Jumat, 10 Desember 2010

My Journey, My Story, and My Experience: dari mbah kakung, ibu paruh baya, hingga pengamen...

Saya bersyukur hidup sebagai anak rantau. Walau mungkin lebih sering hidup susah daripada hidup senang (jika menyangkut masalah "ekonomi"), pengalaman menjalani hidup sendiri jauh dari orang tua (walau sebenarnya sih tidak jauh-jauh amat) menjadi harta yang tak bisa ditandingi oleh uang jutaan rupiah sekalipun. Apalagi kisah-kisah yang sering saya alami selama di bus mampu menjadi inspirasi tersendiri untuk saya. Seperti kisah yang ingin saya bagi kali ini....
 
Jumlah orang rantau daerah Yogya, Magelang, Ambarawa, Ungaran cukup banyak di Semarang. Sayangnya hal ini tidak didukung dengan jumlah bus yang beroperasi dengan jurusan Semarang-Yogya. Jumlah bus yang dari tahun ke tahun makin sedikit menjadi keluhan tersendiri bagi para rantau. Selain jumlahnya yang sedikit, kenyamanan pun jarang didapatkan (saya bicara bus kelas ekonomi, kalau patas tentu lain cerita). Tak jarang saya sering harus berdiri di bus sepanjang perjalanan karena sudah tak ada tempat duduk lagi. Saya pun bisa maklum kalau "tempat duduk" ibarat "surga dunia" bagi penumpang bus.Sekali sudah mendapat tempat duduk, enggan rasanya membagi atau bahkan memberikannya bagi orang lain. Namun apa yang terjadi ketika ego untuk memiliki "tempat duduk" mengalahkan "nurani hati"? Mungkin agak sulit mencerna kalimat ini. Semua akan lebih jelas melalui kisah yang terjadi kira-kira 4 minggu yang lalu:

 
Di Sabtu pagi yang cerah, saya berangkat dengan senyuman lebar di bibir plus langkah kaki yang begitu ringan. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan: pulang Magelang :). Tak heran saya bela-belain berangkat terlampau pagi (pukul 06.30) untuk menghindari tragedi "berdiri" di bus. Biasanya bus kalau masih pagi sekali penumpangnya tidak begitu banyak. Sesuai prediksi, setelah hampir setengah jam menunggu akhirnya saya bisa mendapat bus yang lumayan nyaman dan saya juga bisa  duduk di tempat favorit saya (dua dari depan, dekat pak kondektur). Berhubung masih sepi, saya langsung memasang headset di telinga dan mendengarkan lagu-lagu favorit saya sembari membaca komik DDS (kenangan tak terlupakan masa SMP) hasil pinjem punya kawan saya. Tak lama kemudian ada seorang mbak yang duduk di sebelah saya. Senyumnya manis, sepertinya orangnya baik dan ramah. Dia sempat bertanya ramah pada saya: turun mana, mbak? Jawab saya dengan irit: Magelang. Detik itulah mungkin mbak tadi merasa saya orang paling ngejutekin di seluruh dunia sehingga dia mengurungkan niat berbincang dengan saya. Detik demi detik berlalu. Tak terasa bus melaju hingga Ambarawa. Tanpa saya sadari pula ternyata bus makin sesak saja, bahkan sudah ada yang berdiri. Awalnya saya cuek-cuek saja (seperti yang saya bilang sebelumnya: tempat duduk di bus bagai surga dunia, jadi kalau ada yang berdiri, ya itu derita dia lah..), namun segalanya berubah ketika saya melihat sesosok laki-laki yang mengingatkan saya akan seseorang. Di dekat tempat saya duduk ada seorang mbah kakung dengan tas segedhe orang mau naik gunung berdiri menyandar pada kursi. Sekilas melihat beliau, saya langsung teringat pada almarhum eyang kakung saya yang sudah tiada sejak 2 tahun lalu. Saya sempat melihat berkeliling dahulu, kalau-kalau para muda di bus ini mau memberi tempat untuk mbah kakung ini. Namun tak ada yang bergeming (termasuk mbak manis di sebelah saya. Malah dari ekspresinya pura-pura tidak tahu). Didorong rasa kasihan dan rasa sayang saya yang begitu besar pada almarhum eyang kakung saya, saya kemudian beranjak berdiri dari "surga dunia" milik saya. Sebuah kalimat saya ucapkan sambil menatap dalam mata beliau: Monggo, Pak. Lenggah mriki kemawon. Beliau sempat membalas: Mboten usah, mbak. Kula kuat kok. Lalu dengan senyuman paling manis yang saya miliki saya menjawab: Nggih mboten to, Pak. Kula tasih enom, kuat kula to.. Bapak lenggah mawon. Kula badhe mandhap kok (dusta sedikit.. Padahal masih agak jauh perjalanan saya...hahaha). Akhirnya setelah dengan sedikit paksaan, mbah kakung tadi mau duduk juga. Sesaat setelah beliau duduk, beliau berkata: Maturnuwun, mbak. Mugi diberkahi Gusti. I like this!! (dalam hati: doain juga mbah biar cepet ketemu jodoh...).


Selang 4 minggu kemudian (tepatnya hari ini), saya kembali melakukan aktivitas mudik dengan latar belakang penyakit masuk angin yang saya bawa dari kost (intinya pengin mendapat perawatan lebih baik di rumah). Saya agak pesimis bisa mendapat tempat duduk karena berangkat terlalu siang (pukul 13.00). Tebakan saya nyaris benar. Hampir saja saya tidak mendapat tempat duduk kalau saja tidak terampil rebutan naik bus. Baru beberapa menit menikmati "surga dunia", de javu kejadian 4 minggu lalu terulang. Kali ini "pelaku" nya bukan mbah kakung, tapi ibu paruh baya yang kalau dilihat dari wajahnya yang kusut dan bawaan yang beliau bawa menunjukkan betapa lelah tubuhnya dan nampaknya lebih memerlukan tempat duduk daripada saya. Celingak-celinguk sebentar, lirik depan-belakang, samping kanan-kiri, lagi-lagi tak ada yang bergeming. I do something that I did before. Saya berikan tempat saya kepada ibu tadi. Bedanya kalau ibu ini begitu ditawari langsung capcus duduk (mungkin memang sudah sangat lelah) tidak seperti mbah kakung yang "geje-geje" dulu. Hanya segelintir orang yang berdiri. Tiga orang termasuk saya kalau tidak salah. Kemudian masuklah mas pengamen dengan tampang tak begitu tampan dan kurang meyakinkan. Dia berdiri di sebelah saya persis (dalam hati: Grr... geser sedikit kek mas.. Emang saya seneng deket2 mas...). Tak disangka-sangka... Ternyata suara mas pengamen tadi bagus juga. Yang lebih membuat kaget adalah lagu yang dia nyanyikan: ANGELS nya Robbie Williams (lagu zaman saya SMP... Like this..). Karena lagunya asyik tak heran kalau saya kemudian ikut bersenandung kecil. Dan entah kenapa kemudian saya mulai menggila di bagian reffrein:
and through it all she offers me protection
a lot of love and affection
whether I’m right or wrong
and down the waterfall
wherever it may take me
I know that life wont break me
when I come to call she wont forsake me
I’m loving angels instead
Dan di saat itu juga mas pengamen menyadari suara saya yang makin keras kemudian dia mulai mengecilkan suaranya sendiri. Saya sempat salting dilihatin banyak orang. Saya melirik mas pengamen, dia membalas dengan kedipan mata dan senyum manis (artinya: lanjutin aja mbak ampe selesai). Lalu dengan pede tingkat tinggi saya terus bernyanyi sambil diiringi gitar mas pengamen sampai lagu itu habis. Tak disangka respon penumpang begitu heboh dan ada seorang bapak yang meminta saya dan mas pengamen duet satu lagu lagi (dalam hati saya: bah,, enak bener pak nyuruh-nyuruh ane.. Saya lagi pilek, batuk, demam tauuukkk). Meski agak enggan saya akhirnya meluluskan permintaan bapak tadi (udah nanggung asyik nyanyi juga.. hahahaha.. ketagihan critane). Saya berbisik pada mas pengamen: Mas, tahu lagu Tapi Bukan Aku? Maen di G ya :). Mas pengamen sekali lagi hanya mengedipkan mata dan tersenyum. Maka dimulailah duet maut kami. Suara saya memang tidak ada apa-apanya dibandingkan mas pengamen itu. Tapi melihat semua mata tertuju pada kami, saya jadi pede saja. Lagipula ini lagu favorit saya.. Bakaaaaarrrrr (pinjem kata komting..hehehe). Well, intinya meski saya harus berdiri di bus tapi saya bahagia karena bisa bernyanyi bareng mas pengamen.. Hahahahaha. That was my new experience.. Seumur-umur belum pernah gitu deh... Sayangnya saya tidak sempat berfoto bareng mas pengamen (mas nya malu sih...) :(

Setelah mas pengamen turun di terminal Ambarawa, bus pun akhirnya mulai lengang ketika ada dua orang turun di terminal itu juga. Mata saya langsung mencari tempat mana yang kosong. Secepat kilat saya datangi tempat itu. Sayang seribu sayang saya kalah rebutan sama seorang bapak gendut dengan tampang galak. Bahkan beliau tak mampu membaca wajah memelas saya (kira-kira wajah saya bilang begini: Pak, saya lagi sakit. Saya saja dong yang duduk situ...). Saya pasrah terima nasib harus tetap berdiri (sambil menahan sensasi puyeng di kepala akibat pilek dan demam). Tiba-tiba ada mas rada manis menawari saya duduk! Wow, baik amat tuh mas. Manis pula, sayang tidak sempat tanya nama.. Hahahaha. Ternyata eh ternyata mas tadi adalah cucu dari mbah kakung 4 minggu lalu. Tanpa saya sadari saya duduk di sebelah mbah kakung 4 minggu lalu. Beliau masih ingat jelas wajah saya padahal saya sama sekali tidak ingat bentukan beliau. Kami kemudian mengobrol ringan (sambil saya sedikit-sedikit mengorek info tentang cucunya. Setelah dikorek ternyata cucunya itu angkatan 2008 pendidikan matematika Unnes.. Xixixixixixi) membahas kuliah saya hingga sampai ke obrolan serius. Kata-kata beliau yang tak pernah saya lupakan: Anak muda zaman sekarang itu pinter-pinter, mbak. Cuma satu kurangnya, mereka kurang peka. Mereka terlalu asyik sama dunia mereka sendiri. Hati anak muda zaman sekarang sudah seperti batu. Saya sampai heran masih ada anak muda kayak mbak lo. Ternyata masih ada yang baik. Detik itu saya langsung berbunga-bunga geje, kemudian berkata: Ah nggih mboten, Pak. Banyak kok yang seperti saya, tapi bapak aja yang jarang ketemu yang baik-baik.. Kemudian mbah kakung tadi langsung tertawa (manis juga kalau ketawa, pasti mudanya ganteng deh...). Kata-kata terkahir dari beliau sebelum saya turun bus: Teruslah berbuat kebaikan, mbak. Beri bukti kalau anak muda itu tidak sejelek yang dipikirkan orang. Iki pesenku terusna ning kanca-kancamu, mbak. Memang kata-kata mbah kakung ada benarnya. Anak muda itu perlu mengubah dunia. Bagaimana cara mengubah dunia? Mulailah dari satu kebaikan tulus (mengutip dari film Evan Almighty. Dan ini ada benarnya juga ternyata...)


Kisah ini semoga dapat menjadi inspirasi bagi yang membaca. Anak muda, kalian pasti BISA!
Saya hanya ingin menyampaikan pesan dari mbah kakung untuk kalian :)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 10 Desember 2010

My Journey, My Story, and My Experience: dari mbah kakung, ibu paruh baya, hingga pengamen...

Saya bersyukur hidup sebagai anak rantau. Walau mungkin lebih sering hidup susah daripada hidup senang (jika menyangkut masalah "ekonomi"), pengalaman menjalani hidup sendiri jauh dari orang tua (walau sebenarnya sih tidak jauh-jauh amat) menjadi harta yang tak bisa ditandingi oleh uang jutaan rupiah sekalipun. Apalagi kisah-kisah yang sering saya alami selama di bus mampu menjadi inspirasi tersendiri untuk saya. Seperti kisah yang ingin saya bagi kali ini....
 
Jumlah orang rantau daerah Yogya, Magelang, Ambarawa, Ungaran cukup banyak di Semarang. Sayangnya hal ini tidak didukung dengan jumlah bus yang beroperasi dengan jurusan Semarang-Yogya. Jumlah bus yang dari tahun ke tahun makin sedikit menjadi keluhan tersendiri bagi para rantau. Selain jumlahnya yang sedikit, kenyamanan pun jarang didapatkan (saya bicara bus kelas ekonomi, kalau patas tentu lain cerita). Tak jarang saya sering harus berdiri di bus sepanjang perjalanan karena sudah tak ada tempat duduk lagi. Saya pun bisa maklum kalau "tempat duduk" ibarat "surga dunia" bagi penumpang bus.Sekali sudah mendapat tempat duduk, enggan rasanya membagi atau bahkan memberikannya bagi orang lain. Namun apa yang terjadi ketika ego untuk memiliki "tempat duduk" mengalahkan "nurani hati"? Mungkin agak sulit mencerna kalimat ini. Semua akan lebih jelas melalui kisah yang terjadi kira-kira 4 minggu yang lalu:

 
Di Sabtu pagi yang cerah, saya berangkat dengan senyuman lebar di bibir plus langkah kaki yang begitu ringan. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan: pulang Magelang :). Tak heran saya bela-belain berangkat terlampau pagi (pukul 06.30) untuk menghindari tragedi "berdiri" di bus. Biasanya bus kalau masih pagi sekali penumpangnya tidak begitu banyak. Sesuai prediksi, setelah hampir setengah jam menunggu akhirnya saya bisa mendapat bus yang lumayan nyaman dan saya juga bisa  duduk di tempat favorit saya (dua dari depan, dekat pak kondektur). Berhubung masih sepi, saya langsung memasang headset di telinga dan mendengarkan lagu-lagu favorit saya sembari membaca komik DDS (kenangan tak terlupakan masa SMP) hasil pinjem punya kawan saya. Tak lama kemudian ada seorang mbak yang duduk di sebelah saya. Senyumnya manis, sepertinya orangnya baik dan ramah. Dia sempat bertanya ramah pada saya: turun mana, mbak? Jawab saya dengan irit: Magelang. Detik itulah mungkin mbak tadi merasa saya orang paling ngejutekin di seluruh dunia sehingga dia mengurungkan niat berbincang dengan saya. Detik demi detik berlalu. Tak terasa bus melaju hingga Ambarawa. Tanpa saya sadari pula ternyata bus makin sesak saja, bahkan sudah ada yang berdiri. Awalnya saya cuek-cuek saja (seperti yang saya bilang sebelumnya: tempat duduk di bus bagai surga dunia, jadi kalau ada yang berdiri, ya itu derita dia lah..), namun segalanya berubah ketika saya melihat sesosok laki-laki yang mengingatkan saya akan seseorang. Di dekat tempat saya duduk ada seorang mbah kakung dengan tas segedhe orang mau naik gunung berdiri menyandar pada kursi. Sekilas melihat beliau, saya langsung teringat pada almarhum eyang kakung saya yang sudah tiada sejak 2 tahun lalu. Saya sempat melihat berkeliling dahulu, kalau-kalau para muda di bus ini mau memberi tempat untuk mbah kakung ini. Namun tak ada yang bergeming (termasuk mbak manis di sebelah saya. Malah dari ekspresinya pura-pura tidak tahu). Didorong rasa kasihan dan rasa sayang saya yang begitu besar pada almarhum eyang kakung saya, saya kemudian beranjak berdiri dari "surga dunia" milik saya. Sebuah kalimat saya ucapkan sambil menatap dalam mata beliau: Monggo, Pak. Lenggah mriki kemawon. Beliau sempat membalas: Mboten usah, mbak. Kula kuat kok. Lalu dengan senyuman paling manis yang saya miliki saya menjawab: Nggih mboten to, Pak. Kula tasih enom, kuat kula to.. Bapak lenggah mawon. Kula badhe mandhap kok (dusta sedikit.. Padahal masih agak jauh perjalanan saya...hahaha). Akhirnya setelah dengan sedikit paksaan, mbah kakung tadi mau duduk juga. Sesaat setelah beliau duduk, beliau berkata: Maturnuwun, mbak. Mugi diberkahi Gusti. I like this!! (dalam hati: doain juga mbah biar cepet ketemu jodoh...).


Selang 4 minggu kemudian (tepatnya hari ini), saya kembali melakukan aktivitas mudik dengan latar belakang penyakit masuk angin yang saya bawa dari kost (intinya pengin mendapat perawatan lebih baik di rumah). Saya agak pesimis bisa mendapat tempat duduk karena berangkat terlalu siang (pukul 13.00). Tebakan saya nyaris benar. Hampir saja saya tidak mendapat tempat duduk kalau saja tidak terampil rebutan naik bus. Baru beberapa menit menikmati "surga dunia", de javu kejadian 4 minggu lalu terulang. Kali ini "pelaku" nya bukan mbah kakung, tapi ibu paruh baya yang kalau dilihat dari wajahnya yang kusut dan bawaan yang beliau bawa menunjukkan betapa lelah tubuhnya dan nampaknya lebih memerlukan tempat duduk daripada saya. Celingak-celinguk sebentar, lirik depan-belakang, samping kanan-kiri, lagi-lagi tak ada yang bergeming. I do something that I did before. Saya berikan tempat saya kepada ibu tadi. Bedanya kalau ibu ini begitu ditawari langsung capcus duduk (mungkin memang sudah sangat lelah) tidak seperti mbah kakung yang "geje-geje" dulu. Hanya segelintir orang yang berdiri. Tiga orang termasuk saya kalau tidak salah. Kemudian masuklah mas pengamen dengan tampang tak begitu tampan dan kurang meyakinkan. Dia berdiri di sebelah saya persis (dalam hati: Grr... geser sedikit kek mas.. Emang saya seneng deket2 mas...). Tak disangka-sangka... Ternyata suara mas pengamen tadi bagus juga. Yang lebih membuat kaget adalah lagu yang dia nyanyikan: ANGELS nya Robbie Williams (lagu zaman saya SMP... Like this..). Karena lagunya asyik tak heran kalau saya kemudian ikut bersenandung kecil. Dan entah kenapa kemudian saya mulai menggila di bagian reffrein:
and through it all she offers me protection
a lot of love and affection
whether I’m right or wrong
and down the waterfall
wherever it may take me
I know that life wont break me
when I come to call she wont forsake me
I’m loving angels instead
Dan di saat itu juga mas pengamen menyadari suara saya yang makin keras kemudian dia mulai mengecilkan suaranya sendiri. Saya sempat salting dilihatin banyak orang. Saya melirik mas pengamen, dia membalas dengan kedipan mata dan senyum manis (artinya: lanjutin aja mbak ampe selesai). Lalu dengan pede tingkat tinggi saya terus bernyanyi sambil diiringi gitar mas pengamen sampai lagu itu habis. Tak disangka respon penumpang begitu heboh dan ada seorang bapak yang meminta saya dan mas pengamen duet satu lagu lagi (dalam hati saya: bah,, enak bener pak nyuruh-nyuruh ane.. Saya lagi pilek, batuk, demam tauuukkk). Meski agak enggan saya akhirnya meluluskan permintaan bapak tadi (udah nanggung asyik nyanyi juga.. hahahaha.. ketagihan critane). Saya berbisik pada mas pengamen: Mas, tahu lagu Tapi Bukan Aku? Maen di G ya :). Mas pengamen sekali lagi hanya mengedipkan mata dan tersenyum. Maka dimulailah duet maut kami. Suara saya memang tidak ada apa-apanya dibandingkan mas pengamen itu. Tapi melihat semua mata tertuju pada kami, saya jadi pede saja. Lagipula ini lagu favorit saya.. Bakaaaaarrrrr (pinjem kata komting..hehehe). Well, intinya meski saya harus berdiri di bus tapi saya bahagia karena bisa bernyanyi bareng mas pengamen.. Hahahahaha. That was my new experience.. Seumur-umur belum pernah gitu deh... Sayangnya saya tidak sempat berfoto bareng mas pengamen (mas nya malu sih...) :(

Setelah mas pengamen turun di terminal Ambarawa, bus pun akhirnya mulai lengang ketika ada dua orang turun di terminal itu juga. Mata saya langsung mencari tempat mana yang kosong. Secepat kilat saya datangi tempat itu. Sayang seribu sayang saya kalah rebutan sama seorang bapak gendut dengan tampang galak. Bahkan beliau tak mampu membaca wajah memelas saya (kira-kira wajah saya bilang begini: Pak, saya lagi sakit. Saya saja dong yang duduk situ...). Saya pasrah terima nasib harus tetap berdiri (sambil menahan sensasi puyeng di kepala akibat pilek dan demam). Tiba-tiba ada mas rada manis menawari saya duduk! Wow, baik amat tuh mas. Manis pula, sayang tidak sempat tanya nama.. Hahahaha. Ternyata eh ternyata mas tadi adalah cucu dari mbah kakung 4 minggu lalu. Tanpa saya sadari saya duduk di sebelah mbah kakung 4 minggu lalu. Beliau masih ingat jelas wajah saya padahal saya sama sekali tidak ingat bentukan beliau. Kami kemudian mengobrol ringan (sambil saya sedikit-sedikit mengorek info tentang cucunya. Setelah dikorek ternyata cucunya itu angkatan 2008 pendidikan matematika Unnes.. Xixixixixixi) membahas kuliah saya hingga sampai ke obrolan serius. Kata-kata beliau yang tak pernah saya lupakan: Anak muda zaman sekarang itu pinter-pinter, mbak. Cuma satu kurangnya, mereka kurang peka. Mereka terlalu asyik sama dunia mereka sendiri. Hati anak muda zaman sekarang sudah seperti batu. Saya sampai heran masih ada anak muda kayak mbak lo. Ternyata masih ada yang baik. Detik itu saya langsung berbunga-bunga geje, kemudian berkata: Ah nggih mboten, Pak. Banyak kok yang seperti saya, tapi bapak aja yang jarang ketemu yang baik-baik.. Kemudian mbah kakung tadi langsung tertawa (manis juga kalau ketawa, pasti mudanya ganteng deh...). Kata-kata terkahir dari beliau sebelum saya turun bus: Teruslah berbuat kebaikan, mbak. Beri bukti kalau anak muda itu tidak sejelek yang dipikirkan orang. Iki pesenku terusna ning kanca-kancamu, mbak. Memang kata-kata mbah kakung ada benarnya. Anak muda itu perlu mengubah dunia. Bagaimana cara mengubah dunia? Mulailah dari satu kebaikan tulus (mengutip dari film Evan Almighty. Dan ini ada benarnya juga ternyata...)


Kisah ini semoga dapat menjadi inspirasi bagi yang membaca. Anak muda, kalian pasti BISA!
Saya hanya ingin menyampaikan pesan dari mbah kakung untuk kalian :)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar