Jumat, 04 Maret 2011

How to be A Good Engineer????

Sabtu kemarin (2 minggu yang lalu) aku baru saja melihat wisuda kakak laki-lakiku. Aku kagum padanya. Anak laki-laki "rata-rata" di rumah kami sudah jadi sarjana. Siapa pun -termasuk aku- tak akan menyangka dia bisa menjadi insinyur seperti sekarang. Empat setengah tahun dia berjuang kuliah. Di antara ketiga anak di rumah kami, dia bisa dibilang -maaf- agak lemah otaknya. Dia belum pernah menyandang juara kelas semasa SD. Dia juga pernah tak mendapat ranking saat SD dan SMP. Jujur saja saat kecil aku merasa tak yakin dengan masa depannya. Jika dilihat dari nilai dan prestasi akademiknya, aku tak bisa katakan dia golongan orang pintar. Dia tak masuk SMP 1 seperti aku dan kakak perempuanku. Dia bahkan hanya sekolah "nomor 3" di kotaku saat SMA (Aku bisa cukup berbangga karena aku berhasil masuk ke sekolah "nomor 2"). Bahkan meski sudah sekolah di SMA yang biasa-biasa saja dia tak berhasil bersinar akademiknya di sana. Aku sempat berpikir jangan-jangan ini gara-gara dia pernah jatuh dari tempat tidur saat bayi dulu. Jadi mungkin setelah dewasa otaknya agak terganggu. Namun di balik segala "kebodohannya" yang selalu kupandang sebelah mata, aku bisa katakan hari Sabtu kemarin adalah pembuktian bahwa dia bukanlah laki-laki biasa.

Setelah lulus SMA kakakku diterima di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Jurusannya pun tak main-main: Teknik Arsitektur. Aku sempat kaget bahkan hampir pingsan saat ia diterima di Teknik Arsitektur. Bagaimana bisa seorang anak dengan background "jelas-jelas anak IPS saat SMA" bisa diterima di teknik? Lama-kelamaan aku baru sadar bahwa universitas swasta berbeda dengan universitas negeri. Meski sama-sama pakai test masuk, uang jelas lebih "bicara". Sekadar catatan, sebelum ikut tes di perguruan tinggi swasta tadi kakakku sudah kenyang ikut Ujian Masuk sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta plus UMPTN. Dua-duanya memberi hasil sama: DITOLAK. Maka seperti kebanyakan jalan manusia yang lain, perguruan tinggi swasta menjadi pilihan melanjutkan hidup. Saat itu aku heran berani-beraninya dia mendaftar di teknik arsitektur. Apa pikir dia bakal diterima? Namun toh kenyataannya dia diterima. Usut punya usut, seperti yang kukatakan tadi, semuanya karena uang. Bapakku mengisi uang sumbangan sebesar 5 juta rupiah. Asal kalian tahu, bapakku sendiri tak bermaksud berbuat "nepotisme" macam pemerintah zaman sekarang. Beliau sunggu-sungguh polos dan tak tahu kalau uang segitu cukup besar jumlahnya untuk ukuran "sumbangan". Beliau pikir orang lain pun akan mengisi dengan uang yang lebih besar (padahal juga tidak...). Maka begitulah, jalan laki-laki itu telah ditetapkan untuk menempuh kuliah di teknik arsitektur.

Semester pertama dia kuliah di sana semuanya berjalan baik-baik saja. IP nya di atas 3. Namun di semester kedua IP nya melorot jadi 2 koma. Saat itu aku berpikir: nah lo, kau pikir gampang kuliah di teknik? Anak IPS macam kau mana kuat lama-lama di teknik. Kesangsianku akan kekuatan kakakku untuk bertahan di teknik arsitektur mulai luntur sejak dia semester tiga. Dia tak pernah lagi mendapat IP 2 koma. IP nya selalu di atas 3 lagi. Tak usahlah cumlaude, melihat dia bisa ada di sana bertahun-tahun saja aku heran. Dia luamayan hidup susah di sana. Kostnya tak semewah kost anak laki-laki pada umumnya. Dia ke mana-mana naik angkot, kuliah jalan kaki. Dia bisa bertahan hidup 2 tahun tanpa komputer. Bisa kubayangkan betapa repotnya dia pinjem komputer sana-sini jika ada tugas. Kira-kira semester 5 dia membeli komputer dengan uangnya sendiri. Bukan komputer baru, hanya komputer rakitan. Dia bukan tipe laki-laki yang ingin menyusahkan orang tua. Orang tuaku pasti masih mampulah kalau membelikan dia komputer. Tapi sekali lagi, dia anak yang sangat baik. Aku ingat saat dia masih kecil, jika ingin dibelikan sesuatu ia selalu pakai embel-embel: "nek sampun gajian aku tumbaske iki nggih.."(translate: misalnya sudah gajian aku belikan ini ya..). Ya, dia tak pernah memaksa orang tuaku beli ini itu. Dia selalu meminta dengan sopan bahkan kalau menurutku amat sopan. Bagaimana mungkin anak kecil bisa memohon dengan begitu sopannya? Mungkin dialah laki-laki tersopan yang pernah aku lihat.

Aku tak pernah tahu kapan dia ujian karena dia tak pernah terlihat stress atau belajar saat di rumah. Kerjaannya paling hanya tidur seharian atau main game bola favoritnya. Belakangan kuketahui bahwa saban hari dia baru tidur pukul 2 pagi bahkan 4 pagi. Aku bisa maklum kalau di rumah kerjaannya hanya tidur dan makan. Hebatnya lagi dia jarang atau bahkan hampir tak pernah mengeluh tentang kuliahnya. Dia tak pernah kudengar menggerutu atau menampakkan betapa malangnya dia dengan tugas-tugasnya yang berat. Aku pikir dia pulang ke rumah untuk dua hal: kehabisan uang dan mencari tempat nyaman untuk tidur. Saat semester 6 dia mulai kelihatan sibuknya. Dia mulai ada kerja praktek. Tempat kerja praktek bukan tempat-tempat jauh yang memakan biaya hidup banyak. Dia hanya kerja praktek di kota kelahirannya, Magelang, di sebuah tempat yang sedang membangun ruko. Tiap hari dia ke sana, pinjem hape kakak perempuanku untuk dokumentasi (maklum hapenya saja jelek), dan membuat laporannya. Hingga saat ini tiap lewat bangunan ruko itu maka aku langsung ingat kakak laki-lakiku itu. Kemudian dia juga menjalani KKN di pulau nun jauh di sana. Dia KKN di Toraja. Gara-gara dia KKN di sanalah, kini di keluargaku hanya tinggal aku yang belum pernah naik pesawat (yang ini bukan hal penting sebenarnya). Setahuku dia lagi-lagi tak mau merepotkan orang tua. Sebagian besar dia memakai uangnya sendiri untuk hidup di sana. Pernah juga dia kehabisan uang, lalu ibuku mengiriminya uang. Terakhir, kesibukannya adalah membuat tugas akhir. Nah kalau yang ini aku cukup tahu jalan hidupnya. Dia memilih untuk redesain pasar di kotaku yang terbakar bertahun-tahun yang lalu namun sampai sekarang belum beres dibangun lantaran pemerintah kotaku yang tak becus. Aku ikut saat dia mengambil potret kondisi pasar yang terbakar itu. Aku selalu melihat dia bekerja sampai malam saat di rumah. Kalau malam hari sudah larut aku menguap geje di depan televisi sambil menonton sinetron ibuku yang tak kalah geje, kakakku masih stay cool di depan laptop. Kadang saat aku beranjak tidur, dia belum beranjak dari tempatnya. Saat aku bangun di pagi hari untuk menonton Spongebob, maka yang kulihat pertama adalah kakakku yang (lagi-lagi) masih stay cool di depan laptop. Muncul pikiran di otakku: nih anak bobok ga sih? Maka jangan heran kalau kakakku selalu molor di siang bolong dengan kondisi belum mandi dari pagi. Kadang dia hanya mandi sekali saat sore hari. Bisa kalian bayangkan betapa merananya menjadi adik dari laki-laki macam itu...

Hingga Sabtu kemarin, aku melihat seorang laki-laki hebat itu sedang berjalan dengan "tidak gagahnya" memakai toga. Mengapa aku bilang tak gagah? Wajahnya tetap kumal, rambutnya belum dicukur, dan jenggotnya masih merajalela di dagunya. Padahal sebelum wisuda ibuku sudah mewanti-wanti agar semua bulu di dagunya itu dibersihkan dan rambut keritingnya yang sudah agak gondrong itu dicukur. Dia sangat tak elegan hari itu. Bahkan saat sudah masuk ruangan dan duduk, hal pertama yang ia lakukan adalah melahap sncak yang ada. Kelaparan katanya. Aku jadi berpikir seberapa sengasara hidupnya hingga kelaparan seperti itu? Sewaktu namanya dipanggil untuk diwisuda, lagi-lagi dia berjalan dengan sangat "tidak gagah". Wajahnya tak sesumringah teman-temannya yang lain. Ekspresi datar dan biasa-biasa saja. Namun satu hal yang membuatku hormat kepadanya. Dia lulus dengan IPK 3,32. Tak cumlaude memang. Bagiku cumlaude itu tak penting. Lihatlah sejarahnya, anak IPS yang bisa bertahan hidup di tengah kerasnya dunia keteknikan. Bahkan saat keluarganya mengkhawatirkan akan nilai-nilainya nanti, dia berhasil menunjukkan kalau dia bisa. Dia mampu. Dia kuat. Dia bukan insinyur yang banyak omong. Dia memang bukan lulusan universitas mentereng, tapi dia insinyur yang aplikatif. Tengoklah bangunan bagian depan rumah bulikku, dialah yang merancang segalanya. Saat itu dia belum genap dua tahun kuliah di teknik arsitektur namun sudah bisa membuat desain bangunan. Dia insinyur yang peka pada lingkungan sekitar. Tengoklah ia membuat rencana redesain pasar di kotaku. Aku pernah melihat hasil kerjanya, lumayan keren juga kalau pasar di kotaku menjadi seperti itu. Namun sayangnya dia masih kurang tenar namanya di kalangan pemerintah kotaku. Hasil kerjanya mana mungkin dilirik pemerintah. Bahkan aku sebagai adiknya tak sudi hasil kerja kakakku jatuh di tangan pemerintah kotor itu (mudah sekali aku senewen jika bicara tentang pemerintah). Di mataku, dialah sosok panutan seorang engineer.

Aku, sebentar lagi akan mulai menjalani semester 6. Beberapa kawanku sudah merancang masa depan mereka. Setahuku kebanyakan dari mereka ingin lulus kurang dari 4 tahun. Jujur saja aku bahkan tak pernah berpikir sejauh mereka. Bagiku, seorang engineer haruslah melewati proses yang panjang seperti kakakku. Dia belajar, dia berkorban, dia berjuang, bahkan sampai jarang tidur demi gelar Sarjana Teknik yang layak. Ujian di kampus kakakku terbilang susah. Yang namanya open book ya open book. Tidak ada baceman di sana. Mahasiswa di sana hanya mengenal text book. Jangan harap kita bisa melihat mereka membuka-buka kertas buram-buram yang tebalnya hampir menyamai novel The Lost Symbol karya Dan Brown. Satu hal lagi, di kampus kakakku jarang terjadi "obral nilai" dan pengulangan soal dari tahun ke tahun. Bisa kutarik kesimpulan, meski itu hanya perguruan tinggi swasta dan tak secermerlang kampusku, namun di sana tercetak insinyur yang "benar-benar insinyur". Wajar saja kakakku sempat rada kaget saat tahu di tempatku banyak yang bisa lulus 3,5 tahun. Pikirnya: itu teknik apa manajemen? Aku tak mau menyalahkan mereka yang lulus 3,5 tahun. Aku percaya dengan sepenuh hati kalau mereka pintar. Tapi aku ragu kalau mereka se-aplikatif kakakku. Aku ragu ilmu mereka sudah benar-benar melekat dan menancap di otak mereka. Jujur, dua tahun aku kuliah, aku masih merasa bodoh. Ironi rasanya ketika aku bisa bangga IPK di atas 3 tapi ketika ditanya orang: "wah kuliah dua tahun sudah bisa bikin apa?", maka aku hanya tersenyum. Senyum pahit. Miris amat nasibku, mau jadi apa besok...

Well, setelah kejadian wisuda Sabtu kemarin, kucamkan dalam hati bahwa kelak aku mau jadi insinyur seperti kakakku. Aku mau seperti laki-laki hebat itu. Meski hidup dengan wajah kumalnya namun jalan hidupnya begitu meyakinkan. Laki-laki yang menjadi kawanku sejak kecil itu mengajariku bahwa jalan menjadi insinyur tak semudah membalikkan tangan. Laki-laki yang mengajariku bermain rubik 3x3 itu memberi pencerahan bagiku bahwa tiada guna banjir nilai A dan B dalam transkripku kalau aku sendiri tak bisa mengenal ilmu yang kupelajari. Laki-laki yang tengah berusaha menyelesaikan rubik 4x4 itu membuka pikiranku bahwa bukan nilai-nilai lah yang membawa kita ke kesuksesan atau kesempurnaan menjadi sarjana, melainkan jalan dan berbagai rintangan berliku yang berhasil kita lewati. Laki-laki penyuka AC Milan itulah yang membuatku sadar: How to be a good engineer?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 04 Maret 2011

How to be A Good Engineer????

Sabtu kemarin (2 minggu yang lalu) aku baru saja melihat wisuda kakak laki-lakiku. Aku kagum padanya. Anak laki-laki "rata-rata" di rumah kami sudah jadi sarjana. Siapa pun -termasuk aku- tak akan menyangka dia bisa menjadi insinyur seperti sekarang. Empat setengah tahun dia berjuang kuliah. Di antara ketiga anak di rumah kami, dia bisa dibilang -maaf- agak lemah otaknya. Dia belum pernah menyandang juara kelas semasa SD. Dia juga pernah tak mendapat ranking saat SD dan SMP. Jujur saja saat kecil aku merasa tak yakin dengan masa depannya. Jika dilihat dari nilai dan prestasi akademiknya, aku tak bisa katakan dia golongan orang pintar. Dia tak masuk SMP 1 seperti aku dan kakak perempuanku. Dia bahkan hanya sekolah "nomor 3" di kotaku saat SMA (Aku bisa cukup berbangga karena aku berhasil masuk ke sekolah "nomor 2"). Bahkan meski sudah sekolah di SMA yang biasa-biasa saja dia tak berhasil bersinar akademiknya di sana. Aku sempat berpikir jangan-jangan ini gara-gara dia pernah jatuh dari tempat tidur saat bayi dulu. Jadi mungkin setelah dewasa otaknya agak terganggu. Namun di balik segala "kebodohannya" yang selalu kupandang sebelah mata, aku bisa katakan hari Sabtu kemarin adalah pembuktian bahwa dia bukanlah laki-laki biasa.

Setelah lulus SMA kakakku diterima di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Jurusannya pun tak main-main: Teknik Arsitektur. Aku sempat kaget bahkan hampir pingsan saat ia diterima di Teknik Arsitektur. Bagaimana bisa seorang anak dengan background "jelas-jelas anak IPS saat SMA" bisa diterima di teknik? Lama-kelamaan aku baru sadar bahwa universitas swasta berbeda dengan universitas negeri. Meski sama-sama pakai test masuk, uang jelas lebih "bicara". Sekadar catatan, sebelum ikut tes di perguruan tinggi swasta tadi kakakku sudah kenyang ikut Ujian Masuk sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta plus UMPTN. Dua-duanya memberi hasil sama: DITOLAK. Maka seperti kebanyakan jalan manusia yang lain, perguruan tinggi swasta menjadi pilihan melanjutkan hidup. Saat itu aku heran berani-beraninya dia mendaftar di teknik arsitektur. Apa pikir dia bakal diterima? Namun toh kenyataannya dia diterima. Usut punya usut, seperti yang kukatakan tadi, semuanya karena uang. Bapakku mengisi uang sumbangan sebesar 5 juta rupiah. Asal kalian tahu, bapakku sendiri tak bermaksud berbuat "nepotisme" macam pemerintah zaman sekarang. Beliau sunggu-sungguh polos dan tak tahu kalau uang segitu cukup besar jumlahnya untuk ukuran "sumbangan". Beliau pikir orang lain pun akan mengisi dengan uang yang lebih besar (padahal juga tidak...). Maka begitulah, jalan laki-laki itu telah ditetapkan untuk menempuh kuliah di teknik arsitektur.

Semester pertama dia kuliah di sana semuanya berjalan baik-baik saja. IP nya di atas 3. Namun di semester kedua IP nya melorot jadi 2 koma. Saat itu aku berpikir: nah lo, kau pikir gampang kuliah di teknik? Anak IPS macam kau mana kuat lama-lama di teknik. Kesangsianku akan kekuatan kakakku untuk bertahan di teknik arsitektur mulai luntur sejak dia semester tiga. Dia tak pernah lagi mendapat IP 2 koma. IP nya selalu di atas 3 lagi. Tak usahlah cumlaude, melihat dia bisa ada di sana bertahun-tahun saja aku heran. Dia luamayan hidup susah di sana. Kostnya tak semewah kost anak laki-laki pada umumnya. Dia ke mana-mana naik angkot, kuliah jalan kaki. Dia bisa bertahan hidup 2 tahun tanpa komputer. Bisa kubayangkan betapa repotnya dia pinjem komputer sana-sini jika ada tugas. Kira-kira semester 5 dia membeli komputer dengan uangnya sendiri. Bukan komputer baru, hanya komputer rakitan. Dia bukan tipe laki-laki yang ingin menyusahkan orang tua. Orang tuaku pasti masih mampulah kalau membelikan dia komputer. Tapi sekali lagi, dia anak yang sangat baik. Aku ingat saat dia masih kecil, jika ingin dibelikan sesuatu ia selalu pakai embel-embel: "nek sampun gajian aku tumbaske iki nggih.."(translate: misalnya sudah gajian aku belikan ini ya..). Ya, dia tak pernah memaksa orang tuaku beli ini itu. Dia selalu meminta dengan sopan bahkan kalau menurutku amat sopan. Bagaimana mungkin anak kecil bisa memohon dengan begitu sopannya? Mungkin dialah laki-laki tersopan yang pernah aku lihat.

Aku tak pernah tahu kapan dia ujian karena dia tak pernah terlihat stress atau belajar saat di rumah. Kerjaannya paling hanya tidur seharian atau main game bola favoritnya. Belakangan kuketahui bahwa saban hari dia baru tidur pukul 2 pagi bahkan 4 pagi. Aku bisa maklum kalau di rumah kerjaannya hanya tidur dan makan. Hebatnya lagi dia jarang atau bahkan hampir tak pernah mengeluh tentang kuliahnya. Dia tak pernah kudengar menggerutu atau menampakkan betapa malangnya dia dengan tugas-tugasnya yang berat. Aku pikir dia pulang ke rumah untuk dua hal: kehabisan uang dan mencari tempat nyaman untuk tidur. Saat semester 6 dia mulai kelihatan sibuknya. Dia mulai ada kerja praktek. Tempat kerja praktek bukan tempat-tempat jauh yang memakan biaya hidup banyak. Dia hanya kerja praktek di kota kelahirannya, Magelang, di sebuah tempat yang sedang membangun ruko. Tiap hari dia ke sana, pinjem hape kakak perempuanku untuk dokumentasi (maklum hapenya saja jelek), dan membuat laporannya. Hingga saat ini tiap lewat bangunan ruko itu maka aku langsung ingat kakak laki-lakiku itu. Kemudian dia juga menjalani KKN di pulau nun jauh di sana. Dia KKN di Toraja. Gara-gara dia KKN di sanalah, kini di keluargaku hanya tinggal aku yang belum pernah naik pesawat (yang ini bukan hal penting sebenarnya). Setahuku dia lagi-lagi tak mau merepotkan orang tua. Sebagian besar dia memakai uangnya sendiri untuk hidup di sana. Pernah juga dia kehabisan uang, lalu ibuku mengiriminya uang. Terakhir, kesibukannya adalah membuat tugas akhir. Nah kalau yang ini aku cukup tahu jalan hidupnya. Dia memilih untuk redesain pasar di kotaku yang terbakar bertahun-tahun yang lalu namun sampai sekarang belum beres dibangun lantaran pemerintah kotaku yang tak becus. Aku ikut saat dia mengambil potret kondisi pasar yang terbakar itu. Aku selalu melihat dia bekerja sampai malam saat di rumah. Kalau malam hari sudah larut aku menguap geje di depan televisi sambil menonton sinetron ibuku yang tak kalah geje, kakakku masih stay cool di depan laptop. Kadang saat aku beranjak tidur, dia belum beranjak dari tempatnya. Saat aku bangun di pagi hari untuk menonton Spongebob, maka yang kulihat pertama adalah kakakku yang (lagi-lagi) masih stay cool di depan laptop. Muncul pikiran di otakku: nih anak bobok ga sih? Maka jangan heran kalau kakakku selalu molor di siang bolong dengan kondisi belum mandi dari pagi. Kadang dia hanya mandi sekali saat sore hari. Bisa kalian bayangkan betapa merananya menjadi adik dari laki-laki macam itu...

Hingga Sabtu kemarin, aku melihat seorang laki-laki hebat itu sedang berjalan dengan "tidak gagahnya" memakai toga. Mengapa aku bilang tak gagah? Wajahnya tetap kumal, rambutnya belum dicukur, dan jenggotnya masih merajalela di dagunya. Padahal sebelum wisuda ibuku sudah mewanti-wanti agar semua bulu di dagunya itu dibersihkan dan rambut keritingnya yang sudah agak gondrong itu dicukur. Dia sangat tak elegan hari itu. Bahkan saat sudah masuk ruangan dan duduk, hal pertama yang ia lakukan adalah melahap sncak yang ada. Kelaparan katanya. Aku jadi berpikir seberapa sengasara hidupnya hingga kelaparan seperti itu? Sewaktu namanya dipanggil untuk diwisuda, lagi-lagi dia berjalan dengan sangat "tidak gagah". Wajahnya tak sesumringah teman-temannya yang lain. Ekspresi datar dan biasa-biasa saja. Namun satu hal yang membuatku hormat kepadanya. Dia lulus dengan IPK 3,32. Tak cumlaude memang. Bagiku cumlaude itu tak penting. Lihatlah sejarahnya, anak IPS yang bisa bertahan hidup di tengah kerasnya dunia keteknikan. Bahkan saat keluarganya mengkhawatirkan akan nilai-nilainya nanti, dia berhasil menunjukkan kalau dia bisa. Dia mampu. Dia kuat. Dia bukan insinyur yang banyak omong. Dia memang bukan lulusan universitas mentereng, tapi dia insinyur yang aplikatif. Tengoklah bangunan bagian depan rumah bulikku, dialah yang merancang segalanya. Saat itu dia belum genap dua tahun kuliah di teknik arsitektur namun sudah bisa membuat desain bangunan. Dia insinyur yang peka pada lingkungan sekitar. Tengoklah ia membuat rencana redesain pasar di kotaku. Aku pernah melihat hasil kerjanya, lumayan keren juga kalau pasar di kotaku menjadi seperti itu. Namun sayangnya dia masih kurang tenar namanya di kalangan pemerintah kotaku. Hasil kerjanya mana mungkin dilirik pemerintah. Bahkan aku sebagai adiknya tak sudi hasil kerja kakakku jatuh di tangan pemerintah kotor itu (mudah sekali aku senewen jika bicara tentang pemerintah). Di mataku, dialah sosok panutan seorang engineer.

Aku, sebentar lagi akan mulai menjalani semester 6. Beberapa kawanku sudah merancang masa depan mereka. Setahuku kebanyakan dari mereka ingin lulus kurang dari 4 tahun. Jujur saja aku bahkan tak pernah berpikir sejauh mereka. Bagiku, seorang engineer haruslah melewati proses yang panjang seperti kakakku. Dia belajar, dia berkorban, dia berjuang, bahkan sampai jarang tidur demi gelar Sarjana Teknik yang layak. Ujian di kampus kakakku terbilang susah. Yang namanya open book ya open book. Tidak ada baceman di sana. Mahasiswa di sana hanya mengenal text book. Jangan harap kita bisa melihat mereka membuka-buka kertas buram-buram yang tebalnya hampir menyamai novel The Lost Symbol karya Dan Brown. Satu hal lagi, di kampus kakakku jarang terjadi "obral nilai" dan pengulangan soal dari tahun ke tahun. Bisa kutarik kesimpulan, meski itu hanya perguruan tinggi swasta dan tak secermerlang kampusku, namun di sana tercetak insinyur yang "benar-benar insinyur". Wajar saja kakakku sempat rada kaget saat tahu di tempatku banyak yang bisa lulus 3,5 tahun. Pikirnya: itu teknik apa manajemen? Aku tak mau menyalahkan mereka yang lulus 3,5 tahun. Aku percaya dengan sepenuh hati kalau mereka pintar. Tapi aku ragu kalau mereka se-aplikatif kakakku. Aku ragu ilmu mereka sudah benar-benar melekat dan menancap di otak mereka. Jujur, dua tahun aku kuliah, aku masih merasa bodoh. Ironi rasanya ketika aku bisa bangga IPK di atas 3 tapi ketika ditanya orang: "wah kuliah dua tahun sudah bisa bikin apa?", maka aku hanya tersenyum. Senyum pahit. Miris amat nasibku, mau jadi apa besok...

Well, setelah kejadian wisuda Sabtu kemarin, kucamkan dalam hati bahwa kelak aku mau jadi insinyur seperti kakakku. Aku mau seperti laki-laki hebat itu. Meski hidup dengan wajah kumalnya namun jalan hidupnya begitu meyakinkan. Laki-laki yang menjadi kawanku sejak kecil itu mengajariku bahwa jalan menjadi insinyur tak semudah membalikkan tangan. Laki-laki yang mengajariku bermain rubik 3x3 itu memberi pencerahan bagiku bahwa tiada guna banjir nilai A dan B dalam transkripku kalau aku sendiri tak bisa mengenal ilmu yang kupelajari. Laki-laki yang tengah berusaha menyelesaikan rubik 4x4 itu membuka pikiranku bahwa bukan nilai-nilai lah yang membawa kita ke kesuksesan atau kesempurnaan menjadi sarjana, melainkan jalan dan berbagai rintangan berliku yang berhasil kita lewati. Laki-laki penyuka AC Milan itulah yang membuatku sadar: How to be a good engineer?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar