Rabu, 27 April 2011

...when i talk about kormat....

Sebuah tulisan yang aku dedikasikan untuk para kormat. They are inspiring my life. They show me how to be faithful. Mereka mengajarkanku bagaimana caranya sabar....


Kormat. Nampaknya jabatan tadi sangatlah terhormat. Jika menjadi kormat, maka  bersiap-siaplah menjadi orang penting. Kau akan berhubungan langsung dan lebih intens  dengan dosen. Tak salah jika berharap nomor hapemu juga akan di-save oleh si dosen.  Inbox di hapemu akan dipenuhi pertanyaan kawan-kawanmu yang sama tiap minggunya: nanti  ada kuliah tidak? Maka setelah kau bosan dengan pertanyaan yang sama tiap minggunya,  setiap malam sebelum hari H kuliah kau akan membuat jarkom: JARKOM!! Besok ada kuliah  bla bla bla di ruang bla bla bla pukul bla bla bla. Kalau sudah musim menjelang ujian  maka sms yang masuk ke inboxmu berganti: besok ujiannya open apa close? Jenuh menjawab  pertanyaan yang sama pada tiap orang, ujung-ujungnya kau akan membuat jarkom lagi:  JARKOM!! Ujian bla bla close book. Derita kormat tak sampai di situ saja. Kadang jika  dosen memberi tugas yang rada "geje" dan sulit dipahami oleh otak mahasiswa rata-rata  macam kami, maka seolah-olah kormat lah yang harus bertanggung jawab. Ditanya ini itu,  kalau tak tahu disuruh tanya ke dosennya. Itulah kormat, mengemban tugas yang cukup  berat, menjadi penopang bagi mahasiswa malas macam kami ini.

Ada lagi derita kormat yang lain, dia hampir tak bisa membolos mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya (kecuali kalau dia nekat dan cuek pada nasib kawan-kawannya). Kormat biasanya duduk di depan saat kuliah. Dia akan mengikuti kuliah dengan amat baik, mencatat setiap tugas yang diberikan oleh dosen. Maka kutemukan lagi satu derita kormat: "memperhatikan kuliah dengan sungguh-sungguh". Sudah menjadi rahasia umum kalau mahasiswa bengal seperti kami jarang mengikuti kuliah dengan sungguh-sungguh. Ada saja yang dikerjakan: bergosip dengan teman sebelah, melamun, menggambar rupa-rupa bentuk di kertas, menyalin laporan praktikum, membuat proposal praktikum, mengantuk, tidur, sms an, browsing via hape. hingga sok serius memandang diktat kuliah padahal pikirannya ngelantur ke mana-mana. Namun sekali kau menyandang gelar kormat maka jangan harap bisa melakukan hal-hal tadi dengan leluasa. Kormat lah source of information bagi kawan-kawannya. Salah memberi info pasti akan menjadi pergunjingan walau hanya sesaat. Seperti tabiat kebanyakan orang Indonesia yang suka mengeluh, mahasiswa pun demikian. Sekali berbuat salah, pasti langsung dicibir, dianggap tak bertanggung jawab lah, lalai lah, malas lah, dan lain-lain. Padahal aku yakin, mereka yang tukang mengeluh tadi (termasuk aku) pasti belum tentu mengemban amanah mulia sebagai kormat. Oh ya satu hal lagi derita kormat yang paling akut: saat akan memfotocopy diktat dengan tebal yang lumayan ditambah jumlah mahasiswa yang lumayan banyak juga, mau tak mau dia harus menalangi uang pembayaran kawan-kawannya. Dapat kutarik kesimpulan bahwa kormat haruslah punya uang cadangan untuk keadaan mendadak macam ini. Belum lagi kalau ada beberapa kawan yang belum membayar uang diktat namun dia relakan memberikan diktat pada kawannya karena kasihan.

Atas dasar segala penderitaan yang kulihat jika menjadi kormat tadi, maka kuputuskan aku tak akan pernah mencalonkan diri menjadi kormat. Bahkan kalau sampai ada yang melambungkan namaku saat pemilihan kormat maka bisa kupastikan habislah dia di tanganku. Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya mengurusi puluhan mahasiswa-mahasiswa labil di kelasku. Aku malas sekali mengurusi nasib jadwal kuliah mereka. Aku malas juga jika ada jadwal yang bertabrakan atau dosen yang bersangkutan berhalangan hadir, maka aku harus mencari jadwal penggantinya. Belum lagi kalau kawan-kawanku selalu menghantui malamku dengan sms tentang kapan kuliah. Bukannya aku pelit pulsa, tapi malas saja membalas sms yang sama setiap minggu. Di mataku, setelah menjabat sebagai kormat maka hidup terasa gelap. Satu semester dijalani dengan kelelahan tiap minggu. Ambil absen, ambil LCD, mengingatkan dosen untuk kuliah, ada pula dosen minta dijemput di ruangannya (macam anak SD saja tipe dosen macam ini), kadang ada dosen meminta dibawakan air minum saat kuliah, dan hal-hal absurd lain. Aku akui kalau aku bukanlah tipe penyokong yang bisa melakukan hal-hal tadi. Aku malas mengurusi hajat hidup mahasiswa labil ini. Kalau aku jadi kormat maka pastilah kuliah berantakan. Kalau kau tanya tugas, mungkin kujawab: tidak ada tugas kok, santai saja. Kalau kau tanya ujian close book atau open book mungkin kujawab: open kok (padahal close book).

Kalian boleh men-judge aku sebagai mahasiswa tak bisa diandalkan dan tak bisa bertanggung jawab. Terserahlah. Namun daripada kalian menghujatku terus, aku bawa kalian ke sosok-sosok hebat yang sukses menjadi kormat. Kormat yang bisa aku katakan teladan karena kesabarannya, kepeduliannya pada nasib kami, kerajinannya, keuletannya, keramahnnya, dan terjaminnya nasib kami selama kuliah. Sosok pertama adalah TRINUG. Aku menyebutnya Master of Kormat. Bukan tanpa alasan aku menyebutnya seperti itu. Dia sosok paling bertanggung jawab dari semua kormat yang pernah aku lihat. Dia selalu datang lebih pagi dari yang lain. Dia selalu menyiapkan segala yang diperlukan sang dosen sebelum perkuliahan dimulai. Yang membuatku tambah kagum, meski saat tak menjabat sebagai kormat sekalipun, dia rela melakukan tugas kormat macam ambil LCD dan daftar absen saat kormat yang bersangkutan berhalangan bertugas tanpa alasan yang jelas. Dialah TRINUG, anak asli Semarang, cerdas, santun pula. Aku memandangnya sebagai muslim yang baik. Sosok yang kedua adalah ULIL. Dalam kamus kehidupan tekimku, aku menetapkannya sebagai orang kepercayaan Master of Kormat. Dia rajin datang pagi ke kampus (apalagi untuk download anime-anime kesukaannya). Kelakuannya mirip sang Master of Kormat. Hanya saja dia agak "grusa-grusu" alias agak mudah panik. Dia suka berlari-lari dari lantai dua gedung B menuju tempat perkuliahan. Dia juga ahli dalam memecahkan "masalah LCD". Ada kalanya LCD tidak mau connect dengan laptop, maka ULIL lah yang berhasil menjinakkan LCD tadi. Sebenarnya masih banyak lagi kormat-kormat yang di mataku baik, namun dari semuanya mereka berdua lah yang terbaik. Muncul pula nama kormat-kormat lain yang tak mungkin pula aku sebutkan satu per satu (karena sepertinya hampir semua anak sudah merasakan menjadi kormat..).

Keseluruhan, merekalah sebagian dari mahasiswa labil yang berani mengemban tanggung jawab berat. Mereka lah sosok yang menjadi panutan selama hidupku. Melalui mereka aku belajar agar aku jangan sampai hidup menderita seperti mereka. Ah, salah lagi. Maksudku melalui mereka aku belajar untuk menjadi pengayom bagi yang lain. Sulit memang sepertinya, namun aku tahu di balik kesengasaraan mereka muncul sebuah senyuman manis di akhir masa kerja mereka. Mereka patut berbangga karena melalui merekalah kuliah lancar, melalui merekalah tugas-tugas dapat dikumpulkan, melalui merekalah nilai-nilai  -baik indah maupun hancur-   milik kawan-kawannya akhirnya bisa terpampang di KHS. Sejuta hormatku untuk kalian, wahai para kormat...

Senin, 04 April 2011

Nge-Fans: Antara SUKA ato DEMEN??

Tulisan ini aku buat berdasarkan kisah pribadi, nyata, dan tanpa rekayasa. Apa yang ada di sini adalah bagain-bagian tak terpisahkan manusia ketika dia nge-fans dengan seseorang. Aku tertarik menulis hal "geje" ini karena sejujurnya inilah hal paling aneh yang sering aku lakukan. Mungkin hanya ingin sekadar share saja, kali aja ada yang kisahnya sama kayak aku.

Mengagumi seseorang bukanlah hal yang salah. Misal saja sekadar flash back, zaman SMA dulu aku kagum pada seorang pegawai TU di sekolahku. Beliau begitu santun, ramah, tidak neko-neko, dan tentu saja ganteng. Atau aku juga sempat kagum kepada guru SMP ku yang begitu galak namun sangat pintar dan membuat para siswanya pintar. Ada kalanya kagum itu dalam batasan "wajar", namun ada kalanya "kagum" itu dalam batasan yang "sangat tidak wajar". Untuk kategori "sangat tidak wajar" aku klasifikasikan untuk kisahku akhir-akhir ini selama duduk di bangku kuliah. Bentuk-bentuk tindakan "geje" plus aneh mulai muncul saat aku nge-fans dengan seseorang -sebut saja mas Oki- . Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari laki-laki itu. Dia begitu dingin dan teramat cuek plus sedikit jaim. Hal-hal itulah yang membuatku begitu penasaran dengannya. Sebenarnya sejak awal semester 1 aku sudah "tertarik" akan tingkah lakunya, namun mungkin baru semester ini lah aku menjadi terkena "penyakit gila" sebagai efek nge-fans kepadanya.

Aku membedakan antara nge-fans dan cinta. Perbedaan yang nyata terlihat tentu saja kalo nge-fans tuh ya cuma suka saja. Suka ama gerakannya, suka lihat wajah segernya, suka tingkah lakunya, pokoknya menjurus ke hal-hal yang berbau fisik. Tapi cinta itu lain. Cinta itu perasaan yang sulit didefinsikan, yang ada hanya perasaan gelisah, deg-deg an, berbunga-bunga, sampai patah hati. Kalau nge-fans biasanya aku tak sampai deg-deg an saat memandang wajahnya, namun jika cinta pasti ada deg-deg an di dalam dada. Nah, berdasarkan teori di atas (teori yang aku buat sendiri tentunya), maka bisa aku simpulkan apa-apa yang belakangan ini aku rasakan hanyalah sekadar perasaan sebagai fans mas Oki. Meski bukan cinta, namun tindakan yang akhir-akhir ini sering dilakukan sama "gila" nya dengan jatuh cinta. Inilah beberapa tindakan gila itu:
  • Mulai mencari wajahnya saat seharian tak melihat wajahnya. Ini tindakan gila pertama yang sering aku lakukan bersama partnerku (baca: Lia). Tempat-tempat yang sering menjadi sasaran utama kami biasanya gedung A bawah, gedung B bawah, dan parkiran (akhir-akhir ini perpustakaan juga menjadi target).
  • Mulai cengar-cengir kalau melihatnya berjalan atau lewat di hadapan kami. Ini juga tindakan gila karena kami dengan "geje" nya mengharapkan senyumnya untuk kami. Kadang yang muncul di bibirnya bukanlah sebuah senyuman untuk kami melainkan sebuah cengiran yang tak kalah geje bentuknya dengan tindakan kami
  • Mulai hapal jadwal mas Oki dari hari ke hari. Ini tindakan gila terparah yang kami alami. Entah karena sudah kebiasaan atau emang entah karena "sengaja" menghapal jadwal lewatnya jam berapa, jadwal hari apa biasanya dia di mana, jadwal jam berapa dia ada di parkiran, dan jadwal-jadwal lainnya. Ini makin menggila karena lama-kelamaan kami hapal di mana kami harus stand by buat menanti masnya lewat.
  • Mulai hapal baju yang dia pake. Ini tindakan gila yang jarang aku lakukan namun sering dilakuakan oleh partnerku (baca: Lia). Aku no comment untuk tindakan ini karena sudah termasuk level "parah".
Well, setidaknya itulah beberapa tindakan "gila" yang aku lakukan bersama partnerku.  Gila memang, namun kami seolah menikmatinya. Kadang kami menganggap sosok mas itu sebagai penyegar buat kami di tengah kejenuhan kuliah dan tugas plus kadang penyejuk hati kami yang kadang tersakiti oleh cinta. Namun makin ke sini jujur saja muncul pertanyaan di benakku, beda antara suka ama demen tipis sekali. Aku tidak demen ama mas itu, tapi suka aja lihat tingkah polahnya. Tapi lama-lama bisa saja suka itu jadi demen kalau aku sendiri tidak bisa mengendalikan "tindakan gila" di atas. Lucu memang kisah-kisah macam ini. Aku anggap ini sebagai kenangan, kenangan yang terlupakan saat aku berumur 20 tahun. Kenangan gila yang aku miliki di tengah frustasi hidup di teknik kimia. Nge-fans pada mas Oki menjadi sesuatu yang tidak akan aku sesali karena menurutku itu bukan hal salah.

Jumat, 25 Maret 2011

This is "The Bad" from Me: Aku dan Sejuta Keluhan

Sejenak aku daftar tugas-tugas yang ada: Teknologi Enzim, Perancangan Proses Kimia, SOM. Lalu aku melihat hal lain yang tak kalah urgent pula: Proposal Penelitian dan PKM. Awalnya aku sangat optimis bisa melalui semuanya dengan senyuman dan pada akhirnya hasilnya akan sangat memuaskan. Namun ternyata semua tak semudah yang aku bayangkan. Ketika setan-setan mulai masuk ke jiwaku maka yang muncul hanya satu: KELUHAN. Keluhan aku capek lah, keluhan tugasnya susah lah, keluhan mencari jurnalnya susah lah, dan ribuan keluhan lain. Bahkan kadang muncul rasa takut berlebihan seolah-olah aku tak mampu menjalani ini semua. Inilah serpihan kata-kata yang mendekam di otakku selama berhari-hari ini. Sesuatu yang hanya muncul ketika aku tengah sendirian di kamar kost, duduk di depan komputer yang lemotnya minta ampun dan kadang mati gara-gara listrik tidak kuat, serta mencari tugas dari internet namun tidak ketemu-ketemu. This is the bad from me....

Siapa sangka aku akan kesulitan mencari tugas Teknologi Enzim. Aku pikir tinggal search di Google lalu muncul lalu copy paste (dosa yang sering kali aku lakukan). Aku ketik nama enzim yang menjadi tugasku: 5'-Phosphodiesterase. Lalu kemudian yang muncul hanyalah jurnal-jurnal berbahasa Inggris yang amat sulit dimengerti karena kebanyakan mengenai farmasi. Aku mencoba mencari di laman berbahasa Indonesia, yang muncul jauh lebih mengejutkanku (maaf, yang muncul adalah hal-hal berbau disfungsi ereksi. Kontan kepalaku makin puyeng). Setelah dengan berbagai perjuangan, membaca jurnal-jurnal rumit, hingga bertanya pada kawan lamaku via Twitter, aku mulai sedikit memahami apa itu 5'-Phosphodiesterase. Puji Tuhan hingga detik ini satu halaman berhasil aku buat walaupun mungkin sangat 'geje' :(

Tugas yang tak kalah membingungkan tentu saja SOM. Awalnya aku santai-santai saja karena ternyata ada teman yang punya soft tugas yang dulu, jadi tidak perlu susah-susah membuat tugas SOM. Namun saat hari H presentasi ternyata tugas SOM kelompokku salah total. Maka mau tak mau harus dibenarkan. Berhubung aku ternyata mempunyai diktat SOM yang berisi materi untuk tugasku, aku menawarkan diri untuk membenarkan tugas tadi. Selesai masalah pembenaran tugas, tapi selanjutnya ada tugas SOM lagi yang menanti. Semoga tugas yang sekarang tidak salah lagi...

Tugas Perancangan Proses Kimia juga awalnya aku kira mudah karena kebetulan salah seorang rekan kelompokku sudah punya 'baceman' dari anak 2007. Namun setelah didalami arah tugas tadi, apa yang harus ada, analisisnya bagaimana, maka dapat kusimpulkan tugas ini juga tak semudah main ular tangga. Dan lagi-lagi dalam kesendirian di kamar kost, aku hanya bisa termenung di depan komputer lemot ini. Meski tugasnya masih lama, hati berasa tak tenang kalau belum menemukan referensi untuk tugas. Tidur tak enak, bernyanyi pun enggan, mau download lagu pun malas. Jika sudah seperti ini maka tujuan berikutnya adalah KASUR...

Hal yang masih sangat malas aku bicarakan adalah proposal penelitian dan PKM. Mengapa aku malas? Entahlah... Meski untuk proposal penelitian sudah diberi tema namun aku merasa minder melihat kawan-kawan yang lain: ada yang sudah sampai bab 2, ada yang sudah sering konsultasi, bahkan ada yang mulai nge-run. Bisa kuceritakan nasibku: dosen hanya bisa ditemui satu hari dalam seminggu, sekalinya mau datang konsultasi lebih sering ditolak karena beliau sibuk, sekalinya sudah bertemu maka tatap muka kami paling lama hanya 5 menit. Puji Tuhan sekarang sudah ada kepastian tema dan kesiapan jurnal sudah ada serta aku sudah lumayan mengerti tentang elektrokoagulasi. Bicara PKM maka itulah yang membuatku miris. Aku merasa lolos PKM bukanlah hal yang menggembirakan di saat-saat seperti ini. Kalau ingat PKM sungguh aku hanya ingin mengeluh: kenapa harus lolos??? PKM yang awalnya aku kira tidak rumit jika dilaksanakan ternyata rumit juga. Aku kadang tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi Erlinda, ibu ketuanya..

Setelah dirunut-runut berbagai masalahku, maka dari sekian banyak masalah yang muncul aku hanya bisa mengeluh. Bahkan saat berdoa sebelum tidur aku seperti men-judge Tuhan dengan kata: Why? Why? Why? Why? Why must to be me???? Keluhan sekarang menjadi sahabat karibku. Kadang aku bisa tertawa lepas kalau di kampus seolah santai dengan segalanya. Namun kalau sudah di kamar kost, maka aku menjadi melankolis akut. Lagi-lagi kadang aku meratapi nasib mengapa masuk teknik kimia, mengapa dapat dosen pembimbing sibuk, mengapa harus menjadi anak bungsu yang so complicated hidupnya...

Tapi kadang aku bisa STOP MENGELUH kalau melihat Spongebob. Lihatlah dia, tak pernah mengeluh sedikit pun meski selalu kerja di Krusty Krab (bahkan kadang tak dibayar). Lihatlah dia, selalu tersenyum pada siapa saja meski tanpa dia sadar banyak orang yang tak suka padanya. Lihatlah dia, selalu membawa keceriaan pada siapa saja. Aku rasa hanya satu hal yang bisa membuat aku berhenti mengeluh, yaitu dengan bersyukur. Gantilah ungkapan: 'Aku lelah' dengan 'Aku bersyukur aku masih bisa merasakan lelah'. Ubahlah keluhanku pada Tuhan tiap malam dengan: 'Terima kasih karena aku diberi kesempatan melewati cobaan ini'. Namun sekali lagi tak mudah menjalani ini, apalagi kalau iman tak kuat maka setan lebih mudah merasuki jiwa ini..

Aku sekarang sedang berusaha mengumpulkan sisa-sisa semangat yang ada. Biar tinggal sisa-sisa namun aku rasa jauh lebih baik daripada sudah tak ada semangat sama sekali. Biarlah sepotong lirik dari lagu Menanti Keajaiban nya Padi senantiasa aku dengarkan sekarang:
....seharusnya aku tak patut bersedih atas semua yang terjadi kepadaku, aku merasa bahwasanya hidup ini tak lebih dari sekadar perjalanan... hingga saatku tiba, semoga tak lelah aku terus berpeluh... hingga saatku tiba, kuharap temukan apa yang aku cari....

Jumat, 04 Maret 2011

How to be A Good Engineer????

Sabtu kemarin (2 minggu yang lalu) aku baru saja melihat wisuda kakak laki-lakiku. Aku kagum padanya. Anak laki-laki "rata-rata" di rumah kami sudah jadi sarjana. Siapa pun -termasuk aku- tak akan menyangka dia bisa menjadi insinyur seperti sekarang. Empat setengah tahun dia berjuang kuliah. Di antara ketiga anak di rumah kami, dia bisa dibilang -maaf- agak lemah otaknya. Dia belum pernah menyandang juara kelas semasa SD. Dia juga pernah tak mendapat ranking saat SD dan SMP. Jujur saja saat kecil aku merasa tak yakin dengan masa depannya. Jika dilihat dari nilai dan prestasi akademiknya, aku tak bisa katakan dia golongan orang pintar. Dia tak masuk SMP 1 seperti aku dan kakak perempuanku. Dia bahkan hanya sekolah "nomor 3" di kotaku saat SMA (Aku bisa cukup berbangga karena aku berhasil masuk ke sekolah "nomor 2"). Bahkan meski sudah sekolah di SMA yang biasa-biasa saja dia tak berhasil bersinar akademiknya di sana. Aku sempat berpikir jangan-jangan ini gara-gara dia pernah jatuh dari tempat tidur saat bayi dulu. Jadi mungkin setelah dewasa otaknya agak terganggu. Namun di balik segala "kebodohannya" yang selalu kupandang sebelah mata, aku bisa katakan hari Sabtu kemarin adalah pembuktian bahwa dia bukanlah laki-laki biasa.

Setelah lulus SMA kakakku diterima di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Jurusannya pun tak main-main: Teknik Arsitektur. Aku sempat kaget bahkan hampir pingsan saat ia diterima di Teknik Arsitektur. Bagaimana bisa seorang anak dengan background "jelas-jelas anak IPS saat SMA" bisa diterima di teknik? Lama-kelamaan aku baru sadar bahwa universitas swasta berbeda dengan universitas negeri. Meski sama-sama pakai test masuk, uang jelas lebih "bicara". Sekadar catatan, sebelum ikut tes di perguruan tinggi swasta tadi kakakku sudah kenyang ikut Ujian Masuk sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta plus UMPTN. Dua-duanya memberi hasil sama: DITOLAK. Maka seperti kebanyakan jalan manusia yang lain, perguruan tinggi swasta menjadi pilihan melanjutkan hidup. Saat itu aku heran berani-beraninya dia mendaftar di teknik arsitektur. Apa pikir dia bakal diterima? Namun toh kenyataannya dia diterima. Usut punya usut, seperti yang kukatakan tadi, semuanya karena uang. Bapakku mengisi uang sumbangan sebesar 5 juta rupiah. Asal kalian tahu, bapakku sendiri tak bermaksud berbuat "nepotisme" macam pemerintah zaman sekarang. Beliau sunggu-sungguh polos dan tak tahu kalau uang segitu cukup besar jumlahnya untuk ukuran "sumbangan". Beliau pikir orang lain pun akan mengisi dengan uang yang lebih besar (padahal juga tidak...). Maka begitulah, jalan laki-laki itu telah ditetapkan untuk menempuh kuliah di teknik arsitektur.

Semester pertama dia kuliah di sana semuanya berjalan baik-baik saja. IP nya di atas 3. Namun di semester kedua IP nya melorot jadi 2 koma. Saat itu aku berpikir: nah lo, kau pikir gampang kuliah di teknik? Anak IPS macam kau mana kuat lama-lama di teknik. Kesangsianku akan kekuatan kakakku untuk bertahan di teknik arsitektur mulai luntur sejak dia semester tiga. Dia tak pernah lagi mendapat IP 2 koma. IP nya selalu di atas 3 lagi. Tak usahlah cumlaude, melihat dia bisa ada di sana bertahun-tahun saja aku heran. Dia luamayan hidup susah di sana. Kostnya tak semewah kost anak laki-laki pada umumnya. Dia ke mana-mana naik angkot, kuliah jalan kaki. Dia bisa bertahan hidup 2 tahun tanpa komputer. Bisa kubayangkan betapa repotnya dia pinjem komputer sana-sini jika ada tugas. Kira-kira semester 5 dia membeli komputer dengan uangnya sendiri. Bukan komputer baru, hanya komputer rakitan. Dia bukan tipe laki-laki yang ingin menyusahkan orang tua. Orang tuaku pasti masih mampulah kalau membelikan dia komputer. Tapi sekali lagi, dia anak yang sangat baik. Aku ingat saat dia masih kecil, jika ingin dibelikan sesuatu ia selalu pakai embel-embel: "nek sampun gajian aku tumbaske iki nggih.."(translate: misalnya sudah gajian aku belikan ini ya..). Ya, dia tak pernah memaksa orang tuaku beli ini itu. Dia selalu meminta dengan sopan bahkan kalau menurutku amat sopan. Bagaimana mungkin anak kecil bisa memohon dengan begitu sopannya? Mungkin dialah laki-laki tersopan yang pernah aku lihat.

Aku tak pernah tahu kapan dia ujian karena dia tak pernah terlihat stress atau belajar saat di rumah. Kerjaannya paling hanya tidur seharian atau main game bola favoritnya. Belakangan kuketahui bahwa saban hari dia baru tidur pukul 2 pagi bahkan 4 pagi. Aku bisa maklum kalau di rumah kerjaannya hanya tidur dan makan. Hebatnya lagi dia jarang atau bahkan hampir tak pernah mengeluh tentang kuliahnya. Dia tak pernah kudengar menggerutu atau menampakkan betapa malangnya dia dengan tugas-tugasnya yang berat. Aku pikir dia pulang ke rumah untuk dua hal: kehabisan uang dan mencari tempat nyaman untuk tidur. Saat semester 6 dia mulai kelihatan sibuknya. Dia mulai ada kerja praktek. Tempat kerja praktek bukan tempat-tempat jauh yang memakan biaya hidup banyak. Dia hanya kerja praktek di kota kelahirannya, Magelang, di sebuah tempat yang sedang membangun ruko. Tiap hari dia ke sana, pinjem hape kakak perempuanku untuk dokumentasi (maklum hapenya saja jelek), dan membuat laporannya. Hingga saat ini tiap lewat bangunan ruko itu maka aku langsung ingat kakak laki-lakiku itu. Kemudian dia juga menjalani KKN di pulau nun jauh di sana. Dia KKN di Toraja. Gara-gara dia KKN di sanalah, kini di keluargaku hanya tinggal aku yang belum pernah naik pesawat (yang ini bukan hal penting sebenarnya). Setahuku dia lagi-lagi tak mau merepotkan orang tua. Sebagian besar dia memakai uangnya sendiri untuk hidup di sana. Pernah juga dia kehabisan uang, lalu ibuku mengiriminya uang. Terakhir, kesibukannya adalah membuat tugas akhir. Nah kalau yang ini aku cukup tahu jalan hidupnya. Dia memilih untuk redesain pasar di kotaku yang terbakar bertahun-tahun yang lalu namun sampai sekarang belum beres dibangun lantaran pemerintah kotaku yang tak becus. Aku ikut saat dia mengambil potret kondisi pasar yang terbakar itu. Aku selalu melihat dia bekerja sampai malam saat di rumah. Kalau malam hari sudah larut aku menguap geje di depan televisi sambil menonton sinetron ibuku yang tak kalah geje, kakakku masih stay cool di depan laptop. Kadang saat aku beranjak tidur, dia belum beranjak dari tempatnya. Saat aku bangun di pagi hari untuk menonton Spongebob, maka yang kulihat pertama adalah kakakku yang (lagi-lagi) masih stay cool di depan laptop. Muncul pikiran di otakku: nih anak bobok ga sih? Maka jangan heran kalau kakakku selalu molor di siang bolong dengan kondisi belum mandi dari pagi. Kadang dia hanya mandi sekali saat sore hari. Bisa kalian bayangkan betapa merananya menjadi adik dari laki-laki macam itu...

Hingga Sabtu kemarin, aku melihat seorang laki-laki hebat itu sedang berjalan dengan "tidak gagahnya" memakai toga. Mengapa aku bilang tak gagah? Wajahnya tetap kumal, rambutnya belum dicukur, dan jenggotnya masih merajalela di dagunya. Padahal sebelum wisuda ibuku sudah mewanti-wanti agar semua bulu di dagunya itu dibersihkan dan rambut keritingnya yang sudah agak gondrong itu dicukur. Dia sangat tak elegan hari itu. Bahkan saat sudah masuk ruangan dan duduk, hal pertama yang ia lakukan adalah melahap sncak yang ada. Kelaparan katanya. Aku jadi berpikir seberapa sengasara hidupnya hingga kelaparan seperti itu? Sewaktu namanya dipanggil untuk diwisuda, lagi-lagi dia berjalan dengan sangat "tidak gagah". Wajahnya tak sesumringah teman-temannya yang lain. Ekspresi datar dan biasa-biasa saja. Namun satu hal yang membuatku hormat kepadanya. Dia lulus dengan IPK 3,32. Tak cumlaude memang. Bagiku cumlaude itu tak penting. Lihatlah sejarahnya, anak IPS yang bisa bertahan hidup di tengah kerasnya dunia keteknikan. Bahkan saat keluarganya mengkhawatirkan akan nilai-nilainya nanti, dia berhasil menunjukkan kalau dia bisa. Dia mampu. Dia kuat. Dia bukan insinyur yang banyak omong. Dia memang bukan lulusan universitas mentereng, tapi dia insinyur yang aplikatif. Tengoklah bangunan bagian depan rumah bulikku, dialah yang merancang segalanya. Saat itu dia belum genap dua tahun kuliah di teknik arsitektur namun sudah bisa membuat desain bangunan. Dia insinyur yang peka pada lingkungan sekitar. Tengoklah ia membuat rencana redesain pasar di kotaku. Aku pernah melihat hasil kerjanya, lumayan keren juga kalau pasar di kotaku menjadi seperti itu. Namun sayangnya dia masih kurang tenar namanya di kalangan pemerintah kotaku. Hasil kerjanya mana mungkin dilirik pemerintah. Bahkan aku sebagai adiknya tak sudi hasil kerja kakakku jatuh di tangan pemerintah kotor itu (mudah sekali aku senewen jika bicara tentang pemerintah). Di mataku, dialah sosok panutan seorang engineer.

Aku, sebentar lagi akan mulai menjalani semester 6. Beberapa kawanku sudah merancang masa depan mereka. Setahuku kebanyakan dari mereka ingin lulus kurang dari 4 tahun. Jujur saja aku bahkan tak pernah berpikir sejauh mereka. Bagiku, seorang engineer haruslah melewati proses yang panjang seperti kakakku. Dia belajar, dia berkorban, dia berjuang, bahkan sampai jarang tidur demi gelar Sarjana Teknik yang layak. Ujian di kampus kakakku terbilang susah. Yang namanya open book ya open book. Tidak ada baceman di sana. Mahasiswa di sana hanya mengenal text book. Jangan harap kita bisa melihat mereka membuka-buka kertas buram-buram yang tebalnya hampir menyamai novel The Lost Symbol karya Dan Brown. Satu hal lagi, di kampus kakakku jarang terjadi "obral nilai" dan pengulangan soal dari tahun ke tahun. Bisa kutarik kesimpulan, meski itu hanya perguruan tinggi swasta dan tak secermerlang kampusku, namun di sana tercetak insinyur yang "benar-benar insinyur". Wajar saja kakakku sempat rada kaget saat tahu di tempatku banyak yang bisa lulus 3,5 tahun. Pikirnya: itu teknik apa manajemen? Aku tak mau menyalahkan mereka yang lulus 3,5 tahun. Aku percaya dengan sepenuh hati kalau mereka pintar. Tapi aku ragu kalau mereka se-aplikatif kakakku. Aku ragu ilmu mereka sudah benar-benar melekat dan menancap di otak mereka. Jujur, dua tahun aku kuliah, aku masih merasa bodoh. Ironi rasanya ketika aku bisa bangga IPK di atas 3 tapi ketika ditanya orang: "wah kuliah dua tahun sudah bisa bikin apa?", maka aku hanya tersenyum. Senyum pahit. Miris amat nasibku, mau jadi apa besok...

Well, setelah kejadian wisuda Sabtu kemarin, kucamkan dalam hati bahwa kelak aku mau jadi insinyur seperti kakakku. Aku mau seperti laki-laki hebat itu. Meski hidup dengan wajah kumalnya namun jalan hidupnya begitu meyakinkan. Laki-laki yang menjadi kawanku sejak kecil itu mengajariku bahwa jalan menjadi insinyur tak semudah membalikkan tangan. Laki-laki yang mengajariku bermain rubik 3x3 itu memberi pencerahan bagiku bahwa tiada guna banjir nilai A dan B dalam transkripku kalau aku sendiri tak bisa mengenal ilmu yang kupelajari. Laki-laki yang tengah berusaha menyelesaikan rubik 4x4 itu membuka pikiranku bahwa bukan nilai-nilai lah yang membawa kita ke kesuksesan atau kesempurnaan menjadi sarjana, melainkan jalan dan berbagai rintangan berliku yang berhasil kita lewati. Laki-laki penyuka AC Milan itulah yang membuatku sadar: How to be a good engineer?


Kamis, 17 Februari 2011

Monotheisme yang terkadang Atheisme

Akhir-akhir ini gue ngrasa labil, ngrasa sering ngelamun, ngrasa gampang gundah, ngrasa waktu mendatang gue begitu suram. Gue belum manjalani semester 6 ini, tapi gue udah ngrasa pengin mati rasanya. Sejuta masalah satu per satu muncul, mulai dari kape, penelitian, perbaikan kuliah, tugas ppk, ipk, ampe besok abis lulus gue mau jadi apa. Gue stress sendiri mikir itu semua. Gue stress liat temen-teman gue udah dapat tempat kape tapi gue belum. Gue udah usaha pake air mata segala. Gue tinggal nunggu jawaban tapi kok ya ga dijawab-jawab. Gue rencana pengin nyamperin langsung pabriknya, tapi ternyata pas gue telpon dari pihak sana juga ga njamin kalo berkas kita bakal langsung diurus. Kadang cuma ditinggal aja trus ntar kita suruh telpon lagi buat tau keputusannya (la kalo gitu ga salah dong kalo gue milih mending ngirim via pos aja, lebih murah). Tapi yang namanya ngirim via pos juga ada ga enaknya. Sekarang gue harus harap harap cemas geje. Tiap hari telpon pabriknya, tapi selalu dapat jawaban geje juga. Ada kakak angkatan yang mencoba menghibur gue katanya emang kalo di sana mbales surat kita agak lama, jadi sabar aja. Namun sayangnya otak gue udah serasa mau pecah mikirin ini. Gue stress, gue gila!!


Itu tadi cuma seklumit kisah gue. Masih banyak yang laen sebenarnya. Gue cuma mau share, kalo gue lagi banyak masalah gini jujur aja gue ngrasa jadi atheis. Gue kayak kagak punya Tuhan. Gue dilindas ama ketakutan gue sendiri. Iman gue udah kalah ama rasa takut gue. Gue ngeluh, gue takut, gue nangis, gue njerit seolah-seolah gue ga punya tempat yang tepat buat bersandar. Gue jarang berdoa sekarang. Sebelum tidur pun gue enggan bicara lama-lama ama Tuhan. Kalau udah capek mikir gue rasanya pengin merem aja. Gue bener-bener udah hopeless sekarang. Bayangan ke depan berasa buram banget. What the hell it is!


Tulung deh tenang in hati gue......... Tuhan..... I need Your answer............ Gue percaya kalo gue ga harus bunuh diri kan ni??? Semua bakal baik-baik saja kan, Tuhan??? I need Your hug..... Gue butuh waktu buat talking to You so much... Setan-setan di pikiran gue minggir dong......

Begitu Ironinya (Negeri Tercintaku Ini)

Ini tulisan gue buat berdasarkan pengamatan gue selama hampir lebih dari 20 tahun gue hidup di tanah air ini. Ini kisah nyata. Sebuah refleksi biar mata kita terbuka dan gue harap setelah pada baca ini kalian dapat melakukan sesuatu untuk bangsa ini...

  • Ironinya bangsa ini, di saat gue lihat para kondektur dan sopir bus harus berjuang penuh keringat buat dapat duit HALAL, mereka pejabat-pejabat jahanam itu justru dengan nikmatnya korupsi yang jelas-jelas menurut gue itu duit HARAM
  • Ironinya negeri ini, para "anggota dewan yang terhormat" yang katanya memperjuangkan nasib rakyat, justru malah tidur nyenyak saat sidang, malah pada facebook an, pada BBM an seolah mereka ga bikin dosa ama kita. Sebenarnya apa yang mereka perjuangkan? Sekolah aja masih mahal, desa tertinggal makin banyak, harga kebutuhan pokok tambah mahal. So what the damn things they do at there?
  • Ironinya bangsa ini, saat para pedangang asongan dan para pengamen mencari nafkah dengan cara HALAL mereka justru malah dikejar-kejar satpol PP. Sementara mereka yang sudah makan uang rakyat dengan cara sangat HARAM justru bisa hidup aman-aman saja. Malah ada yang bisa jalan-jalan berlibur segala.. Apa karena para padagang asongan dan pengamen ga punya duit buat nyogok?
  • Ironinya negeri ini, maling ayam ama koruptor perlakuannya beda di penjara. Yang maling ayam tidur di sel sempit bareng napi lain, dingin, tanpa ada fasilitas mewah. Tapi yang koruptor bisa-bisanya ada di penjara bintang lima dengan AC, televisi, DVD, plus bonus pembantu
  • Ironinya bangsa ini, saat semua berlomba-lomba membangun rumah mewah, berlomba-lomba tinggal di apartemen mewah, masih ada aja yang lebih milih tinggal di bantaran kali, di kolong jembatan, di pinggir rel kereta. Yang paling parah gue pernah lihat di berita ada yang rela tinggal di kuburan.
  • Ironinya negeri ini, lulusan sarjana yang begitu intelek plus IPK cumlaude banyak yang ga dapat kerjaan. Pengangguran ga pernah turun jumlahnya, malah naik terus. Sebenarnya apa yang salah? Mahasiswa? Atau sistem pendidikannya?
  • Ironinya bangsa ini, saat para buruh pabrik harus bangun pagi untuk kerja dan sebisa mungkin ga telat biar upah ga dipotong, para PNS justru asyik leyeh-leyeh dan jalan-jalan saat jam kerja dengan gaji mereka yang tak pernah dipotong
  • Ironinya negeri ini, gue pernah liat pegawai dekanat asyik YM an ama buka Youtube saat jam kerja. Enak amat kerja kayak gitu, gue mau kalau kerja cuma bengong doang
  • Ironinya bangsa ini, para petinggi negara ini udah mati rasa ama kriktikan. Udah banyak lagu atau film atau tayangan yang sengaja menyindir mereka, tapi kuping mereka seolah disumpel ama kapas.
  • Ironinya negeri ini, mental anak-anak muda aja udah bobrok. Lihat aja dari hal kecil: nyontek saat ujian. Nilai kejujuran kayaknya udah ga dibutuhin lagi di negeri ini.
  • Ironinya negeri ini, kita masih saja gampang terpicu emosi hanya gara-gara isu SARA. Mungkin Bhineka Tunggal Ika udah ga bisa nyentuh nurani kita lagi
  • Ironinya bangsa ini, di lingkungan yang dikelilingi mahasiswa Undip, ada aja anak-anak Tembalang yang gak sekolah gara-gara ga ada duit. Tetangga depan kost gue persis, dua anaknya ga sekolah sama sekali. Yang pertama karena dia kena polio, yang kedua karena ga ada duit. Miris kalau gue lihat ada lingkungan terbelakang yang mana sekelilingnya adalah kost-kost an yang berisi banyak mahasiswa. Ironinya GUE, karena ga tanggep dari dulu dan gak nglakuin apa-apa.


Ini sebagian dari sejuta ironi yang gue lihat. Ini baru awal yang bisa gue tulis karena kadang otak gue juga ga sanggup ngungkapin semuanya. Menulis ini saja udah bikin gue pengin nangis. Gue percaya kalian juga pasti bisa nemuin ironi-ironi yang laen. Overall, i still love Indonesia

Kamis, 10 Februari 2011

Damn Love, Damn Feel, and Damn Me :(

Bagian hidup gue yang ini, yang begitu meresahkan hati, yang begitu menusuk suatu ruang terdalam dalam hati gue, gue sebut: Broken Heart. Ga enak emang patah hati itu. Beberapa fase harus gue lewati. Pertama adalah fase kaget dan shock, kedua fase sendu mandayu, ketiga fase sok tegar, keempat fase sok sibuk untuk mengalihkan pkiran dari hal-hal yang membuat nambah sakit, kelima fase mulai terbiasa hidup normal lagi, dan fase keenam adalah fase sakit hati lagi. Fase keenam adalah fase yang menjadi akhir sekaligus menjadi awal lagi untuk memulai dari fase pertama lagi. Gue banci hal ini karena fase-fase tadi seperti siklus yang senantiasa berputar dan tiada berhenti dan selalu berulang. Menyakitkan! Bahkan kalau lihat wajah orang yang gue sayangi rasanya pengin mukul pacarnya aja (Lohhh??). Satu lagi fase yang paling menyakitkan adalah susah untuk melupakan orang yang gue sayangi tadi. Bagi gue, apa yang udah nancep itu sulit buat dicabut. Kebiasaan buruk gue adalah menyimpan cinta terlalu lama pada seseorang. Jadi ibarat lirik lagu Rossa ama Pasha, ....kerena sekali cinta aku tetap cinta.... Damn! Payah gue.. Melankolis abis. Ga tau deh ampe kapan bakal cinta ama laki-laki ini.

Sekarang gue butuh gawean, masalah, ato laki-laki lain yang sekiranya bisa dijadikan pengalih perhatian. Gue pengin menghabsikan sisa waktu kuliah yang tinggal 1,5 tahun ini untuk bahagia. Gue ga mau lagi peduli lagi ama kisah cinta sendiri ini, gue ga bakal peduli kalau bahkan laki-laki yang gue sayangi ini udah ga care lagi ama gue, gue ga peduli lagi ama apa yang mau dia lakuin, gue ga mau lagi lihat ke belakang, gue bahkan ga mau lagi ngalami fase-fase patah hati hati lagi. Gue bakal berhenti di fase kelima dan ga bakal menginjak fase keenam lagi. Gue bulatkan tekad kalau gue baik-baik saja sekarang dan selamanya. Tapi gue ga bakal naif juga bilang udah ga cinta lagi ama laki-laki itu. Dia, bagimanapun juga pernah menempati tempat yang amat paling sulit dijangkau oleh laki-laki mana pun. Dia, seberapa pun luka yang gue alami karena dia, tetaplah orang yang bakal terjaga tempatnya di hati gue. Gue ga mau bohong kalau di sini, di dalam ruang terasing dalam hati gue, ga bakal gampang diganti sembarang laki-laki. Jadi ya biarlah laki-laki itu tetep ada di hati gue, sampai nanti (entah kapan, tapi gue yakin pasti datang juga waktunya) ada orang lain yang berhasil mendepak laki-laki ini dari sini.






~tulisan geje di pagi hari... Karena gue sendiri ga tau gimana mengungkapkannya selain melalui blog ini. Gue lagi sendirian, ga ada yang bisa diajak ngobrol juga. Kalau yang ngrasa juga membaca ini, gue lega juga. Seenggaknya dia tahu tanpa gue harus ngomong. Tapi kalau ga kebaca ama dia, ya sudahlah... That was just a part of my life

~download soundtrack kisah gue:  Cerita Lalu-Kerispatih
ama What Good is Love Without You-Melee

Gue Aman-Aman Aja di Tengah Para Mayoritas!!!

Akhir-akhir ini kupingku rada panas jika mendengar berita tentang pembakaran Gereja yang terjadi di Temanggung. Kebenaran akan berita itu pun masih simpang siur. Bahkan aku sebenarnya tak peduli apa yang melatarbelakangi kejadian itu. Aku sempat marah, wajarlah.. Aku seorang nasrani yang juga tiap Minggu beribadah ke Gereja.  Kalau tempat buat ibadahku saja dirusak, wajar pula kalau aku kemudian pesimis terhadap kebebasan beragama di negara ini. Kadang rada kecewa juga kalau melihat Pak SBY hanya bilang: "Saya prihatin". Woi Pak... Sadar ga sih bangsa ini ga cuma butuh keprihatinan dari Bapak! Tiap kali pidato selalu bilang: "Saya prihatin". Aku juga bisa kalau cuma bilang begitu...


Back to topic, di mata aku yang awam dan memang kurang tahu kronologi kejadiannya, bisa aku katakan bahwa mereka yang berani merusak rumah ibadah itu bukanlah orang beragama. Mengapa? Karena mana ada orang beragama, orang yang meneriakkan nama Tuhan, justru membakar "rumah Tuhan" sendiri? Kalau pun memang mau merusak janganlah bawa-bawa nama Tuhan, bawa-bawa nama agama. Tuhan mana rela kalau tempat para umatNya beribadah dibakar seperti itu. Mungkin Tuhan mana rela juga namaNya sembarangan dipakai ama orang-orang macam itu. Mereka, yang membakar Gereja-gereja, hanya membuat sebuah jurang pemisah antarumat beragama. Aku yakin sebeluum kehadiran mereka yang membuat onar itu kehidupan umat beragama di sana damai-damai saja. Akibat ulah mereka, status kawan-kawan baik di Facebook maupun Twitter menjadi sangat alay. Ada yang marah, ada yang saling mencaci, bahkan sampai membawa-bawa SARA. Satu pertanyaanku: bahagiakah mereka yang telah membuat bangsa ini terpecah?

Mau tidak mau, kita harus menerima bahwa kita ini hidup dari berbagai keragaman. Ada minoritas, ada mayoritas. Sudah selayaknya yang minoritas menghargai mayoritas dan yang mayoritas melindungi yang minoritas. Dari TK sampai kuliah ini aku selalu hidup sebagai kalangan minoritas baik di sekolah maupun kampus. Sejak TK aku sudah mengenal alhamdulillah, bismillah, assalamualaikum, hingga yang namanya bulan Ramadhan. Aku sering ikut buka puasa bersama. Yang ingin aku tekankan adalah: aku baik-baik saja dan aku aman-aman saja di tengah kaum mayoritas (yang kebetulan Muslim). Aku dan kawan-kawan dapat hidup bahagia, aman, sentosa, ketawa-ketiwi, bergosip sana-sini... Kami memang berbeda, namun kami tak pernah mempermasalahkannya. Aku sering nongkrong di Masjid kampus, biasanya menunggu teman sholat. Aku baik-baik saja di sana, tak ada yang memarahiku  walau aku hanya sekadar duduk geje atau kadang untuk berteduh dari panas. O ya satu lagi, saat aku berulang tahun ke-20 kemarin, dua orang kawanku yang muslim justru memberiku hadiah yang membuatku kaget bahkan hampir aku menitikkan air mata: mereka memberiku kalung salib. Sebuah benda yang tak pernah aku punyai selama hidup. Hal yang biasa jika yang memberiku adalah ibuku, bapakku, atau kakakku. Tapi kala itu yang memberi justru kawan-kawanku yang muslim. Inilah satu hal lagi yang membuatku bangga dan merasa aman hidup di tengah banyak perbedaan.

Di sini aku ingin meneriakkan: Gue aman kok hidup di tengah mayoritas!! Aku tak peduli dengan para orang gila yang membakar Gereja, aku tak peduli dengan pertengkaran yang terjadi di luar sana, aku tak peduli banyak perang terjadi atas nama perbedaan agama, karena di sini aku selalu bisa membuktikan bahwa kami (yang jelas-jelas berbeda agama) dapat hidup aman dan damai. Jadi tolonglah untuk mereka yang mau merusak rumah ibadah (apapun itu, tidak hanya Gereja), jangan sekali-kali membawa nama Tuhan atau agama. Biarkanlah kami hidup nyaman dengan perbedaan kami, ijinkan kami untuk membuat perbedaan tadi menjadi sesuatu yang indah.

Sabtu, 29 Januari 2011

Hope Is A Dream That Doesn't Sleep

Lirik terjemahan ini adalah soundtrack dari drama korea Bread, Love, and Dreams. Selain lagunya yang memang enak didengar, liriknya pun ternyata sangat bagus.

It doesn’t matter if I’m lonely. Whenever I think of you
A smile spreads across my face.
It doesn’t matter if I’m tired. Whenever you are happy
My heart is filled with love.

Today I might live in a harsh world again.
Even if I’m tired, when I close my eyes, I only see your image.
The dreams that are still ringing in my ears
Are leaving my side towards you.

Everyday my life is like a dream.
If we can look at each other and love each
I’ll stand up again.

To me, the happiness of those precious memories
Will be warmer during hard times.
For me, hope is a dream that never sleeps.

Like a shadow by my side you always
Quietly come to me.
To see if I’m hurt, to see if I’m lonely everyday
With feelings of yearning, you come to me.

Even if the world makes me cry, I’m okay.
Because you are always by my side.
Like dust, will those memories change and leave?
I’ll keep smiling to ease my heart.

Everyday my life is like a dream.
If we can look at each other and love each
I’ll stand up again.

To me, the happiness of those precious memories
Will be warmer during hard times.
For me, hope is a dream that never sleeps.

No matter how many times I stumble and fall
I’m still standing like this.
I only have one heart.
When I’m tired you become my strength.
My heart is towards you forever.

So I swallowed the hurt and grief.
I’ll only show you my smiling form.
It doesn’t even hurt now.

I’ll always hold on to the dreams I want to fulfill with you
I’ll try to call for you at the place I cannot reach
I love you with all my heart.

PADI - Discography

Dari sekian banyak grup band yang makin menjamur belakangan ini, nampaknya hanya ada satu grup band yang mempu membuat saya tetap setia untuk jatuh cinta kepadanya. Lima album telah ditelurkan band beranggotakan Fadly (vokal), Piyu (gitar), Ari (gitar), Rindra (bass), dan Yoyok (drum) ini. Meski sekarang harus bersaing dengan puluhan band absurd yang muncul, saya rasa Padi masih mampu mempertahankan eksistensinya di industri musik Indonesia. Padi bukan band kacangan yang mengikuti selera pasar, melainkan band yang selalu menciptakan musik yang berkualitas. Seridaknya sudah lima album mereka keluarkan dan kebanyakan lagu-lagu mereka selalu menjadi hits.

LAIN DUNIA (1999)
Album pertama Padi ini cukup laris di pasaran dan langsung disambut baik oleh pencinta musik Indonesia. Single Sobat langsung digemari remaja kala itu. Selain itu ada pula lagu Mahadewi yang memiliki aransemen luar biasa indah yang juga menjadi hits. Lagu andalan lain antara lain Begitu Indah, dan Seperti Kekasihku.

  1. Bidadari
  2. Demi Cinta
  3. Sudahlah
  4. Beri Aku Arti
  5. Terlanjur
  6. Begitu Indah
  7. Mahadewi
  8. Di Sini Tanpamu
  9. Seperti Kekasihku
  10. Sobat
Download Full Album  Lain Dunia


SESUATU YANG TERTUNDA (2001)
Bisa dibilang ini album terlaris yang dimiliki Padi. Album ini kebanyakan berkisah tentang cinta. Hits andalannya antara lain Sesuatu yang Indah, Kasih Tak Sampai, dan Semua Tak Sama. Di album ini pula Padi cukup banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai ajang penghargaan musik. Lagu-lagu di album ini begitu easy listening sehingga begitu diminati remaja kala itu
  1. Bayangkanlah
  2. Sesuatu Yang Indah
  3. Semua Tak Sama
  4. Kemana Angin Berhembus
  5.  Lain Dunia
  6. Perjalanan Ini
  7. Seandainya Bisa Memilih
  8. Angkuh
  9. Lingkaran
  10. Kasih Tak Sampai
Download Full Album   Sesuatu yang Tertunda

SAVE MY SOUL (2003)
Di album ketiga mereka, Padi membuat sebuah gebrakan baru. Di album ini akan jarang sekali kita temukan musik mendayu menyentuh hati seperti di album sebelumnya. Musik di Save My Soul ini agak "keras" dan liriknya pun lebih banyak berbicara tentang kegelapan (bukan lagi cinta). Di sini Padi menunjukkan sisi lainnya melalui aransemen musik yang lebih mantap dan lebih "rock". Hits di album ini antara lain Hitam, Rapuh, dan Patah. Padi berhasil berkolaborasi dengan Iwan Fals dalam lagu Sesuatu yang Tertunda. Pada album ketiga ini pun Padi berhasil menyabet banyak nominasi di AMI Award. Padi berani tampil beda di album ini. Walau harus diakui beberapa penggemar butuh adaptasi lagi dengan jenis musik yang mereka bawakan.
  1. Ketakjuban
  2. Hitam
  3. Rapuh
  4. Di Atas Bumi Kita Berpijak
  5. Cahaya Mata
  6. Menanti Keajaiban
  7. Menjadi Bijak
  8. Sesuatu yang Tertunda
  9. Patah
  10. Rephan Hati
Download Full Album  Save My Soul


SELF TITLED-PADI (2005)
Padi kembali muncul dengan lagu yang easy listening. Salah satu single di album ini, Menanti Sebuah Jawaban, bahkan menjadi soundtrack film Ungu Violet. Padi juga berkolaborasi dengan Idris Sardi dalam lagu Masih Tetap Tersenyum. Lagu-lagu andalan di album ini antara lain Ternyata Cinta, Siapakah Gerangan Dirinya, dan Tak Hanya Diam. Di sini Padi kembali mengusung tema cinta pada lagu-lagunya.
  1. Prolog
  2. Tak Hanya Diam
  3. Menanti Sebuah Jawaban
  4. Elok
  5. Siapakah Gerangan Dirinya
  6. Menerobos Gelap
  7. Save My Soul
  8. Akhir Dunia
  9. Ternyata Cinta
  10. Masih Tetap Tersenyum
Download Full Album  Self Titled-Padi


TAK HANYA DIAM (2007)
Di tahun inilah Padi kembali merilis album di tengah ketatnya persaingan munculnya band-band baru macam Kerispatih dan Nidji. Single andalan di album kelima ini adalah Sang Penghibur. Selain itu ada pula Harmony, Belum Terlambat, dan Jangan Datang Malam Ini yang enak untuk didengarkan. Meski angka penjualan album ini tak sefenomenal album-album sebelumnya, setidaknya melalui album ini Padi berhasil menunjukkan bahwa mereka masih ada di industri musik Indonesia.
  1. Sang Penghibur
  2. Harmony
  3. Belum Terlambat
  4. Rencana Besar
  5. Terluka
  6. Jika Engkau Bersedih
  7. Teruslah Benyanyi
  8. Ode
  9. Jangan Datang Malam Ini
  10. Aku Bisa Menjadi Kekasih
Download Full Album  Tak Hanya Diam


Selain itu, Padi juga pernah mengeluarkan single Work of Heaven yang mengisi OST World Cup 2002. Saat itu Padi mewakili Indonesia untuk mengisi album tersebut. Di akhir tahun 2010 ini pun Padi kembali mengeluarkan single Sahabat Selamanya yang menjadi soundtrack Ipin dan Upin.

Rabu, 27 April 2011

...when i talk about kormat....

Sebuah tulisan yang aku dedikasikan untuk para kormat. They are inspiring my life. They show me how to be faithful. Mereka mengajarkanku bagaimana caranya sabar....


Kormat. Nampaknya jabatan tadi sangatlah terhormat. Jika menjadi kormat, maka  bersiap-siaplah menjadi orang penting. Kau akan berhubungan langsung dan lebih intens  dengan dosen. Tak salah jika berharap nomor hapemu juga akan di-save oleh si dosen.  Inbox di hapemu akan dipenuhi pertanyaan kawan-kawanmu yang sama tiap minggunya: nanti  ada kuliah tidak? Maka setelah kau bosan dengan pertanyaan yang sama tiap minggunya,  setiap malam sebelum hari H kuliah kau akan membuat jarkom: JARKOM!! Besok ada kuliah  bla bla bla di ruang bla bla bla pukul bla bla bla. Kalau sudah musim menjelang ujian  maka sms yang masuk ke inboxmu berganti: besok ujiannya open apa close? Jenuh menjawab  pertanyaan yang sama pada tiap orang, ujung-ujungnya kau akan membuat jarkom lagi:  JARKOM!! Ujian bla bla close book. Derita kormat tak sampai di situ saja. Kadang jika  dosen memberi tugas yang rada "geje" dan sulit dipahami oleh otak mahasiswa rata-rata  macam kami, maka seolah-olah kormat lah yang harus bertanggung jawab. Ditanya ini itu,  kalau tak tahu disuruh tanya ke dosennya. Itulah kormat, mengemban tugas yang cukup  berat, menjadi penopang bagi mahasiswa malas macam kami ini.

Ada lagi derita kormat yang lain, dia hampir tak bisa membolos mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya (kecuali kalau dia nekat dan cuek pada nasib kawan-kawannya). Kormat biasanya duduk di depan saat kuliah. Dia akan mengikuti kuliah dengan amat baik, mencatat setiap tugas yang diberikan oleh dosen. Maka kutemukan lagi satu derita kormat: "memperhatikan kuliah dengan sungguh-sungguh". Sudah menjadi rahasia umum kalau mahasiswa bengal seperti kami jarang mengikuti kuliah dengan sungguh-sungguh. Ada saja yang dikerjakan: bergosip dengan teman sebelah, melamun, menggambar rupa-rupa bentuk di kertas, menyalin laporan praktikum, membuat proposal praktikum, mengantuk, tidur, sms an, browsing via hape. hingga sok serius memandang diktat kuliah padahal pikirannya ngelantur ke mana-mana. Namun sekali kau menyandang gelar kormat maka jangan harap bisa melakukan hal-hal tadi dengan leluasa. Kormat lah source of information bagi kawan-kawannya. Salah memberi info pasti akan menjadi pergunjingan walau hanya sesaat. Seperti tabiat kebanyakan orang Indonesia yang suka mengeluh, mahasiswa pun demikian. Sekali berbuat salah, pasti langsung dicibir, dianggap tak bertanggung jawab lah, lalai lah, malas lah, dan lain-lain. Padahal aku yakin, mereka yang tukang mengeluh tadi (termasuk aku) pasti belum tentu mengemban amanah mulia sebagai kormat. Oh ya satu hal lagi derita kormat yang paling akut: saat akan memfotocopy diktat dengan tebal yang lumayan ditambah jumlah mahasiswa yang lumayan banyak juga, mau tak mau dia harus menalangi uang pembayaran kawan-kawannya. Dapat kutarik kesimpulan bahwa kormat haruslah punya uang cadangan untuk keadaan mendadak macam ini. Belum lagi kalau ada beberapa kawan yang belum membayar uang diktat namun dia relakan memberikan diktat pada kawannya karena kasihan.

Atas dasar segala penderitaan yang kulihat jika menjadi kormat tadi, maka kuputuskan aku tak akan pernah mencalonkan diri menjadi kormat. Bahkan kalau sampai ada yang melambungkan namaku saat pemilihan kormat maka bisa kupastikan habislah dia di tanganku. Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya mengurusi puluhan mahasiswa-mahasiswa labil di kelasku. Aku malas sekali mengurusi nasib jadwal kuliah mereka. Aku malas juga jika ada jadwal yang bertabrakan atau dosen yang bersangkutan berhalangan hadir, maka aku harus mencari jadwal penggantinya. Belum lagi kalau kawan-kawanku selalu menghantui malamku dengan sms tentang kapan kuliah. Bukannya aku pelit pulsa, tapi malas saja membalas sms yang sama setiap minggu. Di mataku, setelah menjabat sebagai kormat maka hidup terasa gelap. Satu semester dijalani dengan kelelahan tiap minggu. Ambil absen, ambil LCD, mengingatkan dosen untuk kuliah, ada pula dosen minta dijemput di ruangannya (macam anak SD saja tipe dosen macam ini), kadang ada dosen meminta dibawakan air minum saat kuliah, dan hal-hal absurd lain. Aku akui kalau aku bukanlah tipe penyokong yang bisa melakukan hal-hal tadi. Aku malas mengurusi hajat hidup mahasiswa labil ini. Kalau aku jadi kormat maka pastilah kuliah berantakan. Kalau kau tanya tugas, mungkin kujawab: tidak ada tugas kok, santai saja. Kalau kau tanya ujian close book atau open book mungkin kujawab: open kok (padahal close book).

Kalian boleh men-judge aku sebagai mahasiswa tak bisa diandalkan dan tak bisa bertanggung jawab. Terserahlah. Namun daripada kalian menghujatku terus, aku bawa kalian ke sosok-sosok hebat yang sukses menjadi kormat. Kormat yang bisa aku katakan teladan karena kesabarannya, kepeduliannya pada nasib kami, kerajinannya, keuletannya, keramahnnya, dan terjaminnya nasib kami selama kuliah. Sosok pertama adalah TRINUG. Aku menyebutnya Master of Kormat. Bukan tanpa alasan aku menyebutnya seperti itu. Dia sosok paling bertanggung jawab dari semua kormat yang pernah aku lihat. Dia selalu datang lebih pagi dari yang lain. Dia selalu menyiapkan segala yang diperlukan sang dosen sebelum perkuliahan dimulai. Yang membuatku tambah kagum, meski saat tak menjabat sebagai kormat sekalipun, dia rela melakukan tugas kormat macam ambil LCD dan daftar absen saat kormat yang bersangkutan berhalangan bertugas tanpa alasan yang jelas. Dialah TRINUG, anak asli Semarang, cerdas, santun pula. Aku memandangnya sebagai muslim yang baik. Sosok yang kedua adalah ULIL. Dalam kamus kehidupan tekimku, aku menetapkannya sebagai orang kepercayaan Master of Kormat. Dia rajin datang pagi ke kampus (apalagi untuk download anime-anime kesukaannya). Kelakuannya mirip sang Master of Kormat. Hanya saja dia agak "grusa-grusu" alias agak mudah panik. Dia suka berlari-lari dari lantai dua gedung B menuju tempat perkuliahan. Dia juga ahli dalam memecahkan "masalah LCD". Ada kalanya LCD tidak mau connect dengan laptop, maka ULIL lah yang berhasil menjinakkan LCD tadi. Sebenarnya masih banyak lagi kormat-kormat yang di mataku baik, namun dari semuanya mereka berdua lah yang terbaik. Muncul pula nama kormat-kormat lain yang tak mungkin pula aku sebutkan satu per satu (karena sepertinya hampir semua anak sudah merasakan menjadi kormat..).

Keseluruhan, merekalah sebagian dari mahasiswa labil yang berani mengemban tanggung jawab berat. Mereka lah sosok yang menjadi panutan selama hidupku. Melalui mereka aku belajar agar aku jangan sampai hidup menderita seperti mereka. Ah, salah lagi. Maksudku melalui mereka aku belajar untuk menjadi pengayom bagi yang lain. Sulit memang sepertinya, namun aku tahu di balik kesengasaraan mereka muncul sebuah senyuman manis di akhir masa kerja mereka. Mereka patut berbangga karena melalui merekalah kuliah lancar, melalui merekalah tugas-tugas dapat dikumpulkan, melalui merekalah nilai-nilai  -baik indah maupun hancur-   milik kawan-kawannya akhirnya bisa terpampang di KHS. Sejuta hormatku untuk kalian, wahai para kormat...

Senin, 04 April 2011

Nge-Fans: Antara SUKA ato DEMEN??

Tulisan ini aku buat berdasarkan kisah pribadi, nyata, dan tanpa rekayasa. Apa yang ada di sini adalah bagain-bagian tak terpisahkan manusia ketika dia nge-fans dengan seseorang. Aku tertarik menulis hal "geje" ini karena sejujurnya inilah hal paling aneh yang sering aku lakukan. Mungkin hanya ingin sekadar share saja, kali aja ada yang kisahnya sama kayak aku.

Mengagumi seseorang bukanlah hal yang salah. Misal saja sekadar flash back, zaman SMA dulu aku kagum pada seorang pegawai TU di sekolahku. Beliau begitu santun, ramah, tidak neko-neko, dan tentu saja ganteng. Atau aku juga sempat kagum kepada guru SMP ku yang begitu galak namun sangat pintar dan membuat para siswanya pintar. Ada kalanya kagum itu dalam batasan "wajar", namun ada kalanya "kagum" itu dalam batasan yang "sangat tidak wajar". Untuk kategori "sangat tidak wajar" aku klasifikasikan untuk kisahku akhir-akhir ini selama duduk di bangku kuliah. Bentuk-bentuk tindakan "geje" plus aneh mulai muncul saat aku nge-fans dengan seseorang -sebut saja mas Oki- . Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari laki-laki itu. Dia begitu dingin dan teramat cuek plus sedikit jaim. Hal-hal itulah yang membuatku begitu penasaran dengannya. Sebenarnya sejak awal semester 1 aku sudah "tertarik" akan tingkah lakunya, namun mungkin baru semester ini lah aku menjadi terkena "penyakit gila" sebagai efek nge-fans kepadanya.

Aku membedakan antara nge-fans dan cinta. Perbedaan yang nyata terlihat tentu saja kalo nge-fans tuh ya cuma suka saja. Suka ama gerakannya, suka lihat wajah segernya, suka tingkah lakunya, pokoknya menjurus ke hal-hal yang berbau fisik. Tapi cinta itu lain. Cinta itu perasaan yang sulit didefinsikan, yang ada hanya perasaan gelisah, deg-deg an, berbunga-bunga, sampai patah hati. Kalau nge-fans biasanya aku tak sampai deg-deg an saat memandang wajahnya, namun jika cinta pasti ada deg-deg an di dalam dada. Nah, berdasarkan teori di atas (teori yang aku buat sendiri tentunya), maka bisa aku simpulkan apa-apa yang belakangan ini aku rasakan hanyalah sekadar perasaan sebagai fans mas Oki. Meski bukan cinta, namun tindakan yang akhir-akhir ini sering dilakukan sama "gila" nya dengan jatuh cinta. Inilah beberapa tindakan gila itu:
  • Mulai mencari wajahnya saat seharian tak melihat wajahnya. Ini tindakan gila pertama yang sering aku lakukan bersama partnerku (baca: Lia). Tempat-tempat yang sering menjadi sasaran utama kami biasanya gedung A bawah, gedung B bawah, dan parkiran (akhir-akhir ini perpustakaan juga menjadi target).
  • Mulai cengar-cengir kalau melihatnya berjalan atau lewat di hadapan kami. Ini juga tindakan gila karena kami dengan "geje" nya mengharapkan senyumnya untuk kami. Kadang yang muncul di bibirnya bukanlah sebuah senyuman untuk kami melainkan sebuah cengiran yang tak kalah geje bentuknya dengan tindakan kami
  • Mulai hapal jadwal mas Oki dari hari ke hari. Ini tindakan gila terparah yang kami alami. Entah karena sudah kebiasaan atau emang entah karena "sengaja" menghapal jadwal lewatnya jam berapa, jadwal hari apa biasanya dia di mana, jadwal jam berapa dia ada di parkiran, dan jadwal-jadwal lainnya. Ini makin menggila karena lama-kelamaan kami hapal di mana kami harus stand by buat menanti masnya lewat.
  • Mulai hapal baju yang dia pake. Ini tindakan gila yang jarang aku lakukan namun sering dilakuakan oleh partnerku (baca: Lia). Aku no comment untuk tindakan ini karena sudah termasuk level "parah".
Well, setidaknya itulah beberapa tindakan "gila" yang aku lakukan bersama partnerku.  Gila memang, namun kami seolah menikmatinya. Kadang kami menganggap sosok mas itu sebagai penyegar buat kami di tengah kejenuhan kuliah dan tugas plus kadang penyejuk hati kami yang kadang tersakiti oleh cinta. Namun makin ke sini jujur saja muncul pertanyaan di benakku, beda antara suka ama demen tipis sekali. Aku tidak demen ama mas itu, tapi suka aja lihat tingkah polahnya. Tapi lama-lama bisa saja suka itu jadi demen kalau aku sendiri tidak bisa mengendalikan "tindakan gila" di atas. Lucu memang kisah-kisah macam ini. Aku anggap ini sebagai kenangan, kenangan yang terlupakan saat aku berumur 20 tahun. Kenangan gila yang aku miliki di tengah frustasi hidup di teknik kimia. Nge-fans pada mas Oki menjadi sesuatu yang tidak akan aku sesali karena menurutku itu bukan hal salah.

Jumat, 25 Maret 2011

This is "The Bad" from Me: Aku dan Sejuta Keluhan

Sejenak aku daftar tugas-tugas yang ada: Teknologi Enzim, Perancangan Proses Kimia, SOM. Lalu aku melihat hal lain yang tak kalah urgent pula: Proposal Penelitian dan PKM. Awalnya aku sangat optimis bisa melalui semuanya dengan senyuman dan pada akhirnya hasilnya akan sangat memuaskan. Namun ternyata semua tak semudah yang aku bayangkan. Ketika setan-setan mulai masuk ke jiwaku maka yang muncul hanya satu: KELUHAN. Keluhan aku capek lah, keluhan tugasnya susah lah, keluhan mencari jurnalnya susah lah, dan ribuan keluhan lain. Bahkan kadang muncul rasa takut berlebihan seolah-olah aku tak mampu menjalani ini semua. Inilah serpihan kata-kata yang mendekam di otakku selama berhari-hari ini. Sesuatu yang hanya muncul ketika aku tengah sendirian di kamar kost, duduk di depan komputer yang lemotnya minta ampun dan kadang mati gara-gara listrik tidak kuat, serta mencari tugas dari internet namun tidak ketemu-ketemu. This is the bad from me....

Siapa sangka aku akan kesulitan mencari tugas Teknologi Enzim. Aku pikir tinggal search di Google lalu muncul lalu copy paste (dosa yang sering kali aku lakukan). Aku ketik nama enzim yang menjadi tugasku: 5'-Phosphodiesterase. Lalu kemudian yang muncul hanyalah jurnal-jurnal berbahasa Inggris yang amat sulit dimengerti karena kebanyakan mengenai farmasi. Aku mencoba mencari di laman berbahasa Indonesia, yang muncul jauh lebih mengejutkanku (maaf, yang muncul adalah hal-hal berbau disfungsi ereksi. Kontan kepalaku makin puyeng). Setelah dengan berbagai perjuangan, membaca jurnal-jurnal rumit, hingga bertanya pada kawan lamaku via Twitter, aku mulai sedikit memahami apa itu 5'-Phosphodiesterase. Puji Tuhan hingga detik ini satu halaman berhasil aku buat walaupun mungkin sangat 'geje' :(

Tugas yang tak kalah membingungkan tentu saja SOM. Awalnya aku santai-santai saja karena ternyata ada teman yang punya soft tugas yang dulu, jadi tidak perlu susah-susah membuat tugas SOM. Namun saat hari H presentasi ternyata tugas SOM kelompokku salah total. Maka mau tak mau harus dibenarkan. Berhubung aku ternyata mempunyai diktat SOM yang berisi materi untuk tugasku, aku menawarkan diri untuk membenarkan tugas tadi. Selesai masalah pembenaran tugas, tapi selanjutnya ada tugas SOM lagi yang menanti. Semoga tugas yang sekarang tidak salah lagi...

Tugas Perancangan Proses Kimia juga awalnya aku kira mudah karena kebetulan salah seorang rekan kelompokku sudah punya 'baceman' dari anak 2007. Namun setelah didalami arah tugas tadi, apa yang harus ada, analisisnya bagaimana, maka dapat kusimpulkan tugas ini juga tak semudah main ular tangga. Dan lagi-lagi dalam kesendirian di kamar kost, aku hanya bisa termenung di depan komputer lemot ini. Meski tugasnya masih lama, hati berasa tak tenang kalau belum menemukan referensi untuk tugas. Tidur tak enak, bernyanyi pun enggan, mau download lagu pun malas. Jika sudah seperti ini maka tujuan berikutnya adalah KASUR...

Hal yang masih sangat malas aku bicarakan adalah proposal penelitian dan PKM. Mengapa aku malas? Entahlah... Meski untuk proposal penelitian sudah diberi tema namun aku merasa minder melihat kawan-kawan yang lain: ada yang sudah sampai bab 2, ada yang sudah sering konsultasi, bahkan ada yang mulai nge-run. Bisa kuceritakan nasibku: dosen hanya bisa ditemui satu hari dalam seminggu, sekalinya mau datang konsultasi lebih sering ditolak karena beliau sibuk, sekalinya sudah bertemu maka tatap muka kami paling lama hanya 5 menit. Puji Tuhan sekarang sudah ada kepastian tema dan kesiapan jurnal sudah ada serta aku sudah lumayan mengerti tentang elektrokoagulasi. Bicara PKM maka itulah yang membuatku miris. Aku merasa lolos PKM bukanlah hal yang menggembirakan di saat-saat seperti ini. Kalau ingat PKM sungguh aku hanya ingin mengeluh: kenapa harus lolos??? PKM yang awalnya aku kira tidak rumit jika dilaksanakan ternyata rumit juga. Aku kadang tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi Erlinda, ibu ketuanya..

Setelah dirunut-runut berbagai masalahku, maka dari sekian banyak masalah yang muncul aku hanya bisa mengeluh. Bahkan saat berdoa sebelum tidur aku seperti men-judge Tuhan dengan kata: Why? Why? Why? Why? Why must to be me???? Keluhan sekarang menjadi sahabat karibku. Kadang aku bisa tertawa lepas kalau di kampus seolah santai dengan segalanya. Namun kalau sudah di kamar kost, maka aku menjadi melankolis akut. Lagi-lagi kadang aku meratapi nasib mengapa masuk teknik kimia, mengapa dapat dosen pembimbing sibuk, mengapa harus menjadi anak bungsu yang so complicated hidupnya...

Tapi kadang aku bisa STOP MENGELUH kalau melihat Spongebob. Lihatlah dia, tak pernah mengeluh sedikit pun meski selalu kerja di Krusty Krab (bahkan kadang tak dibayar). Lihatlah dia, selalu tersenyum pada siapa saja meski tanpa dia sadar banyak orang yang tak suka padanya. Lihatlah dia, selalu membawa keceriaan pada siapa saja. Aku rasa hanya satu hal yang bisa membuat aku berhenti mengeluh, yaitu dengan bersyukur. Gantilah ungkapan: 'Aku lelah' dengan 'Aku bersyukur aku masih bisa merasakan lelah'. Ubahlah keluhanku pada Tuhan tiap malam dengan: 'Terima kasih karena aku diberi kesempatan melewati cobaan ini'. Namun sekali lagi tak mudah menjalani ini, apalagi kalau iman tak kuat maka setan lebih mudah merasuki jiwa ini..

Aku sekarang sedang berusaha mengumpulkan sisa-sisa semangat yang ada. Biar tinggal sisa-sisa namun aku rasa jauh lebih baik daripada sudah tak ada semangat sama sekali. Biarlah sepotong lirik dari lagu Menanti Keajaiban nya Padi senantiasa aku dengarkan sekarang:
....seharusnya aku tak patut bersedih atas semua yang terjadi kepadaku, aku merasa bahwasanya hidup ini tak lebih dari sekadar perjalanan... hingga saatku tiba, semoga tak lelah aku terus berpeluh... hingga saatku tiba, kuharap temukan apa yang aku cari....

Jumat, 04 Maret 2011

How to be A Good Engineer????

Sabtu kemarin (2 minggu yang lalu) aku baru saja melihat wisuda kakak laki-lakiku. Aku kagum padanya. Anak laki-laki "rata-rata" di rumah kami sudah jadi sarjana. Siapa pun -termasuk aku- tak akan menyangka dia bisa menjadi insinyur seperti sekarang. Empat setengah tahun dia berjuang kuliah. Di antara ketiga anak di rumah kami, dia bisa dibilang -maaf- agak lemah otaknya. Dia belum pernah menyandang juara kelas semasa SD. Dia juga pernah tak mendapat ranking saat SD dan SMP. Jujur saja saat kecil aku merasa tak yakin dengan masa depannya. Jika dilihat dari nilai dan prestasi akademiknya, aku tak bisa katakan dia golongan orang pintar. Dia tak masuk SMP 1 seperti aku dan kakak perempuanku. Dia bahkan hanya sekolah "nomor 3" di kotaku saat SMA (Aku bisa cukup berbangga karena aku berhasil masuk ke sekolah "nomor 2"). Bahkan meski sudah sekolah di SMA yang biasa-biasa saja dia tak berhasil bersinar akademiknya di sana. Aku sempat berpikir jangan-jangan ini gara-gara dia pernah jatuh dari tempat tidur saat bayi dulu. Jadi mungkin setelah dewasa otaknya agak terganggu. Namun di balik segala "kebodohannya" yang selalu kupandang sebelah mata, aku bisa katakan hari Sabtu kemarin adalah pembuktian bahwa dia bukanlah laki-laki biasa.

Setelah lulus SMA kakakku diterima di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Jurusannya pun tak main-main: Teknik Arsitektur. Aku sempat kaget bahkan hampir pingsan saat ia diterima di Teknik Arsitektur. Bagaimana bisa seorang anak dengan background "jelas-jelas anak IPS saat SMA" bisa diterima di teknik? Lama-kelamaan aku baru sadar bahwa universitas swasta berbeda dengan universitas negeri. Meski sama-sama pakai test masuk, uang jelas lebih "bicara". Sekadar catatan, sebelum ikut tes di perguruan tinggi swasta tadi kakakku sudah kenyang ikut Ujian Masuk sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta plus UMPTN. Dua-duanya memberi hasil sama: DITOLAK. Maka seperti kebanyakan jalan manusia yang lain, perguruan tinggi swasta menjadi pilihan melanjutkan hidup. Saat itu aku heran berani-beraninya dia mendaftar di teknik arsitektur. Apa pikir dia bakal diterima? Namun toh kenyataannya dia diterima. Usut punya usut, seperti yang kukatakan tadi, semuanya karena uang. Bapakku mengisi uang sumbangan sebesar 5 juta rupiah. Asal kalian tahu, bapakku sendiri tak bermaksud berbuat "nepotisme" macam pemerintah zaman sekarang. Beliau sunggu-sungguh polos dan tak tahu kalau uang segitu cukup besar jumlahnya untuk ukuran "sumbangan". Beliau pikir orang lain pun akan mengisi dengan uang yang lebih besar (padahal juga tidak...). Maka begitulah, jalan laki-laki itu telah ditetapkan untuk menempuh kuliah di teknik arsitektur.

Semester pertama dia kuliah di sana semuanya berjalan baik-baik saja. IP nya di atas 3. Namun di semester kedua IP nya melorot jadi 2 koma. Saat itu aku berpikir: nah lo, kau pikir gampang kuliah di teknik? Anak IPS macam kau mana kuat lama-lama di teknik. Kesangsianku akan kekuatan kakakku untuk bertahan di teknik arsitektur mulai luntur sejak dia semester tiga. Dia tak pernah lagi mendapat IP 2 koma. IP nya selalu di atas 3 lagi. Tak usahlah cumlaude, melihat dia bisa ada di sana bertahun-tahun saja aku heran. Dia luamayan hidup susah di sana. Kostnya tak semewah kost anak laki-laki pada umumnya. Dia ke mana-mana naik angkot, kuliah jalan kaki. Dia bisa bertahan hidup 2 tahun tanpa komputer. Bisa kubayangkan betapa repotnya dia pinjem komputer sana-sini jika ada tugas. Kira-kira semester 5 dia membeli komputer dengan uangnya sendiri. Bukan komputer baru, hanya komputer rakitan. Dia bukan tipe laki-laki yang ingin menyusahkan orang tua. Orang tuaku pasti masih mampulah kalau membelikan dia komputer. Tapi sekali lagi, dia anak yang sangat baik. Aku ingat saat dia masih kecil, jika ingin dibelikan sesuatu ia selalu pakai embel-embel: "nek sampun gajian aku tumbaske iki nggih.."(translate: misalnya sudah gajian aku belikan ini ya..). Ya, dia tak pernah memaksa orang tuaku beli ini itu. Dia selalu meminta dengan sopan bahkan kalau menurutku amat sopan. Bagaimana mungkin anak kecil bisa memohon dengan begitu sopannya? Mungkin dialah laki-laki tersopan yang pernah aku lihat.

Aku tak pernah tahu kapan dia ujian karena dia tak pernah terlihat stress atau belajar saat di rumah. Kerjaannya paling hanya tidur seharian atau main game bola favoritnya. Belakangan kuketahui bahwa saban hari dia baru tidur pukul 2 pagi bahkan 4 pagi. Aku bisa maklum kalau di rumah kerjaannya hanya tidur dan makan. Hebatnya lagi dia jarang atau bahkan hampir tak pernah mengeluh tentang kuliahnya. Dia tak pernah kudengar menggerutu atau menampakkan betapa malangnya dia dengan tugas-tugasnya yang berat. Aku pikir dia pulang ke rumah untuk dua hal: kehabisan uang dan mencari tempat nyaman untuk tidur. Saat semester 6 dia mulai kelihatan sibuknya. Dia mulai ada kerja praktek. Tempat kerja praktek bukan tempat-tempat jauh yang memakan biaya hidup banyak. Dia hanya kerja praktek di kota kelahirannya, Magelang, di sebuah tempat yang sedang membangun ruko. Tiap hari dia ke sana, pinjem hape kakak perempuanku untuk dokumentasi (maklum hapenya saja jelek), dan membuat laporannya. Hingga saat ini tiap lewat bangunan ruko itu maka aku langsung ingat kakak laki-lakiku itu. Kemudian dia juga menjalani KKN di pulau nun jauh di sana. Dia KKN di Toraja. Gara-gara dia KKN di sanalah, kini di keluargaku hanya tinggal aku yang belum pernah naik pesawat (yang ini bukan hal penting sebenarnya). Setahuku dia lagi-lagi tak mau merepotkan orang tua. Sebagian besar dia memakai uangnya sendiri untuk hidup di sana. Pernah juga dia kehabisan uang, lalu ibuku mengiriminya uang. Terakhir, kesibukannya adalah membuat tugas akhir. Nah kalau yang ini aku cukup tahu jalan hidupnya. Dia memilih untuk redesain pasar di kotaku yang terbakar bertahun-tahun yang lalu namun sampai sekarang belum beres dibangun lantaran pemerintah kotaku yang tak becus. Aku ikut saat dia mengambil potret kondisi pasar yang terbakar itu. Aku selalu melihat dia bekerja sampai malam saat di rumah. Kalau malam hari sudah larut aku menguap geje di depan televisi sambil menonton sinetron ibuku yang tak kalah geje, kakakku masih stay cool di depan laptop. Kadang saat aku beranjak tidur, dia belum beranjak dari tempatnya. Saat aku bangun di pagi hari untuk menonton Spongebob, maka yang kulihat pertama adalah kakakku yang (lagi-lagi) masih stay cool di depan laptop. Muncul pikiran di otakku: nih anak bobok ga sih? Maka jangan heran kalau kakakku selalu molor di siang bolong dengan kondisi belum mandi dari pagi. Kadang dia hanya mandi sekali saat sore hari. Bisa kalian bayangkan betapa merananya menjadi adik dari laki-laki macam itu...

Hingga Sabtu kemarin, aku melihat seorang laki-laki hebat itu sedang berjalan dengan "tidak gagahnya" memakai toga. Mengapa aku bilang tak gagah? Wajahnya tetap kumal, rambutnya belum dicukur, dan jenggotnya masih merajalela di dagunya. Padahal sebelum wisuda ibuku sudah mewanti-wanti agar semua bulu di dagunya itu dibersihkan dan rambut keritingnya yang sudah agak gondrong itu dicukur. Dia sangat tak elegan hari itu. Bahkan saat sudah masuk ruangan dan duduk, hal pertama yang ia lakukan adalah melahap sncak yang ada. Kelaparan katanya. Aku jadi berpikir seberapa sengasara hidupnya hingga kelaparan seperti itu? Sewaktu namanya dipanggil untuk diwisuda, lagi-lagi dia berjalan dengan sangat "tidak gagah". Wajahnya tak sesumringah teman-temannya yang lain. Ekspresi datar dan biasa-biasa saja. Namun satu hal yang membuatku hormat kepadanya. Dia lulus dengan IPK 3,32. Tak cumlaude memang. Bagiku cumlaude itu tak penting. Lihatlah sejarahnya, anak IPS yang bisa bertahan hidup di tengah kerasnya dunia keteknikan. Bahkan saat keluarganya mengkhawatirkan akan nilai-nilainya nanti, dia berhasil menunjukkan kalau dia bisa. Dia mampu. Dia kuat. Dia bukan insinyur yang banyak omong. Dia memang bukan lulusan universitas mentereng, tapi dia insinyur yang aplikatif. Tengoklah bangunan bagian depan rumah bulikku, dialah yang merancang segalanya. Saat itu dia belum genap dua tahun kuliah di teknik arsitektur namun sudah bisa membuat desain bangunan. Dia insinyur yang peka pada lingkungan sekitar. Tengoklah ia membuat rencana redesain pasar di kotaku. Aku pernah melihat hasil kerjanya, lumayan keren juga kalau pasar di kotaku menjadi seperti itu. Namun sayangnya dia masih kurang tenar namanya di kalangan pemerintah kotaku. Hasil kerjanya mana mungkin dilirik pemerintah. Bahkan aku sebagai adiknya tak sudi hasil kerja kakakku jatuh di tangan pemerintah kotor itu (mudah sekali aku senewen jika bicara tentang pemerintah). Di mataku, dialah sosok panutan seorang engineer.

Aku, sebentar lagi akan mulai menjalani semester 6. Beberapa kawanku sudah merancang masa depan mereka. Setahuku kebanyakan dari mereka ingin lulus kurang dari 4 tahun. Jujur saja aku bahkan tak pernah berpikir sejauh mereka. Bagiku, seorang engineer haruslah melewati proses yang panjang seperti kakakku. Dia belajar, dia berkorban, dia berjuang, bahkan sampai jarang tidur demi gelar Sarjana Teknik yang layak. Ujian di kampus kakakku terbilang susah. Yang namanya open book ya open book. Tidak ada baceman di sana. Mahasiswa di sana hanya mengenal text book. Jangan harap kita bisa melihat mereka membuka-buka kertas buram-buram yang tebalnya hampir menyamai novel The Lost Symbol karya Dan Brown. Satu hal lagi, di kampus kakakku jarang terjadi "obral nilai" dan pengulangan soal dari tahun ke tahun. Bisa kutarik kesimpulan, meski itu hanya perguruan tinggi swasta dan tak secermerlang kampusku, namun di sana tercetak insinyur yang "benar-benar insinyur". Wajar saja kakakku sempat rada kaget saat tahu di tempatku banyak yang bisa lulus 3,5 tahun. Pikirnya: itu teknik apa manajemen? Aku tak mau menyalahkan mereka yang lulus 3,5 tahun. Aku percaya dengan sepenuh hati kalau mereka pintar. Tapi aku ragu kalau mereka se-aplikatif kakakku. Aku ragu ilmu mereka sudah benar-benar melekat dan menancap di otak mereka. Jujur, dua tahun aku kuliah, aku masih merasa bodoh. Ironi rasanya ketika aku bisa bangga IPK di atas 3 tapi ketika ditanya orang: "wah kuliah dua tahun sudah bisa bikin apa?", maka aku hanya tersenyum. Senyum pahit. Miris amat nasibku, mau jadi apa besok...

Well, setelah kejadian wisuda Sabtu kemarin, kucamkan dalam hati bahwa kelak aku mau jadi insinyur seperti kakakku. Aku mau seperti laki-laki hebat itu. Meski hidup dengan wajah kumalnya namun jalan hidupnya begitu meyakinkan. Laki-laki yang menjadi kawanku sejak kecil itu mengajariku bahwa jalan menjadi insinyur tak semudah membalikkan tangan. Laki-laki yang mengajariku bermain rubik 3x3 itu memberi pencerahan bagiku bahwa tiada guna banjir nilai A dan B dalam transkripku kalau aku sendiri tak bisa mengenal ilmu yang kupelajari. Laki-laki yang tengah berusaha menyelesaikan rubik 4x4 itu membuka pikiranku bahwa bukan nilai-nilai lah yang membawa kita ke kesuksesan atau kesempurnaan menjadi sarjana, melainkan jalan dan berbagai rintangan berliku yang berhasil kita lewati. Laki-laki penyuka AC Milan itulah yang membuatku sadar: How to be a good engineer?


Kamis, 17 Februari 2011

Monotheisme yang terkadang Atheisme

Akhir-akhir ini gue ngrasa labil, ngrasa sering ngelamun, ngrasa gampang gundah, ngrasa waktu mendatang gue begitu suram. Gue belum manjalani semester 6 ini, tapi gue udah ngrasa pengin mati rasanya. Sejuta masalah satu per satu muncul, mulai dari kape, penelitian, perbaikan kuliah, tugas ppk, ipk, ampe besok abis lulus gue mau jadi apa. Gue stress sendiri mikir itu semua. Gue stress liat temen-teman gue udah dapat tempat kape tapi gue belum. Gue udah usaha pake air mata segala. Gue tinggal nunggu jawaban tapi kok ya ga dijawab-jawab. Gue rencana pengin nyamperin langsung pabriknya, tapi ternyata pas gue telpon dari pihak sana juga ga njamin kalo berkas kita bakal langsung diurus. Kadang cuma ditinggal aja trus ntar kita suruh telpon lagi buat tau keputusannya (la kalo gitu ga salah dong kalo gue milih mending ngirim via pos aja, lebih murah). Tapi yang namanya ngirim via pos juga ada ga enaknya. Sekarang gue harus harap harap cemas geje. Tiap hari telpon pabriknya, tapi selalu dapat jawaban geje juga. Ada kakak angkatan yang mencoba menghibur gue katanya emang kalo di sana mbales surat kita agak lama, jadi sabar aja. Namun sayangnya otak gue udah serasa mau pecah mikirin ini. Gue stress, gue gila!!


Itu tadi cuma seklumit kisah gue. Masih banyak yang laen sebenarnya. Gue cuma mau share, kalo gue lagi banyak masalah gini jujur aja gue ngrasa jadi atheis. Gue kayak kagak punya Tuhan. Gue dilindas ama ketakutan gue sendiri. Iman gue udah kalah ama rasa takut gue. Gue ngeluh, gue takut, gue nangis, gue njerit seolah-seolah gue ga punya tempat yang tepat buat bersandar. Gue jarang berdoa sekarang. Sebelum tidur pun gue enggan bicara lama-lama ama Tuhan. Kalau udah capek mikir gue rasanya pengin merem aja. Gue bener-bener udah hopeless sekarang. Bayangan ke depan berasa buram banget. What the hell it is!


Tulung deh tenang in hati gue......... Tuhan..... I need Your answer............ Gue percaya kalo gue ga harus bunuh diri kan ni??? Semua bakal baik-baik saja kan, Tuhan??? I need Your hug..... Gue butuh waktu buat talking to You so much... Setan-setan di pikiran gue minggir dong......

Begitu Ironinya (Negeri Tercintaku Ini)

Ini tulisan gue buat berdasarkan pengamatan gue selama hampir lebih dari 20 tahun gue hidup di tanah air ini. Ini kisah nyata. Sebuah refleksi biar mata kita terbuka dan gue harap setelah pada baca ini kalian dapat melakukan sesuatu untuk bangsa ini...

  • Ironinya bangsa ini, di saat gue lihat para kondektur dan sopir bus harus berjuang penuh keringat buat dapat duit HALAL, mereka pejabat-pejabat jahanam itu justru dengan nikmatnya korupsi yang jelas-jelas menurut gue itu duit HARAM
  • Ironinya negeri ini, para "anggota dewan yang terhormat" yang katanya memperjuangkan nasib rakyat, justru malah tidur nyenyak saat sidang, malah pada facebook an, pada BBM an seolah mereka ga bikin dosa ama kita. Sebenarnya apa yang mereka perjuangkan? Sekolah aja masih mahal, desa tertinggal makin banyak, harga kebutuhan pokok tambah mahal. So what the damn things they do at there?
  • Ironinya bangsa ini, saat para pedangang asongan dan para pengamen mencari nafkah dengan cara HALAL mereka justru malah dikejar-kejar satpol PP. Sementara mereka yang sudah makan uang rakyat dengan cara sangat HARAM justru bisa hidup aman-aman saja. Malah ada yang bisa jalan-jalan berlibur segala.. Apa karena para padagang asongan dan pengamen ga punya duit buat nyogok?
  • Ironinya negeri ini, maling ayam ama koruptor perlakuannya beda di penjara. Yang maling ayam tidur di sel sempit bareng napi lain, dingin, tanpa ada fasilitas mewah. Tapi yang koruptor bisa-bisanya ada di penjara bintang lima dengan AC, televisi, DVD, plus bonus pembantu
  • Ironinya bangsa ini, saat semua berlomba-lomba membangun rumah mewah, berlomba-lomba tinggal di apartemen mewah, masih ada aja yang lebih milih tinggal di bantaran kali, di kolong jembatan, di pinggir rel kereta. Yang paling parah gue pernah lihat di berita ada yang rela tinggal di kuburan.
  • Ironinya negeri ini, lulusan sarjana yang begitu intelek plus IPK cumlaude banyak yang ga dapat kerjaan. Pengangguran ga pernah turun jumlahnya, malah naik terus. Sebenarnya apa yang salah? Mahasiswa? Atau sistem pendidikannya?
  • Ironinya bangsa ini, saat para buruh pabrik harus bangun pagi untuk kerja dan sebisa mungkin ga telat biar upah ga dipotong, para PNS justru asyik leyeh-leyeh dan jalan-jalan saat jam kerja dengan gaji mereka yang tak pernah dipotong
  • Ironinya negeri ini, gue pernah liat pegawai dekanat asyik YM an ama buka Youtube saat jam kerja. Enak amat kerja kayak gitu, gue mau kalau kerja cuma bengong doang
  • Ironinya bangsa ini, para petinggi negara ini udah mati rasa ama kriktikan. Udah banyak lagu atau film atau tayangan yang sengaja menyindir mereka, tapi kuping mereka seolah disumpel ama kapas.
  • Ironinya negeri ini, mental anak-anak muda aja udah bobrok. Lihat aja dari hal kecil: nyontek saat ujian. Nilai kejujuran kayaknya udah ga dibutuhin lagi di negeri ini.
  • Ironinya negeri ini, kita masih saja gampang terpicu emosi hanya gara-gara isu SARA. Mungkin Bhineka Tunggal Ika udah ga bisa nyentuh nurani kita lagi
  • Ironinya bangsa ini, di lingkungan yang dikelilingi mahasiswa Undip, ada aja anak-anak Tembalang yang gak sekolah gara-gara ga ada duit. Tetangga depan kost gue persis, dua anaknya ga sekolah sama sekali. Yang pertama karena dia kena polio, yang kedua karena ga ada duit. Miris kalau gue lihat ada lingkungan terbelakang yang mana sekelilingnya adalah kost-kost an yang berisi banyak mahasiswa. Ironinya GUE, karena ga tanggep dari dulu dan gak nglakuin apa-apa.


Ini sebagian dari sejuta ironi yang gue lihat. Ini baru awal yang bisa gue tulis karena kadang otak gue juga ga sanggup ngungkapin semuanya. Menulis ini saja udah bikin gue pengin nangis. Gue percaya kalian juga pasti bisa nemuin ironi-ironi yang laen. Overall, i still love Indonesia

Kamis, 10 Februari 2011

Damn Love, Damn Feel, and Damn Me :(

Bagian hidup gue yang ini, yang begitu meresahkan hati, yang begitu menusuk suatu ruang terdalam dalam hati gue, gue sebut: Broken Heart. Ga enak emang patah hati itu. Beberapa fase harus gue lewati. Pertama adalah fase kaget dan shock, kedua fase sendu mandayu, ketiga fase sok tegar, keempat fase sok sibuk untuk mengalihkan pkiran dari hal-hal yang membuat nambah sakit, kelima fase mulai terbiasa hidup normal lagi, dan fase keenam adalah fase sakit hati lagi. Fase keenam adalah fase yang menjadi akhir sekaligus menjadi awal lagi untuk memulai dari fase pertama lagi. Gue banci hal ini karena fase-fase tadi seperti siklus yang senantiasa berputar dan tiada berhenti dan selalu berulang. Menyakitkan! Bahkan kalau lihat wajah orang yang gue sayangi rasanya pengin mukul pacarnya aja (Lohhh??). Satu lagi fase yang paling menyakitkan adalah susah untuk melupakan orang yang gue sayangi tadi. Bagi gue, apa yang udah nancep itu sulit buat dicabut. Kebiasaan buruk gue adalah menyimpan cinta terlalu lama pada seseorang. Jadi ibarat lirik lagu Rossa ama Pasha, ....kerena sekali cinta aku tetap cinta.... Damn! Payah gue.. Melankolis abis. Ga tau deh ampe kapan bakal cinta ama laki-laki ini.

Sekarang gue butuh gawean, masalah, ato laki-laki lain yang sekiranya bisa dijadikan pengalih perhatian. Gue pengin menghabsikan sisa waktu kuliah yang tinggal 1,5 tahun ini untuk bahagia. Gue ga mau lagi peduli lagi ama kisah cinta sendiri ini, gue ga bakal peduli kalau bahkan laki-laki yang gue sayangi ini udah ga care lagi ama gue, gue ga peduli lagi ama apa yang mau dia lakuin, gue ga mau lagi lihat ke belakang, gue bahkan ga mau lagi ngalami fase-fase patah hati hati lagi. Gue bakal berhenti di fase kelima dan ga bakal menginjak fase keenam lagi. Gue bulatkan tekad kalau gue baik-baik saja sekarang dan selamanya. Tapi gue ga bakal naif juga bilang udah ga cinta lagi ama laki-laki itu. Dia, bagimanapun juga pernah menempati tempat yang amat paling sulit dijangkau oleh laki-laki mana pun. Dia, seberapa pun luka yang gue alami karena dia, tetaplah orang yang bakal terjaga tempatnya di hati gue. Gue ga mau bohong kalau di sini, di dalam ruang terasing dalam hati gue, ga bakal gampang diganti sembarang laki-laki. Jadi ya biarlah laki-laki itu tetep ada di hati gue, sampai nanti (entah kapan, tapi gue yakin pasti datang juga waktunya) ada orang lain yang berhasil mendepak laki-laki ini dari sini.






~tulisan geje di pagi hari... Karena gue sendiri ga tau gimana mengungkapkannya selain melalui blog ini. Gue lagi sendirian, ga ada yang bisa diajak ngobrol juga. Kalau yang ngrasa juga membaca ini, gue lega juga. Seenggaknya dia tahu tanpa gue harus ngomong. Tapi kalau ga kebaca ama dia, ya sudahlah... That was just a part of my life

~download soundtrack kisah gue:  Cerita Lalu-Kerispatih
ama What Good is Love Without You-Melee

Gue Aman-Aman Aja di Tengah Para Mayoritas!!!

Akhir-akhir ini kupingku rada panas jika mendengar berita tentang pembakaran Gereja yang terjadi di Temanggung. Kebenaran akan berita itu pun masih simpang siur. Bahkan aku sebenarnya tak peduli apa yang melatarbelakangi kejadian itu. Aku sempat marah, wajarlah.. Aku seorang nasrani yang juga tiap Minggu beribadah ke Gereja.  Kalau tempat buat ibadahku saja dirusak, wajar pula kalau aku kemudian pesimis terhadap kebebasan beragama di negara ini. Kadang rada kecewa juga kalau melihat Pak SBY hanya bilang: "Saya prihatin". Woi Pak... Sadar ga sih bangsa ini ga cuma butuh keprihatinan dari Bapak! Tiap kali pidato selalu bilang: "Saya prihatin". Aku juga bisa kalau cuma bilang begitu...


Back to topic, di mata aku yang awam dan memang kurang tahu kronologi kejadiannya, bisa aku katakan bahwa mereka yang berani merusak rumah ibadah itu bukanlah orang beragama. Mengapa? Karena mana ada orang beragama, orang yang meneriakkan nama Tuhan, justru membakar "rumah Tuhan" sendiri? Kalau pun memang mau merusak janganlah bawa-bawa nama Tuhan, bawa-bawa nama agama. Tuhan mana rela kalau tempat para umatNya beribadah dibakar seperti itu. Mungkin Tuhan mana rela juga namaNya sembarangan dipakai ama orang-orang macam itu. Mereka, yang membakar Gereja-gereja, hanya membuat sebuah jurang pemisah antarumat beragama. Aku yakin sebeluum kehadiran mereka yang membuat onar itu kehidupan umat beragama di sana damai-damai saja. Akibat ulah mereka, status kawan-kawan baik di Facebook maupun Twitter menjadi sangat alay. Ada yang marah, ada yang saling mencaci, bahkan sampai membawa-bawa SARA. Satu pertanyaanku: bahagiakah mereka yang telah membuat bangsa ini terpecah?

Mau tidak mau, kita harus menerima bahwa kita ini hidup dari berbagai keragaman. Ada minoritas, ada mayoritas. Sudah selayaknya yang minoritas menghargai mayoritas dan yang mayoritas melindungi yang minoritas. Dari TK sampai kuliah ini aku selalu hidup sebagai kalangan minoritas baik di sekolah maupun kampus. Sejak TK aku sudah mengenal alhamdulillah, bismillah, assalamualaikum, hingga yang namanya bulan Ramadhan. Aku sering ikut buka puasa bersama. Yang ingin aku tekankan adalah: aku baik-baik saja dan aku aman-aman saja di tengah kaum mayoritas (yang kebetulan Muslim). Aku dan kawan-kawan dapat hidup bahagia, aman, sentosa, ketawa-ketiwi, bergosip sana-sini... Kami memang berbeda, namun kami tak pernah mempermasalahkannya. Aku sering nongkrong di Masjid kampus, biasanya menunggu teman sholat. Aku baik-baik saja di sana, tak ada yang memarahiku  walau aku hanya sekadar duduk geje atau kadang untuk berteduh dari panas. O ya satu lagi, saat aku berulang tahun ke-20 kemarin, dua orang kawanku yang muslim justru memberiku hadiah yang membuatku kaget bahkan hampir aku menitikkan air mata: mereka memberiku kalung salib. Sebuah benda yang tak pernah aku punyai selama hidup. Hal yang biasa jika yang memberiku adalah ibuku, bapakku, atau kakakku. Tapi kala itu yang memberi justru kawan-kawanku yang muslim. Inilah satu hal lagi yang membuatku bangga dan merasa aman hidup di tengah banyak perbedaan.

Di sini aku ingin meneriakkan: Gue aman kok hidup di tengah mayoritas!! Aku tak peduli dengan para orang gila yang membakar Gereja, aku tak peduli dengan pertengkaran yang terjadi di luar sana, aku tak peduli banyak perang terjadi atas nama perbedaan agama, karena di sini aku selalu bisa membuktikan bahwa kami (yang jelas-jelas berbeda agama) dapat hidup aman dan damai. Jadi tolonglah untuk mereka yang mau merusak rumah ibadah (apapun itu, tidak hanya Gereja), jangan sekali-kali membawa nama Tuhan atau agama. Biarkanlah kami hidup nyaman dengan perbedaan kami, ijinkan kami untuk membuat perbedaan tadi menjadi sesuatu yang indah.

Sabtu, 29 Januari 2011

Hope Is A Dream That Doesn't Sleep

Lirik terjemahan ini adalah soundtrack dari drama korea Bread, Love, and Dreams. Selain lagunya yang memang enak didengar, liriknya pun ternyata sangat bagus.

It doesn’t matter if I’m lonely. Whenever I think of you
A smile spreads across my face.
It doesn’t matter if I’m tired. Whenever you are happy
My heart is filled with love.

Today I might live in a harsh world again.
Even if I’m tired, when I close my eyes, I only see your image.
The dreams that are still ringing in my ears
Are leaving my side towards you.

Everyday my life is like a dream.
If we can look at each other and love each
I’ll stand up again.

To me, the happiness of those precious memories
Will be warmer during hard times.
For me, hope is a dream that never sleeps.

Like a shadow by my side you always
Quietly come to me.
To see if I’m hurt, to see if I’m lonely everyday
With feelings of yearning, you come to me.

Even if the world makes me cry, I’m okay.
Because you are always by my side.
Like dust, will those memories change and leave?
I’ll keep smiling to ease my heart.

Everyday my life is like a dream.
If we can look at each other and love each
I’ll stand up again.

To me, the happiness of those precious memories
Will be warmer during hard times.
For me, hope is a dream that never sleeps.

No matter how many times I stumble and fall
I’m still standing like this.
I only have one heart.
When I’m tired you become my strength.
My heart is towards you forever.

So I swallowed the hurt and grief.
I’ll only show you my smiling form.
It doesn’t even hurt now.

I’ll always hold on to the dreams I want to fulfill with you
I’ll try to call for you at the place I cannot reach
I love you with all my heart.

PADI - Discography

Dari sekian banyak grup band yang makin menjamur belakangan ini, nampaknya hanya ada satu grup band yang mempu membuat saya tetap setia untuk jatuh cinta kepadanya. Lima album telah ditelurkan band beranggotakan Fadly (vokal), Piyu (gitar), Ari (gitar), Rindra (bass), dan Yoyok (drum) ini. Meski sekarang harus bersaing dengan puluhan band absurd yang muncul, saya rasa Padi masih mampu mempertahankan eksistensinya di industri musik Indonesia. Padi bukan band kacangan yang mengikuti selera pasar, melainkan band yang selalu menciptakan musik yang berkualitas. Seridaknya sudah lima album mereka keluarkan dan kebanyakan lagu-lagu mereka selalu menjadi hits.

LAIN DUNIA (1999)
Album pertama Padi ini cukup laris di pasaran dan langsung disambut baik oleh pencinta musik Indonesia. Single Sobat langsung digemari remaja kala itu. Selain itu ada pula lagu Mahadewi yang memiliki aransemen luar biasa indah yang juga menjadi hits. Lagu andalan lain antara lain Begitu Indah, dan Seperti Kekasihku.

  1. Bidadari
  2. Demi Cinta
  3. Sudahlah
  4. Beri Aku Arti
  5. Terlanjur
  6. Begitu Indah
  7. Mahadewi
  8. Di Sini Tanpamu
  9. Seperti Kekasihku
  10. Sobat
Download Full Album  Lain Dunia


SESUATU YANG TERTUNDA (2001)
Bisa dibilang ini album terlaris yang dimiliki Padi. Album ini kebanyakan berkisah tentang cinta. Hits andalannya antara lain Sesuatu yang Indah, Kasih Tak Sampai, dan Semua Tak Sama. Di album ini pula Padi cukup banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai ajang penghargaan musik. Lagu-lagu di album ini begitu easy listening sehingga begitu diminati remaja kala itu
  1. Bayangkanlah
  2. Sesuatu Yang Indah
  3. Semua Tak Sama
  4. Kemana Angin Berhembus
  5.  Lain Dunia
  6. Perjalanan Ini
  7. Seandainya Bisa Memilih
  8. Angkuh
  9. Lingkaran
  10. Kasih Tak Sampai
Download Full Album   Sesuatu yang Tertunda

SAVE MY SOUL (2003)
Di album ketiga mereka, Padi membuat sebuah gebrakan baru. Di album ini akan jarang sekali kita temukan musik mendayu menyentuh hati seperti di album sebelumnya. Musik di Save My Soul ini agak "keras" dan liriknya pun lebih banyak berbicara tentang kegelapan (bukan lagi cinta). Di sini Padi menunjukkan sisi lainnya melalui aransemen musik yang lebih mantap dan lebih "rock". Hits di album ini antara lain Hitam, Rapuh, dan Patah. Padi berhasil berkolaborasi dengan Iwan Fals dalam lagu Sesuatu yang Tertunda. Pada album ketiga ini pun Padi berhasil menyabet banyak nominasi di AMI Award. Padi berani tampil beda di album ini. Walau harus diakui beberapa penggemar butuh adaptasi lagi dengan jenis musik yang mereka bawakan.
  1. Ketakjuban
  2. Hitam
  3. Rapuh
  4. Di Atas Bumi Kita Berpijak
  5. Cahaya Mata
  6. Menanti Keajaiban
  7. Menjadi Bijak
  8. Sesuatu yang Tertunda
  9. Patah
  10. Rephan Hati
Download Full Album  Save My Soul


SELF TITLED-PADI (2005)
Padi kembali muncul dengan lagu yang easy listening. Salah satu single di album ini, Menanti Sebuah Jawaban, bahkan menjadi soundtrack film Ungu Violet. Padi juga berkolaborasi dengan Idris Sardi dalam lagu Masih Tetap Tersenyum. Lagu-lagu andalan di album ini antara lain Ternyata Cinta, Siapakah Gerangan Dirinya, dan Tak Hanya Diam. Di sini Padi kembali mengusung tema cinta pada lagu-lagunya.
  1. Prolog
  2. Tak Hanya Diam
  3. Menanti Sebuah Jawaban
  4. Elok
  5. Siapakah Gerangan Dirinya
  6. Menerobos Gelap
  7. Save My Soul
  8. Akhir Dunia
  9. Ternyata Cinta
  10. Masih Tetap Tersenyum
Download Full Album  Self Titled-Padi


TAK HANYA DIAM (2007)
Di tahun inilah Padi kembali merilis album di tengah ketatnya persaingan munculnya band-band baru macam Kerispatih dan Nidji. Single andalan di album kelima ini adalah Sang Penghibur. Selain itu ada pula Harmony, Belum Terlambat, dan Jangan Datang Malam Ini yang enak untuk didengarkan. Meski angka penjualan album ini tak sefenomenal album-album sebelumnya, setidaknya melalui album ini Padi berhasil menunjukkan bahwa mereka masih ada di industri musik Indonesia.
  1. Sang Penghibur
  2. Harmony
  3. Belum Terlambat
  4. Rencana Besar
  5. Terluka
  6. Jika Engkau Bersedih
  7. Teruslah Benyanyi
  8. Ode
  9. Jangan Datang Malam Ini
  10. Aku Bisa Menjadi Kekasih
Download Full Album  Tak Hanya Diam


Selain itu, Padi juga pernah mengeluarkan single Work of Heaven yang mengisi OST World Cup 2002. Saat itu Padi mewakili Indonesia untuk mengisi album tersebut. Di akhir tahun 2010 ini pun Padi kembali mengeluarkan single Sahabat Selamanya yang menjadi soundtrack Ipin dan Upin.