaan” yang dirasakan. Ibarat paradoks, bangsa ini mencoba menutupi jenis “penjajahan” yang ada saat ini dengan “perayaan kemerdekaan” di berbagai daerah.

Tak ada yang salah jika hari kemerdekaan Indonesia selalu dirayakan di mana-mana. Hal itu wajar dilakukan karena bisa dianggap sebagai bentuk ungkapan syukur bangsa ini atas kemerdekaan yang diberikan oleh Tuhan. Segala upaya perayaan kemerdekaan tadi diharapkan mampu menumbuhkan semangat patriotisme dan cinta tanah air bagi penduduk Indonesia, terutama generasi muda. Namun marilah kita sejenak meninggalkan kemeriahan perayaan kemerdekaan dengan melihat kondisi bangsa ini sekarang. Masihkah kita berkata “merdeka” saat kita melihat bobroknya hukum di negara ini? Masih lantangkah kita berseru “merdeka” saat kita melihat pincangnya keadilan di negara ini? Masih banggakah kita sebagai bangsa “merdeka” saat melihat kebodohan, kemiskinan, kemerosotan moral, ketidaktertiban, hingga korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mendominasi berita di koran-koran?

Bentuk penjajahan saat ini bukanlah “penjajahan fisik” lagi, melainkan “penjajahan moral”. Kini norma agama seolah mulai dilupakan. Batasan akan apa yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan mulai samar. Banyak pemimpin bangsa korupsi demi memenuhi kepuasan pribadi. Nilai-nilai kebenaran tak lagi nampak. Tak usahlah jauh-jauh mencari contoh penjajahan tadi. Bobroknya moral para pemimpin bangsa telah menyebabkan jutaan masyarakat hidup dalam kemiskinan. Meski digadang-gadangkan program sekolah gratis, toh masih ada anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena tak mampu membayar biaya pendidikan yang makin lama makin tinggi. Bersekolah merupakan “hak” bagi setiap anak. Jika anak-anak tak bisa bersekolah, itukah yang disebut “merdeka”? Bukan hanya pemimpin bangsa yang mengalami kemorosotan moral. Bahkan generasi muda sekarang pun dengan mudah “terjajah” oleh budaya barat. Mulai dari fashion hingga perilaku orang-orang barat seolah sudah hampir mendarah danging di sini. Kini nampaknya sudah tak tabu lagi melakukan free sex bagi generasi muda. Bahkan video asusila mulai mudah beredar dan laris dinikmati bak kacang goreng.  Selain itu drugs seolah menjadi gaya hidup bagi anak muda zaman sekarang. Tuntutan hidup yang keras yang tidak diimbangi kemampuan untuk survive tak bisa dipungkiri menjadi penyebab utama anak muda mudah jatuh dalam lembah hitam.

Sulit rasanya mencari siapa yang salah dan wajib bertanggung jawab atas kemerosotan bangsa ini di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-65. Satu hal yang wajib dilakukan adalah memupuk kesadaran diri kita terlebih dahulu untuk berbuat yang lebih baik. Lakukanlah dari hal-hal kecil seperti kejujuran, optimisme, dan semangat pantang menyerah dari diri kita. Tak usah lah para mahasiswa berteriak “maling” pada para koruptor kalau mereka juga belum bisa berbuat “jujur” saat ujian. Janganlah kita sering memaki-maki pemerintah atas segala kebijakannya kalau kita sendiri masih belum bisa menata keteraturan dalam kehidupan kita masing-masing. Dekatkanlah diri pada Tuhan dan berpegang teguh lah pada aturanNya karena aturanNya jauh lebih sempurna daripada aturan yang dibuat manusia. Saya percaya, INDONESIA pasti BISA keluar dari “penjajahan moral” ini. Salam merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 18 Agustus 2010

DULU "PENJAJAHAN FISIK", KINI "PENJAJAHAN MORAL"

Sudah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka. Usia enam puluh lima bukanlah usia remaja lagi. Jika diibaratkan manusia, di usia itulah manusia sudah banyak menjalani pahit manis kehidupan. Indonesia bukan lagi “remaja” yang sedang berusaha mencari jati dirinya, melainkan negara yang seharusnya sudah mampu memperbaiki diri dari banyak masalah di negara ini. Meski secara yuridis dan de facto Indonesia telah merdeka sejak enam puluh lima tahun yang lalu, kini nampaknya bangsa ini harus menerima kenyataaan kalau kembali “terjajah”. Perjuangan merebut kemerdekaan oleh para pahlawan sejak bertahun-tahun yang lalu nampaknya sia-sia jika melihat kondisi bangsa ini sekarang.

Apakah sekarang benar-benar sudah merdeka? Ada baiknya kita telisik dulu definisi merdeka tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka artinya bebas dari penghambaan, penjajahan, dan lain-lain; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; atau leluasa. Jika dilihat dari peristiwa enam puluh lima tahun yang lalu, memang bisa dikatakan Indonesia telah merdeka. Dalam sejarah tercatat setidaknya ada lima bangsa yang pernah menjajah Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang. Bentuk penjajahan oleh kelima bangsa tersebut lebih bersifat “penjajahan fisik” (misal kerja paksa di zaman Jepang: romusha). Kini kita telah bebas dari belenggu kelima bangsa tadi dan berdiri sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan. Namun jika kita lebih mau membuka mata, sebenarnya negara ini kembali “terjajah” di tengah “kemerdekaan” yang dirasakan. Ibarat paradoks, bangsa ini mencoba menutupi jenis “penjajahan” yang ada saat ini dengan “perayaan kemerdekaan” di berbagai daerah.

Tak ada yang salah jika hari kemerdekaan Indonesia selalu dirayakan di mana-mana. Hal itu wajar dilakukan karena bisa dianggap sebagai bentuk ungkapan syukur bangsa ini atas kemerdekaan yang diberikan oleh Tuhan. Segala upaya perayaan kemerdekaan tadi diharapkan mampu menumbuhkan semangat patriotisme dan cinta tanah air bagi penduduk Indonesia, terutama generasi muda. Namun marilah kita sejenak meninggalkan kemeriahan perayaan kemerdekaan dengan melihat kondisi bangsa ini sekarang. Masihkah kita berkata “merdeka” saat kita melihat bobroknya hukum di negara ini? Masih lantangkah kita berseru “merdeka” saat kita melihat pincangnya keadilan di negara ini? Masih banggakah kita sebagai bangsa “merdeka” saat melihat kebodohan, kemiskinan, kemerosotan moral, ketidaktertiban, hingga korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mendominasi berita di koran-koran?

Bentuk penjajahan saat ini bukanlah “penjajahan fisik” lagi, melainkan “penjajahan moral”. Kini norma agama seolah mulai dilupakan. Batasan akan apa yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan mulai samar. Banyak pemimpin bangsa korupsi demi memenuhi kepuasan pribadi. Nilai-nilai kebenaran tak lagi nampak. Tak usahlah jauh-jauh mencari contoh penjajahan tadi. Bobroknya moral para pemimpin bangsa telah menyebabkan jutaan masyarakat hidup dalam kemiskinan. Meski digadang-gadangkan program sekolah gratis, toh masih ada anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena tak mampu membayar biaya pendidikan yang makin lama makin tinggi. Bersekolah merupakan “hak” bagi setiap anak. Jika anak-anak tak bisa bersekolah, itukah yang disebut “merdeka”? Bukan hanya pemimpin bangsa yang mengalami kemorosotan moral. Bahkan generasi muda sekarang pun dengan mudah “terjajah” oleh budaya barat. Mulai dari fashion hingga perilaku orang-orang barat seolah sudah hampir mendarah danging di sini. Kini nampaknya sudah tak tabu lagi melakukan free sex bagi generasi muda. Bahkan video asusila mulai mudah beredar dan laris dinikmati bak kacang goreng.  Selain itu drugs seolah menjadi gaya hidup bagi anak muda zaman sekarang. Tuntutan hidup yang keras yang tidak diimbangi kemampuan untuk survive tak bisa dipungkiri menjadi penyebab utama anak muda mudah jatuh dalam lembah hitam.

Sulit rasanya mencari siapa yang salah dan wajib bertanggung jawab atas kemerosotan bangsa ini di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-65. Satu hal yang wajib dilakukan adalah memupuk kesadaran diri kita terlebih dahulu untuk berbuat yang lebih baik. Lakukanlah dari hal-hal kecil seperti kejujuran, optimisme, dan semangat pantang menyerah dari diri kita. Tak usah lah para mahasiswa berteriak “maling” pada para koruptor kalau mereka juga belum bisa berbuat “jujur” saat ujian. Janganlah kita sering memaki-maki pemerintah atas segala kebijakannya kalau kita sendiri masih belum bisa menata keteraturan dalam kehidupan kita masing-masing. Dekatkanlah diri pada Tuhan dan berpegang teguh lah pada aturanNya karena aturanNya jauh lebih sempurna daripada aturan yang dibuat manusia. Saya percaya, INDONESIA pasti BISA keluar dari “penjajahan moral” ini. Salam merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar