Kamis, 10 Februari 2011

Gue Aman-Aman Aja di Tengah Para Mayoritas!!!

Akhir-akhir ini kupingku rada panas jika mendengar berita tentang pembakaran Gereja yang terjadi di Temanggung. Kebenaran akan berita itu pun masih simpang siur. Bahkan aku sebenarnya tak peduli apa yang melatarbelakangi kejadian itu. Aku sempat marah, wajarlah.. Aku seorang nasrani yang juga tiap Minggu beribadah ke Gereja.  Kalau tempat buat ibadahku saja dirusak, wajar pula kalau aku kemudian pesimis terhadap kebebasan beragama di negara ini. Kadang rada kecewa juga kalau melihat Pak SBY hanya bilang: "Saya prihatin". Woi Pak... Sadar ga sih bangsa ini ga cuma butuh keprihatinan dari Bapak! Tiap kali pidato selalu bilang: "Saya prihatin". Aku juga bisa kalau cuma bilang begitu...


Back to topic, di mata aku yang awam dan memang kurang tahu kronologi kejadiannya, bisa aku katakan bahwa mereka yang berani merusak rumah ibadah itu bukanlah orang beragama. Mengapa? Karena mana ada orang beragama, orang yang meneriakkan nama Tuhan, justru membakar "rumah Tuhan" sendiri? Kalau pun memang mau merusak janganlah bawa-bawa nama Tuhan, bawa-bawa nama agama. Tuhan mana rela kalau tempat para umatNya beribadah dibakar seperti itu. Mungkin Tuhan mana rela juga namaNya sembarangan dipakai ama orang-orang macam itu. Mereka, yang membakar Gereja-gereja, hanya membuat sebuah jurang pemisah antarumat beragama. Aku yakin sebeluum kehadiran mereka yang membuat onar itu kehidupan umat beragama di sana damai-damai saja. Akibat ulah mereka, status kawan-kawan baik di Facebook maupun Twitter menjadi sangat alay. Ada yang marah, ada yang saling mencaci, bahkan sampai membawa-bawa SARA. Satu pertanyaanku: bahagiakah mereka yang telah membuat bangsa ini terpecah?

Mau tidak mau, kita harus menerima bahwa kita ini hidup dari berbagai keragaman. Ada minoritas, ada mayoritas. Sudah selayaknya yang minoritas menghargai mayoritas dan yang mayoritas melindungi yang minoritas. Dari TK sampai kuliah ini aku selalu hidup sebagai kalangan minoritas baik di sekolah maupun kampus. Sejak TK aku sudah mengenal alhamdulillah, bismillah, assalamualaikum, hingga yang namanya bulan Ramadhan. Aku sering ikut buka puasa bersama. Yang ingin aku tekankan adalah: aku baik-baik saja dan aku aman-aman saja di tengah kaum mayoritas (yang kebetulan Muslim). Aku dan kawan-kawan dapat hidup bahagia, aman, sentosa, ketawa-ketiwi, bergosip sana-sini... Kami memang berbeda, namun kami tak pernah mempermasalahkannya. Aku sering nongkrong di Masjid kampus, biasanya menunggu teman sholat. Aku baik-baik saja di sana, tak ada yang memarahiku  walau aku hanya sekadar duduk geje atau kadang untuk berteduh dari panas. O ya satu lagi, saat aku berulang tahun ke-20 kemarin, dua orang kawanku yang muslim justru memberiku hadiah yang membuatku kaget bahkan hampir aku menitikkan air mata: mereka memberiku kalung salib. Sebuah benda yang tak pernah aku punyai selama hidup. Hal yang biasa jika yang memberiku adalah ibuku, bapakku, atau kakakku. Tapi kala itu yang memberi justru kawan-kawanku yang muslim. Inilah satu hal lagi yang membuatku bangga dan merasa aman hidup di tengah banyak perbedaan.

Di sini aku ingin meneriakkan: Gue aman kok hidup di tengah mayoritas!! Aku tak peduli dengan para orang gila yang membakar Gereja, aku tak peduli dengan pertengkaran yang terjadi di luar sana, aku tak peduli banyak perang terjadi atas nama perbedaan agama, karena di sini aku selalu bisa membuktikan bahwa kami (yang jelas-jelas berbeda agama) dapat hidup aman dan damai. Jadi tolonglah untuk mereka yang mau merusak rumah ibadah (apapun itu, tidak hanya Gereja), jangan sekali-kali membawa nama Tuhan atau agama. Biarkanlah kami hidup nyaman dengan perbedaan kami, ijinkan kami untuk membuat perbedaan tadi menjadi sesuatu yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 10 Februari 2011

Gue Aman-Aman Aja di Tengah Para Mayoritas!!!

Akhir-akhir ini kupingku rada panas jika mendengar berita tentang pembakaran Gereja yang terjadi di Temanggung. Kebenaran akan berita itu pun masih simpang siur. Bahkan aku sebenarnya tak peduli apa yang melatarbelakangi kejadian itu. Aku sempat marah, wajarlah.. Aku seorang nasrani yang juga tiap Minggu beribadah ke Gereja.  Kalau tempat buat ibadahku saja dirusak, wajar pula kalau aku kemudian pesimis terhadap kebebasan beragama di negara ini. Kadang rada kecewa juga kalau melihat Pak SBY hanya bilang: "Saya prihatin". Woi Pak... Sadar ga sih bangsa ini ga cuma butuh keprihatinan dari Bapak! Tiap kali pidato selalu bilang: "Saya prihatin". Aku juga bisa kalau cuma bilang begitu...


Back to topic, di mata aku yang awam dan memang kurang tahu kronologi kejadiannya, bisa aku katakan bahwa mereka yang berani merusak rumah ibadah itu bukanlah orang beragama. Mengapa? Karena mana ada orang beragama, orang yang meneriakkan nama Tuhan, justru membakar "rumah Tuhan" sendiri? Kalau pun memang mau merusak janganlah bawa-bawa nama Tuhan, bawa-bawa nama agama. Tuhan mana rela kalau tempat para umatNya beribadah dibakar seperti itu. Mungkin Tuhan mana rela juga namaNya sembarangan dipakai ama orang-orang macam itu. Mereka, yang membakar Gereja-gereja, hanya membuat sebuah jurang pemisah antarumat beragama. Aku yakin sebeluum kehadiran mereka yang membuat onar itu kehidupan umat beragama di sana damai-damai saja. Akibat ulah mereka, status kawan-kawan baik di Facebook maupun Twitter menjadi sangat alay. Ada yang marah, ada yang saling mencaci, bahkan sampai membawa-bawa SARA. Satu pertanyaanku: bahagiakah mereka yang telah membuat bangsa ini terpecah?

Mau tidak mau, kita harus menerima bahwa kita ini hidup dari berbagai keragaman. Ada minoritas, ada mayoritas. Sudah selayaknya yang minoritas menghargai mayoritas dan yang mayoritas melindungi yang minoritas. Dari TK sampai kuliah ini aku selalu hidup sebagai kalangan minoritas baik di sekolah maupun kampus. Sejak TK aku sudah mengenal alhamdulillah, bismillah, assalamualaikum, hingga yang namanya bulan Ramadhan. Aku sering ikut buka puasa bersama. Yang ingin aku tekankan adalah: aku baik-baik saja dan aku aman-aman saja di tengah kaum mayoritas (yang kebetulan Muslim). Aku dan kawan-kawan dapat hidup bahagia, aman, sentosa, ketawa-ketiwi, bergosip sana-sini... Kami memang berbeda, namun kami tak pernah mempermasalahkannya. Aku sering nongkrong di Masjid kampus, biasanya menunggu teman sholat. Aku baik-baik saja di sana, tak ada yang memarahiku  walau aku hanya sekadar duduk geje atau kadang untuk berteduh dari panas. O ya satu lagi, saat aku berulang tahun ke-20 kemarin, dua orang kawanku yang muslim justru memberiku hadiah yang membuatku kaget bahkan hampir aku menitikkan air mata: mereka memberiku kalung salib. Sebuah benda yang tak pernah aku punyai selama hidup. Hal yang biasa jika yang memberiku adalah ibuku, bapakku, atau kakakku. Tapi kala itu yang memberi justru kawan-kawanku yang muslim. Inilah satu hal lagi yang membuatku bangga dan merasa aman hidup di tengah banyak perbedaan.

Di sini aku ingin meneriakkan: Gue aman kok hidup di tengah mayoritas!! Aku tak peduli dengan para orang gila yang membakar Gereja, aku tak peduli dengan pertengkaran yang terjadi di luar sana, aku tak peduli banyak perang terjadi atas nama perbedaan agama, karena di sini aku selalu bisa membuktikan bahwa kami (yang jelas-jelas berbeda agama) dapat hidup aman dan damai. Jadi tolonglah untuk mereka yang mau merusak rumah ibadah (apapun itu, tidak hanya Gereja), jangan sekali-kali membawa nama Tuhan atau agama. Biarkanlah kami hidup nyaman dengan perbedaan kami, ijinkan kami untuk membuat perbedaan tadi menjadi sesuatu yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar