Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Juni 2011

F R I E N D

Friend....
Can you tell me why I feel like this?
Can you see me that I'm so bored with you?
or you will wanna know everything?
I'm doubt about it....

Well, thank you for supporting me, thank you for listening to all my sigh, thank you for giving a lot of advices for me, thank you for all you've done to me. I'm proud to have a friend like you. But just "sometimes"....

Where are you when I feel so sad? Yeah, you're right beside me. But just "right beside me"
Where are you when I get some troubles in my life? Yeah, you'll be with me. But just "be with me"
What do you do when I always angry? Yeah, you say 'keep calm, dear'. But just "say keep calm"

Now...
Can you "really" understand what happen to me?
Can you "really" wanna know what I'm worried about?
Can you tell me how to solve this damn-freak-thing?
(Again) I'm doubt about it..
You say: "Spirit, dear!" But it's not easy like you say
You say: "I'll be there for you..." But actually you'll never always be there for me
You say: "You're great, you're strong. I'm sure that you can pass it!" But you have to know that I'm not strong like you think

Friend...
Can you hide your happiness from me when I'm down? Don't you think that I'm so depressed to watch it? Can you give me a hope? I don't need your advice because it seems just "a bullshit" to me. Don't you know that:
You can't understand me because YOU ARE NOT ME
You can't understand me because YOU DON'T GET THIS PROBLEM
You always ask the same question for me: Why.... why.... and why.....
You just try to "care for me" but you don't "really" care for me

Anyway, I think YOU ARE NOT ME but YOU ARE LIKE ME. Maybe sometimes you feel like me, you get a big trouble, you're sad; but I can't be your best friend when you feel all of this. That's why now you can't understand me. Actually now I can see that everyone has their own problems. Just like this: I don't wanna know your problem, so do you. It's true that: HARD TO BE UNDERSTOOD IF YOU CAN"T UNDERSTAND ANOTHER PERSON



Tulisan ini dibuat berdasarkan sebuah realita dalam pertemanan. Mudah memang mencari teman, namun sulit mencari sahabat. Jangan pernah menyuruh orang lain mengerti anda jika anda pun tak mampu mengerti orang lain :)). Spesial untuk kawan-kawan saya: I LOVE YOU ALL... Maap saya sering marah-marah ga jelas :)) I'm happy to be your friend...

Kamis, 27 Januari 2011

Challenger

 sebuah tulisan yang saya ambil dari note facebook guru SMP saya


Semua dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan seorang pilot. Namun, sesuatu pun terjadilah.

Gedung Putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challenger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan. Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku.

Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center.

Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara. Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini ?

Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa. Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA memilih orang lain yaitu Christina McAufliffe. Aku kalah. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku?

Bagian diriku yang mana yang kurang?Mengapa aku diperlakukan kejam ?

Aku berpaling pada ayahku. Katanya: “Semua terjadi karena suatu alasan.”

Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang.

Aku teringat kata-kata ayahku: “Semua terjadi karena suatu alasan.” Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi lain dalam hidup. Aku tidak kalah; aku seorang pemenang….

Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan.

Tuhan mengabulkan doa kita dengan 3 cara:
  1. Apabila Tuhan mengatakan YA. Maka kita akan mendapatkan apa yang kita minta.
  2. Apabila Tuhan mengatakan TIDAK. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang lain yang lebih sesuai untuk kita.
  3. Apabila Tuhan mengatakan TUNGGU. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang terbaik sesuai dengan kehendakNYA.

Jumat, 21 Januari 2011

Bread, Love, and Dreams: I think it's all about Forgive and Forgotten

Saya bukanlah penggemar drama Korea yang mengharu biru atau pun penggemar boyband (sekumpulan mas-mas yang energik nari-nari sambil nyanyi) korea yang sedang digandrungi ABG zaman sekarang. Saya masih bertahan di jalur saya sebagai penikmat musik dan film barat serta beberapa karya anak bangsa yang masih "nggenah" dan tidak absurd (beberapa grup band baru yang muncul dan film-film geje yang rilis belakangan ini adalah karya anak bangsa yang amat sangat absurd). Kalau pun akhir-akhir ini saya mngikuti sebuah drama korea yang ditayangkan di televisi, bukan berarti saya sekarang maniak korea. Ini hanya bagian dari perjalanan hidup di mana manusia pun sering masuk ke lubang kesalahan. Meski telah jatuh ke sebuah kesalahan besar, ada hal yang bisa saya petik dari sana. Saya bisa mengambil kesimpulan bahwa memang mata orang-orang Korea memang sipit seperti saya. Saya juga bisa mengerti mengapa banyak ABG suka orang Korea. Usut punya usut memang mereka memiliki wajah yang cute. Imut. Menggemaskan. Sayangnya saya tidak suka tipe-tipe macam Korea begitu. Kurang "cowok" menurut saya. Ah, tapi bukan ini sebenarnya yang ingin saya bicarakan! Bisa-bisanya jadi ngalor ngidul gini. Baiklah.. Ini hal yang ingin saya share kan...


Bread, Love, and Dreams. Inilah judul drama korea yang sedang saya ikuti. Awalnya saya hanya mendengar desas-desus cerita ini dari 2 kawan saya yang begitu menggemari drama korea - Risa dan Noor. Desas-desus kisah ini berlanjut hingga di kost ketika kawan saya menunda membeli beras dan telur (sebagai solusi pengiritan dalam hal makan) di sore hari hanya gara-gara tak mau melewatkan episode drama korea ini. Awalnya saya agak sebal juga, bagaimana bisa drama korea mengalahkan kepentingan kami dalam hal memepertahankan hidup di kost (baca: beli beras dan telur). Karena saat itu semua anak kost berkerubung di depan televisi, mau tak mau saya juga ikutan nimbrung. Sebenarnya sehari sebelumnya saya telah melihat drama itu di kost temen saya, tapi cuma sekilas. Belum mengerti ceritanya juga. Hari itulah kemudian saya mulai bisa mengerti jalan ceritanya sedikit demi sedikit setalah tanya-tanya teman kost. Dan sejak hari itulah saya jadi mengikuti terus kelanjutan kisahnya tanpa pernah melewatkannya sekali pun....


Di sini saya tidak akan membahas tentang alur kisah atau konflik-konflik yang ada. Saya akan menjabarkan tentang satu makna penting dari drama ini yang saya dapatkan dari sifat sang tokoh utama: Kim Tak Goo. Secara fisik, saya akui Kim Tak Goo memang imut. Wajahnya selalu penuh semyuman dan kebahagiaan. Tapi di sisi lain saya melihat dia kadang sebagai laki-laki cengeng yang gampang menangis. Namun satu hal yang membuat saya begitu kagum padanya adalah sifatnya yang begitu baik: memaafkan dan tak menyimpan dendam. Ada satu tokoh lagi bernama Ma Jun yang teramat menyebalkan di mata saya. Segala tingkah lakunya membuat saya gemas dan ingin memukul wajahnya. Perbuatan jahatnya terkadang amat sangat licik dan amat sangat "ala sinetron Indonesia banget". Ma Jun sangat membenci Kim Tak Goo. Segala hal ia lakukan untuk mengalahkan Tak Goo. Namun Tak Goo -entah mengapa di  begitu memiliki hati yang baik- tak pernah sedikit pun ingin membalas kebencian Ma Jun pada dirinya. Ada sebuah scene yang membuat saya begitu terharu. Saat itu Ma Jun begitu jahatnya pada Tak Goo: dia mengambil perempuan yang paling dicintai Tak Goo (entah siapa namanya, saya lupa) dan dia  juga telah membuat Tak Goo kehilangan indra perasa dan penciumannya. Kalau saya jadi Tak Goo, mungkin saya akan membunuh Ma Jun atau kalau perlu meminta kembali walkman yang diberikan untuk Ma Jun (waktu itu Tak Goo pernah mengganti walkman Ma Jun yang rusak dengan walkman yang baru dengan uang gajinya). Namun sayangnya Tak Goo bukanlah saya. Pernah suatu saat dia dengan polos bilang pada Ma Jun: aku tak akan pernah membencimu! What? Sudah gila kah dia? Disakiti berulang-ulang namun tak pernah sedikit pun membenci Ma Jun? Masih normalkah Tak Goo sebagai manusia? Di sinilah pelajaran yang bisa saya ambil.


Pengampunan adalah hal yang mungkin paling sulit dilakukan manusia. Manusia hidup dengan ego masing-masing. Manusia kerap  akan mudah marah kala idealismenya, idenya, pemikirannya, kebebasannya, atau keinginannya dirusak oleh orang lain. Manusia mudah terluka hatinya dan luka tadi tak kunjung kering meski sudah bertahun-tahun. Manusia cenderung menyimpan luka hati selama hidupnya dan mengingat-ingat kesalahan-kesalahan orang lain padanya. Namun dari Tak Goo saya belajar tentang "Forgive and Forgotten": mengampuni dan melupakan. Dendam biasanya muncul karena kebencian yang sudah lama terpendam dan tak terungkapkan. Dendam yang telah tumbuh lama tak akan membuat kita tenang karena kita masih selalu mengingat perbuatan orang lain yang menyakiti kita. Mengampuni adalah solusi terbaik karena melalui pengampunan hati kita tenang, pikiran kita senantiasa positif, tak ada lagi hal-hal yang mengganjal di hati. Pengampunan adalah memberikan sedikit ruang bagi kebencian di dalam hati kita. Jadi penuhilah hati kita dengan cinta dan kasih, maka kebencian yang ada hanya akan mendapat ruangan yang sangat sempit. Sulit memang menghapus ruangan bagi kebencian karena itu sifat manusiawi kita. Oleh sebab itu berikanlah sedikit.. sedikit saja ruangan dalam hatimu bagi  kebencianmu. Ketika kebencian itu sudah tak betah lantaran ruangan yang kamu berikan terlampau sempit, maka dia akan pergi dengan sendirinya. Selain memberi pengampunan, hal lain yang harus kita lakukan adalah melupakan. Lupakanlah segala tindakan kawan atau musuh kita, lupakanlah sakit yang kita rasa, biarkanlah luka di hati kering dengan sendirinya seiring dengan senyuman di tiap langkah kita. So, do you wanna follow Kim Tak Goo? Cause I want to follow him.. Hahahahaha

Minggu, 02 Januari 2011

The Power of Dreams

Sejak kecil saya adalah orang yang percaya akan mimpi. Sebagaimana dengan manusia normal kebanyakan, saya punya segudang mimpi di hidup saya. Bagi saya, mimpi merupakan fungsi waktu. Mimpi-mimpi akan semakin berubah atau bertambah seiring berjalannya waktu. Tidak percaya? Inilah perjalanan mimpi saya:
  • Saat masih TK, saya punya mimpi ingin menjadi artis cilik gara-gara kebanyakan lihat artis cilik zaman itu macam Trio Kwek-Kwek. Kayaknya seru aja jadi kayak mereka. Masih kecil, banyak yang suka, dapet duit lagi
  • Beranjak SD (masih awal SD, cupu..), mimpi saya mulai rada realistis: pengin jadi astronot. Waktu itu saya ingat ada iklan Pepsodent yang bercerita tentang cita-cita seorang anak. Sang anak berkata pengin jadi astronot. Lalu orang tua berkata: astronot giginya ga boleh bolong. Dari situlah saya terhipnotis. Saya jadi tertarik jadi astronot kemudian dengan hebohnya minta dibeliin Pepsodent biar giginya ga bolong (Well, sebegitu besar dampak iklan terhadap anak kecil macam saya...)
  • SD pertengahan (kelas 4 an ke atas lah), mulai muncul mimpi geje lagi. Zaman itu pas lagi booming nya boyband macam BSB, Westlife, N sync. Saya pun mulai doyan nari-nari kalo liat mereka di MTV. Pernah kepikiran pengin jadi penari latar mereka... *kalo inget bagian ini pengin muntah rasanya
  • Zaman SMP, mimpi ini sudah berada di jalur yang "benar". Saya pengin jadi dokter. Mimpi yang sangat mulia kan? Realistis juga karena saat itu otak saya masih berfungsi sebagaimana mestinya (baca: saya pintar). Mimpi itu dilatarbelakangi oleh seseorang. Saat itu saya naksir mas-mas dokter. Jadi entah kenapa mimpi menjadi dokter tiba-tiba muncul. Lagipula jaminan masa depan dokter lumayan cerah ~ kaya maksud e.. hahaha
  • Beranjak SMA, pemikiran saya semakin lebih dewasa. Menimbang kecerdasan saya yang semakin menurun (sebenernya tetep pinter kok, cuma MALAS nya itu gak ketulungan..), kelemotan otak saya yang tiba-tiba muncul, nilai-nilai yang semakin amburadul (pernah saya dapat 35 untuk fisika di rapor bayangan ~ rapor tengah semester, berfungsi untuk menakut-nakuti siswa), dan kehidupan yang semakin nakal juga ~ mulai kenal CINTA.. hahahaha; maka saya putuskan berubah haluan: pengin jadi apoteker aja! Ini jelas lebih realistis karena cewek IPA biasane minim kesempatan. Mau di teknik kayake berat, kalo pinter banget plus punya duit bisa lah nyoba kedokteran. La kalo saya? Dengan modal kemampuan IPA yang minim, saya hanya berani mencoba Farmasi (matematika plus fisika nya dikit, banyak biologinya..)
But dreams are just dreams. Semuanya kembali ama decision maker nya, yaitu Tuhan. Ternayata Tuhan ga mengizinkan saya menjadi artis cilik, astronot, menjadi penari latar, dokter, atau bahkan apoteker. Saat ini saya "diletakkan" di Teknik Kimia. Kalau saya berjalan menurut jalur yang benar, harusnya saya jadi insinyur. Namun kadang mimpi saya emang ekstrim. Apa yang saya lihat, saya suka, dan saya demen; langsung terpatok di otak saya. Dulu sempat suka liat Captain Tsubasa, lalu sempet pengin jadi manajer klub bola kayak di kartun itu (terkadang ampe mikir kalo-kalo saya kemudian cinlok ama kaptennya, persis kayak cerita kartun geje itu..).  Untung sekarang saya sudah ga gitu lagi (bayangin aja kalo saat ini lagi demen ama Spongebob, ga mungkin kan punya mimpi jadi kayak spongebob gitu.. Bisa-bisa saya pake baju ala spongebob buat ke kampus.. hadoohhh).

Meski sudah disuratkan untuk menimba ilmu di teknik kimia, saya masih saja punya mimpi yang "menyimpang". Saya punya mimpi menjadi JURNALIS sekaligus PENULIS. Sangat menyimpang bukan? Mana ada hubungan jurnalis ama reaktor, mana ada hubungan antara neraca massa dengan penulis. Dreams are like love, sulit dimengerti dan dipahami. Kenapa ga dari dulu masuk kuliah penyiaran aja? Kenapa ga dari  dulu masuk sastra aja? Hidup saya memang rumit, penuh pemikiran, dan kehati-hatian sekaligus penuh coba-coba. Siapa sangka tiba-tiba minat menulis saya menjadi bangkit kembali saat saya kuliah di teknik kimia? Siapa sangka imajinasi saya dalam menulis kembali muncul saat saya masuk Kinetika? Jujur saya ga punya harapan berlebih akan mimpi saya saat ini. Harus saya akui juga minat serta bakat menulis saya bisa tiba-tiba luntur oleh jutaan tugas kuliah, ribuan mata kuliah yang tak pernah saya mengerti, dan ratusan masalah selama kuliah. Namun ada satu hal yang ingin saya pahami dari mimpi itu...

Mimpi itu hal murah. Gratis. Maka saya suka bermimpi. Mimpi itu bukan khayalan. Kalau khayalan adalah hal-hal yang sangat tidak realistis yang mucul di otak (ex: manusia bertelur, pergi kuliah naek pesawat, pengin jadi orang kaya tapi ga kerja, dll). Tapi mimpi jelas berbeda dengan khayalan. Definisi mimpi menurut saya: sesuatu yang mendorong manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bersifat realistis. Mimpi mampu menjadi motivator terbaik buat saya. Mimpi adalah kunci untuk menaklukkan dunia (pinjem liriknya Nidji deh). Kalau kita punya mimpi berarti kita berpikir selangkah lebih maju. Mimpi itu tak akan lekang oleh waktu (jika dipupuk dan dijaga). Meski suatu saat nanti mungkin saya akan menjadi PNS (kebetulan ini lagi jadi trending topic di rumah saya) ato ibu rumah tangga, saya rasa mimpi menjadi seorang penulis dan jurnalis akan tetap ada. Saya pasti akan tetap menulis meski menjadi PNS. Saya akan tetep menulis walau harus tetep ngemong anak. Itulah yang saya namakan dengan The Power of Dreams. Kekuatan yang mampu mengalahkan kepesimisan kita akan dunia ini. Bermimpilah, karena bermimpi itu GRATIS dan HALAL. Bagi saya, orang yang punya mimpi adalah orang yang punya tujuan di masa depan..

Jumat, 10 Desember 2010

PAK DJOKO, SOSOK PENGAJAR, PENDIDIK, DAN ORANG TUA DI TEKNIK KIMIA UNDIP

Apabila berbicara tentang dosen, maka di benak kita akan muncul pertanyaan apa perbedaan antara guru dan dosen. Guru dapat didefinisikan sebagai pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sebutan “guru” biasa kita temui pada pendidikan setara TK, SD, SMP, dan SMA. Dalam Undang-Udang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal 1 ayat 6, dosen disebutkan sebagai pendidik termasuk pula di dalamnya guru, kanselor, pamong belajar, dan sebagainya. Selanjutnya dalam Bab XI Pasal 39 ayat 2 disebutkan “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Dari definisi pendidik tersebut dapat saya tarik kesimpulan bahwa perbedaan mendasar antara guru dan dosen terletak pada aktivitas penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Dosen tidak hanya sekadar melaksanakan tugas mengajar dan mendidik  seperti guru. Menurut saya, tidak lengkap rasanya seorang dosen menjadi dosen jika hanya mengajar saja tanpa pernah melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Begitu pula tidak layak seseorang disebut dosen  jika dosen tersebut hanya melakukan penelitian dan mengabaikan tugas utamanya untuk mengajar.

Di mata orang awam seperti saya, ada sebuah perbedaan yang begitu nampak antara dosen dan guru. Gambaran kasarnya seperti ini: tingkat kepedulian dosen akan mahasiswanya jauh lebih rendah dibandingkan tingkat kepedulian guru pada muridnya. Guru akan berusaha menerangkan pelajaran sejelas-jelasnya pada  murid sampai semua murid mampu mengerti dan memahami pelajaran tadi. Lain halnya dengan dosen yang kadang mengajar pun tak pernah penuh bahkan hanya beberapa menit saja di dalam kelas. Saya bisa maklumi hal ini mengingat peserta didik antara dosen dan guru berbeda. Guru biasa mengajar murid usia 6 sampai 17 tahun (usia yang dirasa masih sangat membutuhkan bimbingan intensif) , sedangkan dosen mengajar mahasiswa yang berusia di atas 17 tahun (usia yang dianggap sudah cukup dewasa dan sudah mampu belajar mandiri).

Terlepas dari semua perbedaan yang ada, tentu ada persamaan antara dosen dan guru. Mereka sama-sama memiliki tugas tidak hanya mengajar melainkan juga mendidik. Sekilas tak ada perbedaan antara mengajar dan mendidik. Namun jika kita melihat lebih dalam ke definisi pengajaran dan pendidikan, kita akan memahami bahwa ada perbedaan pada keduanya. Pengajaran merupakan aktivitas atau proses yang berkaitan dengan penyebaran ilmu pengetahuan atau kemahiran yang tertentu. Pengajaran merupakan pembinaan terhadap anak didik yang hanya menyangkut segi kognitif dan psikomotor saja yaitu agar anak lebih banyak pengetahuannya, lebih cakap berfikir kritis, sistematis, objektif ,dan terampil dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Jadi antara mengajar dan mendidik ada perbedaan pada tujuan yang akan dicapai. Dalam mengajar tujuan akhirnya adalah ilmu yang disampaikan mampu diserap dengan baik oleh peserta didik dan hasilnya dapat bersifat kognitif serta psikomotor. Sedangkan mendidik tidak hanya dititikberatkan pada hasil kognitif saja, melainkan juga kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosi. Jadi “mendidik” merupakan bagian terpenting dalam “mengajar” agar peserta didik tidak hanya menerima ilmu baru atau sekadar mencari nilai melainkan juga mampu mengaplikasikannya agar bermanfaat bagi masyarakat.

Selama dua tahun kuliah di teknik kimia Undip ini, saya tak melihat banyak dosen yang mampu melakukan tugas sebagai pengajar sekaligus pendidik. Kebanyakan dosen di teknik kimia ini mampu melaksanakan tugas sebagai pengajar dengan baik, namun sangat jarang yang mampu berperan sebagai pendidik juga. Saya sendiri merasa sering bahkan selalu tidak mengerti apa-apa ketika diajar oleh dosen-dosen di sini. Saya terkadang memiliki perasaan “hampa” atau “tidak menemukan sesuatu yang baru” setelah dosen masuk kelas. Sudah tak ada ilmu yang masuk ke kepala, didikan dari dosen pun jarang saya dapat. Memang saya akui otak saya tak seencer beberapa mahasiswa lain yang bisa menyerap penjelasan dosen dalam waktu singkat. Tak heran kalau kadang saya baru bisa memahami semua yang diajarkan dosen sesaat menjelang ujian saja.

Namun di mata saya ada satu dosen yang begitu unik dan berbeda dari dosen-dosen yang lain. Perbedaan yang paling nampak adalah cara beliau dalam menyampaikan ilmu pada mahasiswa. Mungkin untuk pertama kalinya dalam sepanjang hidup saya di teknik kimia ini saya benar-benar merasa “bodoh” sebagai mahasiswa. Saya rasa beliau lah yang layak disebut sebagai pengajar dan pendidik. Cara beliau yang unik dalam mengajar mampu membius banyak mahasiswa untuk menjadikan beliau sebagai tokoh panutan. Bahkan jika kita search di facebook pun akan muncul grup pecinta dosen yang satu ini. Beliau adalah Ir. R. P. Djoko Murwono, SU atau yang biasa kita sapa dengan pak Djoko.
 
Pak Djoko mengampu mata kuliah Matematika Teknik Kimia 2 dan Fenomena Perpindahan di semester 4. Sejujurnya sebelum bertemu beliau di kelas, saya tidak pernah sekali pun melihat wajah beliau di kampus teknik kimia ini. Saya hanya mendengar desas-desus tentang beliau yang suka mempermalukan mahasiswa di depan kelas dan mem”bodoh-bodoh”i mahasiswa sampai mahasiswa tadi benar-benar merasa “bodoh sekali”. Jika dilihat dari fisik beliau, saya tak menyangka usia beliau sudah mencapai kepala enam. Badan beliau masih tegap serta selalu terlihat sehat dan bugar. Semangat beliau tidak kalah dengan dosen yang jauh lebih muda dari beliau. Pak Djoko merupakan sosok dosen yang sederhana di mata saya. Dari tutur kata dan bahasa “kasar” yang sering beliau ucapakan, mungkin tak akan ada yang percaya beliau adalah dosen. Meski terlihat agak “nyleneh” dan “seenaknya”, saya rasa hampir semua warga teknik kimia Undip ini begitu respect pada beliau.

Pak Djoko bukanlah dosen yang “banyak maunya”. Kuliah hanya perlu OHP dan transparansi dan kadang-kadang beliau meminta persediaan kapur tulis yang cukup banyak. Beliau sering memberi tugas pada mahasiswa namun tak pernah minta untuk dikumpulkan. Hal inilah yang tak jarang membuat hampir sebagian besar mahasiswa enggan untuk mengerjakan tugas. Boro-boro mengerjakan tugas, mengingat tugas mana yang diberikan saja jarang sekali dilakukan mahasiswa. Selama hampir 14 tahun menempuh pendidikan formal, hanya ada dua nama yang saya sebut sebagai orang cerdas. Yang pertama adalah almarhum guru matematika SMP saya dan yang kedua adalah Pak Djoko. Sosok Pak Djoko sangat mirip dengan guru matematika SMP saya. Dari luar terlihat galak dan begitu killer, namun di balik semua itu beliau  adalah dosen yang “lebih dari sekadar dosen”.
 
Saya sebenarnya heran bagaimana mungkin Tuhan menciptakan manusia secerdas pak Djoko. Saat mengajar beliau hanya membawa satu buku pegangan yang nampak sudah sangat tua. Buku yang dibawa pak Djoko biasanya berwarna kecoklatan dan terlihat sangat lusuh. Hal ini menunjukkan terlalu seringnya buku itu dibuka oleh sang pemilik (lain dengan buku milik saya yang masih sangat mulus dan tak kadang masih ada bau-bau fotocopy-an). Kecepatan berpikir pak Djoko dalam mengajar sangat jarang bisa dilampaui oleh mahasiswa. Semakin cepat otak pak Djoko berpikir semakin jelek tulisan beliau (yang langsung ditulis di atas OHP) pada tranparansi sehingga tak bisa dipungkiri semakin bingung pula mahasiswa yang melihatnya. Saat beliau mengajar kebanyakan mahasiswa hanya bisa mengangguk-angguk, menjawab pertanyaan pak Joko dengan “iya...iya..iya..”, ternganga karena kebingungan, menguap, dan mungkin sedikit yang berusaha memahami dengan konsentrasi penuh. Atau mungkin ada yang seperti saya: bergumam dalam hati, “Ya ampun masih ada saja manusia sedahsyat ini. Betapa luar biasanya Tuhan menciptakan makhluk ini”.

Hal yang paling dinanti-nanti adalah saat beberapa mahasiswa disuruh maju mengerjakan soal. Saya sebut “hal yang paling dinanti-nanti” karena saat itulah berbagai kejadian akan muncul. Detik pertama semua mahasiswa mungkin akan menahan nafas berharap tidak mendapat giliran maju. Detik berikutnya ada dua fenomena: mahasiswa yang dapat giliran maju akan memiliki ekspresi campur aduk antara takut dan pasrah, sedang mahasiswa yang selamat akan menghela nafas sebebas-bebasnya dengan tak henti mengucap syukur pada Yang Kuasa. Menit-menit selanjutnya pasti akan muuncul tawa riuh dari seisi kelas ketika mahasiswa yang maju tidak bisa mengerjakan kemudian dicaci maki pak Djoko dengan “guyonan” khas beliau. Begitu seterusnya terjadi sampai benar-benar ada mahasiswa yang bisa mengerjakan soal (dengan bantuan pak Djoko sepenuhnya tentunya). Di balik semua tawa dan malu yang ada, sebenarnya cara pak Djoko mengajar sangat mendidik kami. Mungkin hanya dengan cara dibentak-bentak dan dipermalukan di depan kelas lah kami menjadi bisa mengerti apa yang beliau ajarkan.
 
Sebenarnya apa yang diajarkan pak Djoko saat kuliah sangat jarang mampu diserap oleh otak saya ini dengan baik. Kalau dipresentase mungkin hanya 2-3 % yang ada di otak saya, sisanya tentu saja melayang entah ke mana. Namun di sela-sela mengajar beliau selalu memberi didikan yang sangat jarang saya dapatkan selama kuliah. Beliau selalu memberi pendidikan moral dan tanpa saya sadari beberapa yang beliau ucapkan mampu memotivasi saya menjalani beratnya kuliah di teknik kimia ini. Bahkan boleh dibilang beliau adalah best motivator yang ada (jauh lebih baik daripada trainer-trainer kebanyakan yang biasanya jago omong saja). Beliau mendidik mahasiswa agar tak hanya mengejar IP selama kuliah. Justru memperoleh dan memahami ilmu yang didapat jauh lebih berharga daripada IP cumlaude tiap semester. Pendidikan di Indonesia sekarang lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh", bukan pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa segala kondisi. Pak Djoko bukanlah dosen yang mendidik mahasiswa dengan “cetakan buruh”. Beliau selalu berbagi pengalaman beliau dan tak lupa selalu memberi contoh mengaplikasikan ilmu teknik kimia yang kami peroleh ke masyarakat. Beliau tak jarang selalu menyelipkan filosofi kehidupan dan moral di sela-sela mengajar. Hal itu lah yang membedakan pak Djoko dengan dosen-dosen yang lain. Satu hal yang paling saya kagumi dari beliau adalah sifat beliau yang sangat “merakyat” (saya menyebut beliau sebagai sahabat para petani) dan tak pernah silau akan sebuah jabatan. Beliau berani memilih jalan kehidupannya sendiri yang mungkin sangat dianggap tak lazim bagi orang lain

Pak Djoko merupakan sosok dosen yang begitu komplit. Beliau tak hanya mengajar namun juga mendidik. Beliau juga melakukan aktivitas pengabdian masyarakat. Selain itu, menurut saya pak Djoko bisa juga disebut sebagai sosok “ayah” di kampus. Beliau mendidik “anak-anaknya” dengan cara unik. Ejekan dan segala cemoohan bagi mahasiswa merupakan bukti sayang beliau kepada mahasiswa teknik kimia Undip agar mahasiswa di sini mampu tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Beliau selalu mampu memberikan harapan bagi sebagian mahasiswa yang mungkin merasa kehidupannya sudah “tamat” di teknik kimia seperti saya. Saya menyebut beliau: Great Teacher Mr. Djoko!


Sabtu, 30 Oktober 2010

Saling Menghargai dan Toleransi, Kunci Keberhasilan Membangun Keberagaman


...sebuah esai yang tak menang dalam perlombaan... namun sengaja saya publikasikan untuk menyampaikan segala uneg-uneg saya tentang Bhineka Tunggal Ika... semoga bermanfaat


 
Tuhan menciptakan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Besar kepulauannya, besar kekayaan alamnya, hingga besar jumlah penduduknya. Dari sekitar 200 juta penduduk di Indonesia, terdapat ragam budaya serta adat istiadat yang kompleks. Indonesia memiliki sekitar 1.128 suku bangsa (data dari BPS hingga akhir Februari 2010) yang tersebar hampir di seluruh kepulauan. Sudah selayaknya sebagai generasi muda, kita bangga akan keberagaman yang ada di Indonesia. Mungkin hanya di Indonesia lah kita bisa melihat ragam warna kulit, ragam bentuk mata, ragam bentuk rambut, hingga ragam dialek. Indonesia kaya akan budaya yang bukan hanya berbeda tiap propinsi, kadang meski masih satu propinsi budaya yang dimiliki masing-masing daerah pun beragam. Contohnya, bahasa Jawa yang dipakai di daerah Yogyakarta akan berbeda jika dibandingkan dengan dialek bahasa Jawa orang-orang Semarang. Ada juga daerah seperti Kebumen, Brebes, Tegal, atau Probolinggo yang dialek Jawanya sangat khas “ngapak”. Itu baru contoh yang berasal dari satu suku (suku Jawa) dan satu propinsi (Jawa Tengah), tentu masih banyak lagi ragam budaya yang dimiliki daerah-daerah di Indonesia. Bukan hanya suku bangsa atau pun adat istiadat saja yang beragam, setidaknya ada enam kepercayaan (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, serta Konghuchu)  yang diakui di Indonesia. Berangkat dari segala keberagaman itulah bangsa Indonesia masih bisa bertahan sampai sekarang.
Salah satu semboyan bangsa Indonesia yang begitu fasih kita kenal adalah Bhineka Tunggal Ika yang berarti “walaupun berbeda-beda namun tetap satu juga”. Ciri khas Indonesia sangat nampak dari semboyan tadi. Bangsa Indonesia dipersatukan melalui ribuan suku bangsa yang ada, ribuan budaya yang berbeda, serta ragam kepercayaan yang dianut. Bahkan sebaris lirik lagu Kahitna dengan judul Bumi Indonesia pun seolah menceritakan kebanggaan akan bangsa ini: “..seribu perbedaan tak mengubah bangsaku, kejayaan hanya untuk bumi Indonesia...”. Saya sendiri merasa sangat bersyukur saat Tuhan menetapkan saya untuk lahir dan hidup di Indonesia. Saya belajar banyak hal dari kebragaman di sini, terutama dalam hal saling menghormati. Indonesia memiliki masyarakat yang begitu ramah dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Meski hidup dengan segala perbedaan (baik budaya maupun agama), masyarakat Indonesia tak pernah menganggap perbedaan itu sebagai masalah melainkan sebagai bagian dari kekayaan dan keunikan Indonesia.
Namun belakangan ini ada beberapa kelompok yang nampaknya mulai mencederai makna Bhineka Tunggal Ika. Salah satu contoh yang baru saja terjadi adalah kejadian yang menimpa jemaat Gereja HKBP Bekasi pada bulan Agustus 2010 silam. Sekelompok orang melarang para jemaat Gereja HKBP untuk melakukan ibadah di hari Minggu. Tak jelas apa motif dari tindakan itu. Selain itu penyebab adanya pelarangan ibadah pun masih simpang siur. Buntut dari masalah ini nampaknya melebar bahkan mulai menjalar ke masyarakat pada umumnya. Beberapa komentar yang muncul pada situs-situs internet yang memberitakan kasus ini sungguh memprihatinkan. Perang argumen dan lontaran kata-kata kotor menjadi penyedap berita ini. Sungguh sangat disayangkan mengapa masyarakat ini masih sangat mudah tersulut emosi dan mulai melupakan nilai-nilai toleransi yang ada. Bukan hanya soal agama saja yang menjadi hits akhir-akhir ini, kerusuhan yang masih sering terjadi di Ambon, Maluku, maupun Papua juga menjadi bukti mulai terkikisnya rasa kebanggaan akan keberagaman di Indonesia.
Saya rasa akar dari segala masalah yang berhubungan dengan keberagaman tadi adalah kurangnya rasa saling menghormati di antara sesama. Selama 20 tahun hidup di Indonesia saya tak mengalami banyak masalah tentang keberagaman. Saya seorang Nasrani dan saya sudah terbiasa hidup  sebagai kaum minoritas. Mayoritas penduduk di Indonesia merupakan Muslim dan sudah hal yang wajar jika orang-orang terdekat saya pun kebanyakan juga Muslim. Sejak TK sampai sekarang saya sudah terbiasa dengan kata-kata seperti Assalamualikum, Astagfiruglah, Alhamdulilah, dan masih banyak “kata-kata” yang sering dipakai umat Islam. Saat saya duduk di bangku TK dan SD, saya merupakan satu-satunya penganut agama Kristen. Awalnya saya sempat minder dan risih, namun lama-kelamaan saya terbiasa juga hidup di sekeliling umat Muslim. Saya juga tak sungkan membalas sapaan assalamualikum dengan walaikumsalam (bagi saya sapaan itu sama dengan kata Syaloom yang dipakai sehari-hari di Gereja, hanya saja assalamualikum merupakan bahasa Arab). Saya jamin sebenarnya Islam dan Kristen itu mampu hidup berdampingan. Tahun ini saya melewatkan bulan Ramadhan di kost dan saya bisa menghormati ibadah teman-teman kost saya. Setiap waktu sahur sekitar pukul 03.00 saya ikut teman-teman saya membeli makan sahur. Tanpa saya sadari saya juga kadang ikut-ikutan puasa seperti yang lain. Tak jarang pula saya sering ikut acara buka bersama dengan teman-teman. Intinya, meski lahir sebagai minoritas namun saya bisa merasakan hidup bahagia bersama kaum mayoritas. Perselisihan tak akan timbul jika kita mampu menempatkan diri kita dengan tepat dan mau menghargai sesama kita. Rasa bangga akan agama yang kita anut memang penting, namun jangan sampai kebanggaan  tadi mampu melecehkan pemeluk agama lain.
Cerita saya di atas hanya bagian dari seklumit kisah toleransi yang ada. Ada lagi satu kisah yang mungkin bisa membuka mata kita akan indahnya keberagaman. Setelah lulus SMA saya melanjutkan studi saya ke Universitas Diponegoro Semarang. Di tempat ini lah saya bisa melihat keanekaragaman budaya Indonesia. Saya menjumpai banyak orang di kampus mulai dari orang Jawa, orang Sunda, sampai orang Batak. Awalnya saya geli mendengar logat bicara teman saya yang berasal dari Bima. Selain logatnya yang begitu aneh di telinga saya, cara bicara teman saya yang begitu keras tak jarang membuat saya harus menutup telinga. Teman saya yang dari Batak juga hampir sama gaya bicaranya dengan orang Bima (keras dan lantang. Kadang gayanya terkesan “menggurui”). Lain lagi dengan orang Sunda yang begitu halus dalam bicara dengan bahasa Sunda (tentu saja bahasa Sunda juga agak lucu di telinga saya). Ada juga teman saya yang meski sama-sama fasih berbahasa Jawa, namun kosakata kami sangatlah berbeda. Orang-orang Semarang jauh lebih fasih berbicara “bahasa Jawa ngoko” ketimbang “bahasa Jawa krama inggil” (bahkan kebanyakan dari mereka tidak bisa memakai “bahasa Jawa krama inggil”). Bahasa Jawa orang Semarang terkesan dan terdengar lebih kasar daripada orang-orang Yogyakarta atau pun Solo. Dalam hal budaya terutama bahasa, kami memang berbeda-beda. Untuk berkomunikasi tentu kami memakai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Namun lama-kelamaan tak jarang juga beberapa teman saya yang dari luar Jawa mulai belajar bahasa Jawa. Meski kosakata yang diapakai masih terbatas dan sangat lucu jika didengarkan, teman-teman saya nampak bersemangat belajar bahasa Jawa. Bahkan ada satu orang yang selalu mencatat tiap kosakata baru dalam bahasa Jawa di buku catatannya. Nampaknya teman-teman saya mempunyai cara tersendiri untuk menghargai keberagaman yang ada. Ketika mereka hidup di tanah Jawa, maka segala tutur dan tindakan mereka harus dijaga agar sesuai dengan budaya yang ada.
Banyak cara untuk menunjukkan rasa bangga akan keberagaman budaya di Indonesia. Saya dan teman-teman angkatan saya punya cara sendiri untuk melestarikan budaya Indonesia. Misalnya, tiap hari Kamis kami sepakat untuk memakai baju batik saat ke kampus (walau harus diakui juga ada beberapa yang enggan memakai batik). Teman-teman yang berasal dari luar Jawa dan tidak terbiasa memakai batik pun sanggat bangga bisa mengenakan batik saat di kampus. Ini bukti bahwa berawal dari rasa saling menghargai (mereka yang bukan orang Jawa dengan senang hati memakai batik) maka segala keberagaman yang ada akan menjadi penguat kebersamaan di antara kami. Selain melestarikan batik di kalangan anak muda, beberapa dari kami juga melestarikan salah satu budaya Indonesia yang lain, yaitu tari Saman. Tarian yang berasal dari daerah Aceh ini menjadi inspirasi bagi kami untuk mendirikan perkumpulan tari Saman. Para anggotanya pun kebanyakan bukan berasal dari Aceh. Kami dari berbagai suku dan latar belakang berbeda bekerja sama melestarikan tari Saman. Tari Saman kemudian menjadi hiburan tersendiri yang dinanti-nanti di tiap acara seperti seminar maupun penerimaan mahasiswa baru. Satu lagi bukti bahwa keberagaman yang ada justru mampu membuat sebuah budaya tak akan mati.
Dari semua kisah yang saya alami, saya bisa katakan bahwa keberagaman bukanlah alasan untuk kita menjadi terpecah. Rasa untuk mau saling menghormati dan menghargai budaya serta agama orang lain menjadi kunci lestarinya keberagaman itu. Sudah sewajarnya kita mengingat bahwa Indonesia diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai perbedaan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika bukanlah semboyan yang “main-main”. Ada sebuah doa dan harapan dalam makna semboyan tadi. Jika kami para mahasiswa yang baru seumur jagung “melek” mampu membuat keindahan di balik segala perbedaan kami, saya yakin masyarakat Indonesia yang lain pun mampu. Kuncinya adalah saling menghargai. Jangan pernah menganggap budaya atau agama kita lebih baik daripada milik orang lain. Segala provokasi yang dapat memicu konflik hendaknya tak membuat kita mudah tersulut amarah. Justru jadikan provokasi-provokasi tadi menjadi pelecut bagi kta untuk bisa bertahan hidup dengan saling menghargai di atas segala keberagaman. Ada baiknya kita melakukan perubahan mulai dari diri sendiri dengan harapan suatu saat kemudian perbuatan kita mampu dicontoh orang lain. Saya percaya bahwa satu perbuatan kecil mampu mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
 Keberagaman di Indonesia selayaknya dijadikan kekayaan Indonesia yang paling berharga. Seperti yang sudah saya ulas di depan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang unik. Unik karena masyarakatnya memiliki latar belakang, fisik, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Enam puluh lima tahun sudah Indonesia berdiri tegak meski dengan keberagaman yang ada. Berbagai konflik yang timbul (konflik agama, konflik etnis, maupun konflik-konflik yang lain) lebih disebabkan karena kurangnya rasa menghargai dan toleransi di antara kita. Marilah dengan berbagai perbedaan yang kita miliki, kita bangun dan lestarikan kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Milikilah rasa bangga akan keberagaman ini. Ingatlah bahwa tonggak dari negara ini pun karena adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika: walaupun berbeda-beda namun tetap satu juga.

SEPEDA MOTOR, SOLUSI BERSIFAT SEMENTARA UNTUK MENIMBULKAN MASALAH JANGKA PANJANG


Sepeda motor nampaknya kini sudah menjadi kebutuhan “pokok” bagi masyarakat Indonesia. Keberadaan sepeda motor di jalanan sudah sering kita jumpai dan tak salah juga bila kini sepeda motor bukan kategori “barang mewah” lagi. Pemakaian sepeda motor di kota-kota besar nampaknya menjadi alternatif saat mengalami kemacetan yang luar biasa. Pengendara sepeda motor pun bervariasi mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga para pekerja kantoran. Sepeda motor dianggap sangat efektif dan efisien untuk perjalanan menuju kantor maupun sekolah. Tak heran jika jumlah sepeda motor di kota-kota besar pun semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Banyak alasan mengapa masyarakat memilih sepeda motor sebagai alat tranportasi mereka. Pertama, harga sepeda  motor kini mudah dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Iming-iming uang muka dan biaya cicilan yang cocok dengan kantong konsumen mampu menarik perhatian masyarakat untuk membeli sepeda motor. Daya beli masyarakat untuk membeli sepeda motor tentu jauh lebih tinggi daripada daya beli masyarakat untuk membeli mobil. Kedua, sepeda motor dinilai lebih efektif dan efisien jika dipakai untuk berkendara di kota-kota besar, terutama kota-kota yang sering mengalami kemacetan di jalan. Body sepeda motor yang jauh lebih ramping daripada mobil tentu memudahkan pengendara motor untuk menyelip di sela-sela mobil saat kemacetan terjadi. Ketiga, buruknya alat transportasi umum di Indonesia. Kondisi alat transportasi umum di Indonesia memang memprihatinkan, misalnya dari segi kelayakan pakai, kenyamanan, dan keamanan. Mesin pada alat tranportasi umum kadang sudah sangat tua sehingga tak jarang menimbulkan kebisingan bagi para pemakai. Kondisi ini diperparah dengan suasana dalam kendaraan umum yang kadang sesak dan panas. Dari segi keamanan, ancaman dari para pencopet adalah hal yang paling sering disoroti. Jadi jangan heran jika kemudia masyarakat lebih memilih memakai kendaraan pribadi seperti motor daripada menggunakan jasa transportasi umum.
Jika dilihat sekilas,sepeda motor dapat dipandang sebagai solusi bagi masyarakat. Sepeda motor memberikan kenyamanan dan keamanan, mudah didapat, serta efisien bagi para pengendara. Namun tanpa disadari solusi yang diberikan oleh sepeda motor sebenarnya bersifat sementara. Secara kasat mata memang sepeda motor mampu dijadikan jalan keluar yang paling efektif di tengah hiruk-pikuk dan keramaian jalan-jalan di kota besar. Mungkin sudah saatnya kita membuka mata akan dampak pemakaian sepeda motor ke depannya. Kenyamanan berkendara dengan sepeda motor tidak akan mampu diimbangi dengan kenyamanan lingkungan. Meningkatnya jumlah sepeda motor merupakan faktor paling berpengaruh dalam meningkatnya pencemaran udara di kota-kota besar.
Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Sumber pencemaran udara pun kebanyakan berasal dari aktivitas manusia, seperti asap pabrik dari industri dan asap kendaraan dari sektor transportasi. Di kota-kota besar, 70% penyebab pencemaran udara adalah penggunaan kendaraan bermotor. Emisi gas buang pada kendaraan bermotor menghasilkan zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia seperti karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx) dan oksida nitrogen (NOx). Sepeda motor menempati urutan pertama penyebab pencemaran udara dibandingkan dengan mobil dan angkutan umum. Banyak masyarakat beranggapan asap hitam yang keluar dari asap kendaraan berbahan bakar solar, misal dari bus-bus kota atau metromini, sangat membahayakan kesehatan dan mencemari udara.  Tidak ada yang salah dengan anggapan itu karena indikasi asap hitam juga merupakan penanda adanya pencemaran udara. Namun tak banyak yang tahu asap yang keluar dari kendaraan berbahan bakar bensin (seperti sepeda motor) ternyata jauh lebih berbahaya. Sistem pembakaran yang tidak sempurna pada mobil diesel bisa dengan mudah kelihatan, sebaliknya pada kendaraan yang menggunakan bahan bakar bensin sistem pembakaran yang tak sempurna tidak kelihatan sehingga kalau sudah melebihi ambang batas bisa mematikan manusia.
Sebenarnya ketika bensin dibakar di dalam mesin kendaraan, maka akan dihasilkan gas CO2 dan H2O saja. Namun pada kenyataannya pembakaran yang terjadi tidaklah sempurna sehingga menghasilkan CO, NOx, dan hidrokarbon yang tidak terbakar. Karbon pun juga akan menjadi masalah ketika karbon dibakar akan berubah menjadi CO2 yang merupakan gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini akan menyebabkan perubahan iklim bumi (pemanasan global), naiknya permukaan air laut (karena es di kutub mencair), banjir, terancamnya kota-kota di pesisir pantai, dan sebagainya.  Solusi untuk mengatasi kemacetan dengan sepeda motor nampaknya bukan pilihan yang baik jika kita ingat kondisi udara di kota-kota yang semakin tercemar. Kini pilihan yang kita anggap sebagai solusi mau tak mau akan menjadi bumerang bagi masyarakat sendiri.
Secara keseluruhan, sebenarnya keberadaan sepeda motor bukanlah solusi yang tepat dalam mengatasi masalah lalu lintas seperti kemacetan. Membludaknya jumlah sepeda motor di jalan justru menimbulkan masalah pencemaran udara yang kronis. Masalah ini tidak hanya menjadi “pe-er” bagi pemerintah saja, namun juga harus mendapatkan perhatian khusus dari kita. Jika kita mau melihat negara maju, sarana transportasi umum di sana justru sangat dimanfaatkan dengan baik sehingga dapat menekan jumlah kendaraan pribadi di jalan. Sebenarnya tak ada salahnya jika kita beralih dari sepeda motor ke sepeda. Meski jauh lebih lambat dari sepeda motor, namun sepeda memiliki keunggulan tersendiri, yaitu sangat ramah lingkungan. Selain itu berkendara dengan sepeda juga menyehatkan tubuh. Andai saja pemerintah memberi perhatian lebih bagi pengguna sepeda (misal dengan menyediakan jalur sepeda di setiap jalan di kota-kota), bukan tidak mungkin keberadaan sepeda motor akan bisa berkurang sehingga pencemaran udara pun menurun.
Memang tak ada aturan yang melarang kita berkendara sepeda motor. Kita bebas memilih untuk memakai kendaraan pribadi, transportasi umum, atau bahkan berjalan kaki saja. Namun ada baiknya kita memberi sedikit perhatian akan lingkungan kita ini. Pohon atau tumbuhan hijau di kota-kota tentu tak bisa berbuat banyak jika polusi akibat keberadaan sepeda motor makin meningkat. Mungkin ada wacana untuk mengadakan jalur hijau sebagai solusinya, namun saya rasa kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan lingkungan akan lebih menjadi solusi terbaik. Marilah kita belajar untuk menghargai alam pemberian Tuhan. Sepeda motor memang mampu memberikan solusi, namun justru akan memberikan masalah dalam jangka waktu yang panjang di kemudian hari.


tulisan ini sebenarnya esai yang saya kirim untuk lomba esai (sayangnya ga menang.. hehe).
daripada tidak terpakai, mending saya publikasikan sendiri :)

Sabtu, 04 September 2010

Bahagia Hidup di Tengah-Tengah Segala Perbedaan

Pluralisme menjadi topik yang kadang bisa dibilang "menarik" namun kadang juga bisa dibilang "sangat sensitif". Dapat dikatakan menarik jika kita bisa berpikir positif mengenai segala keberagaman yang ada di Indonesia ini. Bisa dikatakan sangat sensitif jika kita melihat segala keberagaman yang ada sebagai persoalan yang dapat memecah belah bangsa ini. Sudah sewajarnya kita bangga dengan segala ke-bhineka-an bangsa ini. Banyak suku bangsa di Indonesia, banyak kebudayaan daerah di Indonesia, hingga beragam macam pemeluk agama ada di Indonesia. Mungkin kita tak sadar bahwa keberagaman itulah yang membedakan kita dengan bangsa lain. Bertahun-tahun kita hidup sebagai bangsa dengan penuh keberagaman dan sampai detik ini masih bisa bertahan dengan pluralisme yang ada, bukankah itu hal yang hebat???

Saya prihatin jika melihat perpecahan di antara pemeluk agama. Saya akan sangat tambah terpukul ketika banyak aliran-aliran kepercayaan yang muncul justru menimbulkan kerusuhan. Agama dan kepercayaan memang hal yang paling sensitif untuk dibicarakan. Masing-masing pemeluk agama menganggap agamanya paling benar. Tak ada yang salah dengan anggapan itu karena bagaimana pun juga saya juga senantiasa menerapkan hal itu untuk memperkuat iman saya. Namun jika kita terlalu "fanatik" atau "ekstrim" terhadap agama kita dan sengaja "melecehkan" agama lain, itu baru jadi masalah. Rasa bangga akan agama yang dianut harus diimbangi dengan rasa hormat pada pemeluk agama lain. Saya percaya tak ada agama yang mengajarkan untuk "saling mengganggu" ibadah pemeluk lain. Setiap agama pasti mengajarkan kasih, sukacita, perdamaian, dan hala-hal baik lain.

Sejak kecil saya hidup di antara keberagaman dan segala perbedaan. Masih lekat di ingatan saya ketika saya masih SD dan TK saya lah satu-satunya pemeluk agama Kristen di sekolah saya. Kata-kata seperti Assalamualikum, alhamdullilah, astafiruglah (maaf jika ada salah ejaan, saya kurang tahu) sudah akrab di telinga saya sejak saya TK. Bahkan terkadang saya sangat fasih mengatakan kata-kata itu sehingga tak jarang juga banyak orang mengira saya adalah seorang Muslim. Tak heran jika banyak yang kaget pula waktu mereka tahu saya adalah seorang Nasrani. Saya hanyalah kaum minoritas di negara ini maka sebisa mungkin saya menyesuaikan diri dengan keadaan di bangsa ini. Misalnya saat puasa saya tentu berusaha menghargai yang menjalankan ibadah puasa. Saya ikut mencoba menahan lapar dan haus seperti teman-teman saya. Kadang saya harus mencari tempat yang agak aman untuk sekadar menghilangkan dahaga saya saat bulan puasa. Tiga kali menjalani puasa di kost membuat saya makin bisa menghargai apa puasa itu. Tidak mudah mencari warung makan yang tetap buka selama bulan puasa. Biasanya saya ikut teman-teman kost membeli makan sahur, bedanya makan sahur saya akan saya makan sebelum kuliah. Siang hari saya jarang makan karena malas juga membeli makanan di warung. Awalnya bukan hal mudah untuk menahan rasa lapar di saat puasa. Namun lama-kelamaan saya terbiasa juga. 

Itu seklumit pengalaman saya hidup di tengah pluralisme bangsa ini. Sebenarnya masih banyak lagi hal yang ingin saya bagi, namun ada baiknya hal-hal itu saya simpan dulu untuk ide pembuatan esai saya nanti. Hehehehe.... Intinya, jangan pernah anggap perbedaan di Indonesia sebagai sebuah "ancaman". Pandanglah segala perbedaan yang ada sebagai "keindahan" yang diciptakan Tuhan untuk kita. Janganlah rusak semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Seribu suku bangsa, seribu budaya, dan seribu perbedaan di bangsa ini tak akan mampu menghancurkan kita. Biarkanlah segala perbedaan tadi menjadi pondasi dan dasar bagi kita untuk tetap berdiri tegak dan mampu menjadi bangsa yang besar.

"Tuhan membuat kita berbeda agar kita mampu melihat keindahan di balik segala perbedaaan itu.. SATUKAN INDONESIA DENGAN SEGALA PERBEDAAN YANG KITA PUNYA"

Jumat, 20 Agustus 2010

Beda Es Teh di Jakarta dengan Es Teh di Semarang

Seklumit cerita... Sebuah obrolan dengan mas saya...
 
Tanggal 6 ampe 8 Juli yang lalu mas saya berada di Jakarta dalam rangka mengikuti lomba (yang entah apa itu saya kurang mengerti, pokoknya ujung-ujungnya dia dapat juara deh) di Universitas Tri Sakti. Hal yang membuat saya tertarik dari berbagai cerita dia adalah seputar ES TEH.

Es teh, sebuah minuman yang menjadi favorit saya ketika makan di warteg, di warung penyet, atau di tempat makan rada mahal sekali pun. Umumnya dan setahu saya selama hidup di dunia, es teh rata-rata punya harga Rp 1000,00 ampe Rp 2000,00 (di Semarang rata-rata harganya segitu sih). Pernah sih saya nemu yang lebih mahal, tapi paling pol cuma Rp 2500,00. Nah, yang bikin saya kaget ampe loncat-loncat (sedikit lebai saking kagetnya,,,) , mas saya beli es teh di Jakarta harganya Rp 1000,00 tapi TANPA GULA!!! Tiap satu sendok gula dihargai Rp 500,00. Jadi kalo pengin manis paling tambah 2 sendok dan harganya jadi Rp 2000,00.  Dalam otak saya, betapa komersilnya orang-orang sana!!! Gula per sendok aja dikasih harga. Ga bisa ngebayangin gimana kalau saya hidup ato kuliah (ato bahkan kerja) di sana.. Saya yang kata teman-teman adalah orang super irit dan efisien dalam makan, mungkin harus berpikir 2000 kali untuk membeli sekadar es teh..

Dapat saya simpulkan sementara, tuntutan hidup yang tak mudah di Jakarta mungkin menjadi penyebab utama mengapa minuman seperti es teh saja berharga mahal. Kalo mau hidup di sana emang sulit. Bersyukur saya dikasih Tuhan kuliah di Undip Semarang, yang biarpun panasnya minta ampun harga es teh tetap Rp 1000,00 dan UDAH PAKE GULA....

Seperti kata pepatah lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya... Maka lain kota lain pula harga es tehnya...hahahahaha

Rabu, 18 Agustus 2010

DULU "PENJAJAHAN FISIK", KINI "PENJAJAHAN MORAL"

Sudah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka. Usia enam puluh lima bukanlah usia remaja lagi. Jika diibaratkan manusia, di usia itulah manusia sudah banyak menjalani pahit manis kehidupan. Indonesia bukan lagi “remaja” yang sedang berusaha mencari jati dirinya, melainkan negara yang seharusnya sudah mampu memperbaiki diri dari banyak masalah di negara ini. Meski secara yuridis dan de facto Indonesia telah merdeka sejak enam puluh lima tahun yang lalu, kini nampaknya bangsa ini harus menerima kenyataaan kalau kembali “terjajah”. Perjuangan merebut kemerdekaan oleh para pahlawan sejak bertahun-tahun yang lalu nampaknya sia-sia jika melihat kondisi bangsa ini sekarang.

Apakah sekarang benar-benar sudah merdeka? Ada baiknya kita telisik dulu definisi merdeka tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka artinya bebas dari penghambaan, penjajahan, dan lain-lain; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; atau leluasa. Jika dilihat dari peristiwa enam puluh lima tahun yang lalu, memang bisa dikatakan Indonesia telah merdeka. Dalam sejarah tercatat setidaknya ada lima bangsa yang pernah menjajah Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang. Bentuk penjajahan oleh kelima bangsa tersebut lebih bersifat “penjajahan fisik” (misal kerja paksa di zaman Jepang: romusha). Kini kita telah bebas dari belenggu kelima bangsa tadi dan berdiri sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan. Namun jika kita lebih mau membuka mata, sebenarnya negara ini kembali “terjajah” di tengah “kemerdekaan” yang dirasakan. Ibarat paradoks, bangsa ini mencoba menutupi jenis “penjajahan” yang ada saat ini dengan “perayaan kemerdekaan” di berbagai daerah.

Tak ada yang salah jika hari kemerdekaan Indonesia selalu dirayakan di mana-mana. Hal itu wajar dilakukan karena bisa dianggap sebagai bentuk ungkapan syukur bangsa ini atas kemerdekaan yang diberikan oleh Tuhan. Segala upaya perayaan kemerdekaan tadi diharapkan mampu menumbuhkan semangat patriotisme dan cinta tanah air bagi penduduk Indonesia, terutama generasi muda. Namun marilah kita sejenak meninggalkan kemeriahan perayaan kemerdekaan dengan melihat kondisi bangsa ini sekarang. Masihkah kita berkata “merdeka” saat kita melihat bobroknya hukum di negara ini? Masih lantangkah kita berseru “merdeka” saat kita melihat pincangnya keadilan di negara ini? Masih banggakah kita sebagai bangsa “merdeka” saat melihat kebodohan, kemiskinan, kemerosotan moral, ketidaktertiban, hingga korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mendominasi berita di koran-koran?

Bentuk penjajahan saat ini bukanlah “penjajahan fisik” lagi, melainkan “penjajahan moral”. Kini norma agama seolah mulai dilupakan. Batasan akan apa yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan mulai samar. Banyak pemimpin bangsa korupsi demi memenuhi kepuasan pribadi. Nilai-nilai kebenaran tak lagi nampak. Tak usahlah jauh-jauh mencari contoh penjajahan tadi. Bobroknya moral para pemimpin bangsa telah menyebabkan jutaan masyarakat hidup dalam kemiskinan. Meski digadang-gadangkan program sekolah gratis, toh masih ada anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena tak mampu membayar biaya pendidikan yang makin lama makin tinggi. Bersekolah merupakan “hak” bagi setiap anak. Jika anak-anak tak bisa bersekolah, itukah yang disebut “merdeka”? Bukan hanya pemimpin bangsa yang mengalami kemorosotan moral. Bahkan generasi muda sekarang pun dengan mudah “terjajah” oleh budaya barat. Mulai dari fashion hingga perilaku orang-orang barat seolah sudah hampir mendarah danging di sini. Kini nampaknya sudah tak tabu lagi melakukan free sex bagi generasi muda. Bahkan video asusila mulai mudah beredar dan laris dinikmati bak kacang goreng.  Selain itu drugs seolah menjadi gaya hidup bagi anak muda zaman sekarang. Tuntutan hidup yang keras yang tidak diimbangi kemampuan untuk survive tak bisa dipungkiri menjadi penyebab utama anak muda mudah jatuh dalam lembah hitam.

Sulit rasanya mencari siapa yang salah dan wajib bertanggung jawab atas kemerosotan bangsa ini di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-65. Satu hal yang wajib dilakukan adalah memupuk kesadaran diri kita terlebih dahulu untuk berbuat yang lebih baik. Lakukanlah dari hal-hal kecil seperti kejujuran, optimisme, dan semangat pantang menyerah dari diri kita. Tak usah lah para mahasiswa berteriak “maling” pada para koruptor kalau mereka juga belum bisa berbuat “jujur” saat ujian. Janganlah kita sering memaki-maki pemerintah atas segala kebijakannya kalau kita sendiri masih belum bisa menata keteraturan dalam kehidupan kita masing-masing. Dekatkanlah diri pada Tuhan dan berpegang teguh lah pada aturanNya karena aturanNya jauh lebih sempurna daripada aturan yang dibuat manusia. Saya percaya, INDONESIA pasti BISA keluar dari “penjajahan moral” ini. Salam merdeka!
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Juni 2011

F R I E N D

Friend....
Can you tell me why I feel like this?
Can you see me that I'm so bored with you?
or you will wanna know everything?
I'm doubt about it....

Well, thank you for supporting me, thank you for listening to all my sigh, thank you for giving a lot of advices for me, thank you for all you've done to me. I'm proud to have a friend like you. But just "sometimes"....

Where are you when I feel so sad? Yeah, you're right beside me. But just "right beside me"
Where are you when I get some troubles in my life? Yeah, you'll be with me. But just "be with me"
What do you do when I always angry? Yeah, you say 'keep calm, dear'. But just "say keep calm"

Now...
Can you "really" understand what happen to me?
Can you "really" wanna know what I'm worried about?
Can you tell me how to solve this damn-freak-thing?
(Again) I'm doubt about it..
You say: "Spirit, dear!" But it's not easy like you say
You say: "I'll be there for you..." But actually you'll never always be there for me
You say: "You're great, you're strong. I'm sure that you can pass it!" But you have to know that I'm not strong like you think

Friend...
Can you hide your happiness from me when I'm down? Don't you think that I'm so depressed to watch it? Can you give me a hope? I don't need your advice because it seems just "a bullshit" to me. Don't you know that:
You can't understand me because YOU ARE NOT ME
You can't understand me because YOU DON'T GET THIS PROBLEM
You always ask the same question for me: Why.... why.... and why.....
You just try to "care for me" but you don't "really" care for me

Anyway, I think YOU ARE NOT ME but YOU ARE LIKE ME. Maybe sometimes you feel like me, you get a big trouble, you're sad; but I can't be your best friend when you feel all of this. That's why now you can't understand me. Actually now I can see that everyone has their own problems. Just like this: I don't wanna know your problem, so do you. It's true that: HARD TO BE UNDERSTOOD IF YOU CAN"T UNDERSTAND ANOTHER PERSON



Tulisan ini dibuat berdasarkan sebuah realita dalam pertemanan. Mudah memang mencari teman, namun sulit mencari sahabat. Jangan pernah menyuruh orang lain mengerti anda jika anda pun tak mampu mengerti orang lain :)). Spesial untuk kawan-kawan saya: I LOVE YOU ALL... Maap saya sering marah-marah ga jelas :)) I'm happy to be your friend...

Kamis, 27 Januari 2011

Challenger

 sebuah tulisan yang saya ambil dari note facebook guru SMP saya


Semua dimulai dari impianku. Aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan seorang pilot. Namun, sesuatu pun terjadilah.

Gedung Putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challenger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan. Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku.

Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center.

Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara. Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini ?

Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa. Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA memilih orang lain yaitu Christina McAufliffe. Aku kalah. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku?

Bagian diriku yang mana yang kurang?Mengapa aku diperlakukan kejam ?

Aku berpaling pada ayahku. Katanya: “Semua terjadi karena suatu alasan.”

Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang.

Aku teringat kata-kata ayahku: “Semua terjadi karena suatu alasan.” Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi lain dalam hidup. Aku tidak kalah; aku seorang pemenang….

Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan.

Tuhan mengabulkan doa kita dengan 3 cara:
  1. Apabila Tuhan mengatakan YA. Maka kita akan mendapatkan apa yang kita minta.
  2. Apabila Tuhan mengatakan TIDAK. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang lain yang lebih sesuai untuk kita.
  3. Apabila Tuhan mengatakan TUNGGU. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang terbaik sesuai dengan kehendakNYA.

Jumat, 21 Januari 2011

Bread, Love, and Dreams: I think it's all about Forgive and Forgotten

Saya bukanlah penggemar drama Korea yang mengharu biru atau pun penggemar boyband (sekumpulan mas-mas yang energik nari-nari sambil nyanyi) korea yang sedang digandrungi ABG zaman sekarang. Saya masih bertahan di jalur saya sebagai penikmat musik dan film barat serta beberapa karya anak bangsa yang masih "nggenah" dan tidak absurd (beberapa grup band baru yang muncul dan film-film geje yang rilis belakangan ini adalah karya anak bangsa yang amat sangat absurd). Kalau pun akhir-akhir ini saya mngikuti sebuah drama korea yang ditayangkan di televisi, bukan berarti saya sekarang maniak korea. Ini hanya bagian dari perjalanan hidup di mana manusia pun sering masuk ke lubang kesalahan. Meski telah jatuh ke sebuah kesalahan besar, ada hal yang bisa saya petik dari sana. Saya bisa mengambil kesimpulan bahwa memang mata orang-orang Korea memang sipit seperti saya. Saya juga bisa mengerti mengapa banyak ABG suka orang Korea. Usut punya usut memang mereka memiliki wajah yang cute. Imut. Menggemaskan. Sayangnya saya tidak suka tipe-tipe macam Korea begitu. Kurang "cowok" menurut saya. Ah, tapi bukan ini sebenarnya yang ingin saya bicarakan! Bisa-bisanya jadi ngalor ngidul gini. Baiklah.. Ini hal yang ingin saya share kan...


Bread, Love, and Dreams. Inilah judul drama korea yang sedang saya ikuti. Awalnya saya hanya mendengar desas-desus cerita ini dari 2 kawan saya yang begitu menggemari drama korea - Risa dan Noor. Desas-desus kisah ini berlanjut hingga di kost ketika kawan saya menunda membeli beras dan telur (sebagai solusi pengiritan dalam hal makan) di sore hari hanya gara-gara tak mau melewatkan episode drama korea ini. Awalnya saya agak sebal juga, bagaimana bisa drama korea mengalahkan kepentingan kami dalam hal memepertahankan hidup di kost (baca: beli beras dan telur). Karena saat itu semua anak kost berkerubung di depan televisi, mau tak mau saya juga ikutan nimbrung. Sebenarnya sehari sebelumnya saya telah melihat drama itu di kost temen saya, tapi cuma sekilas. Belum mengerti ceritanya juga. Hari itulah kemudian saya mulai bisa mengerti jalan ceritanya sedikit demi sedikit setalah tanya-tanya teman kost. Dan sejak hari itulah saya jadi mengikuti terus kelanjutan kisahnya tanpa pernah melewatkannya sekali pun....


Di sini saya tidak akan membahas tentang alur kisah atau konflik-konflik yang ada. Saya akan menjabarkan tentang satu makna penting dari drama ini yang saya dapatkan dari sifat sang tokoh utama: Kim Tak Goo. Secara fisik, saya akui Kim Tak Goo memang imut. Wajahnya selalu penuh semyuman dan kebahagiaan. Tapi di sisi lain saya melihat dia kadang sebagai laki-laki cengeng yang gampang menangis. Namun satu hal yang membuat saya begitu kagum padanya adalah sifatnya yang begitu baik: memaafkan dan tak menyimpan dendam. Ada satu tokoh lagi bernama Ma Jun yang teramat menyebalkan di mata saya. Segala tingkah lakunya membuat saya gemas dan ingin memukul wajahnya. Perbuatan jahatnya terkadang amat sangat licik dan amat sangat "ala sinetron Indonesia banget". Ma Jun sangat membenci Kim Tak Goo. Segala hal ia lakukan untuk mengalahkan Tak Goo. Namun Tak Goo -entah mengapa di  begitu memiliki hati yang baik- tak pernah sedikit pun ingin membalas kebencian Ma Jun pada dirinya. Ada sebuah scene yang membuat saya begitu terharu. Saat itu Ma Jun begitu jahatnya pada Tak Goo: dia mengambil perempuan yang paling dicintai Tak Goo (entah siapa namanya, saya lupa) dan dia  juga telah membuat Tak Goo kehilangan indra perasa dan penciumannya. Kalau saya jadi Tak Goo, mungkin saya akan membunuh Ma Jun atau kalau perlu meminta kembali walkman yang diberikan untuk Ma Jun (waktu itu Tak Goo pernah mengganti walkman Ma Jun yang rusak dengan walkman yang baru dengan uang gajinya). Namun sayangnya Tak Goo bukanlah saya. Pernah suatu saat dia dengan polos bilang pada Ma Jun: aku tak akan pernah membencimu! What? Sudah gila kah dia? Disakiti berulang-ulang namun tak pernah sedikit pun membenci Ma Jun? Masih normalkah Tak Goo sebagai manusia? Di sinilah pelajaran yang bisa saya ambil.


Pengampunan adalah hal yang mungkin paling sulit dilakukan manusia. Manusia hidup dengan ego masing-masing. Manusia kerap  akan mudah marah kala idealismenya, idenya, pemikirannya, kebebasannya, atau keinginannya dirusak oleh orang lain. Manusia mudah terluka hatinya dan luka tadi tak kunjung kering meski sudah bertahun-tahun. Manusia cenderung menyimpan luka hati selama hidupnya dan mengingat-ingat kesalahan-kesalahan orang lain padanya. Namun dari Tak Goo saya belajar tentang "Forgive and Forgotten": mengampuni dan melupakan. Dendam biasanya muncul karena kebencian yang sudah lama terpendam dan tak terungkapkan. Dendam yang telah tumbuh lama tak akan membuat kita tenang karena kita masih selalu mengingat perbuatan orang lain yang menyakiti kita. Mengampuni adalah solusi terbaik karena melalui pengampunan hati kita tenang, pikiran kita senantiasa positif, tak ada lagi hal-hal yang mengganjal di hati. Pengampunan adalah memberikan sedikit ruang bagi kebencian di dalam hati kita. Jadi penuhilah hati kita dengan cinta dan kasih, maka kebencian yang ada hanya akan mendapat ruangan yang sangat sempit. Sulit memang menghapus ruangan bagi kebencian karena itu sifat manusiawi kita. Oleh sebab itu berikanlah sedikit.. sedikit saja ruangan dalam hatimu bagi  kebencianmu. Ketika kebencian itu sudah tak betah lantaran ruangan yang kamu berikan terlampau sempit, maka dia akan pergi dengan sendirinya. Selain memberi pengampunan, hal lain yang harus kita lakukan adalah melupakan. Lupakanlah segala tindakan kawan atau musuh kita, lupakanlah sakit yang kita rasa, biarkanlah luka di hati kering dengan sendirinya seiring dengan senyuman di tiap langkah kita. So, do you wanna follow Kim Tak Goo? Cause I want to follow him.. Hahahahaha

Minggu, 02 Januari 2011

The Power of Dreams

Sejak kecil saya adalah orang yang percaya akan mimpi. Sebagaimana dengan manusia normal kebanyakan, saya punya segudang mimpi di hidup saya. Bagi saya, mimpi merupakan fungsi waktu. Mimpi-mimpi akan semakin berubah atau bertambah seiring berjalannya waktu. Tidak percaya? Inilah perjalanan mimpi saya:
  • Saat masih TK, saya punya mimpi ingin menjadi artis cilik gara-gara kebanyakan lihat artis cilik zaman itu macam Trio Kwek-Kwek. Kayaknya seru aja jadi kayak mereka. Masih kecil, banyak yang suka, dapet duit lagi
  • Beranjak SD (masih awal SD, cupu..), mimpi saya mulai rada realistis: pengin jadi astronot. Waktu itu saya ingat ada iklan Pepsodent yang bercerita tentang cita-cita seorang anak. Sang anak berkata pengin jadi astronot. Lalu orang tua berkata: astronot giginya ga boleh bolong. Dari situlah saya terhipnotis. Saya jadi tertarik jadi astronot kemudian dengan hebohnya minta dibeliin Pepsodent biar giginya ga bolong (Well, sebegitu besar dampak iklan terhadap anak kecil macam saya...)
  • SD pertengahan (kelas 4 an ke atas lah), mulai muncul mimpi geje lagi. Zaman itu pas lagi booming nya boyband macam BSB, Westlife, N sync. Saya pun mulai doyan nari-nari kalo liat mereka di MTV. Pernah kepikiran pengin jadi penari latar mereka... *kalo inget bagian ini pengin muntah rasanya
  • Zaman SMP, mimpi ini sudah berada di jalur yang "benar". Saya pengin jadi dokter. Mimpi yang sangat mulia kan? Realistis juga karena saat itu otak saya masih berfungsi sebagaimana mestinya (baca: saya pintar). Mimpi itu dilatarbelakangi oleh seseorang. Saat itu saya naksir mas-mas dokter. Jadi entah kenapa mimpi menjadi dokter tiba-tiba muncul. Lagipula jaminan masa depan dokter lumayan cerah ~ kaya maksud e.. hahaha
  • Beranjak SMA, pemikiran saya semakin lebih dewasa. Menimbang kecerdasan saya yang semakin menurun (sebenernya tetep pinter kok, cuma MALAS nya itu gak ketulungan..), kelemotan otak saya yang tiba-tiba muncul, nilai-nilai yang semakin amburadul (pernah saya dapat 35 untuk fisika di rapor bayangan ~ rapor tengah semester, berfungsi untuk menakut-nakuti siswa), dan kehidupan yang semakin nakal juga ~ mulai kenal CINTA.. hahahaha; maka saya putuskan berubah haluan: pengin jadi apoteker aja! Ini jelas lebih realistis karena cewek IPA biasane minim kesempatan. Mau di teknik kayake berat, kalo pinter banget plus punya duit bisa lah nyoba kedokteran. La kalo saya? Dengan modal kemampuan IPA yang minim, saya hanya berani mencoba Farmasi (matematika plus fisika nya dikit, banyak biologinya..)
But dreams are just dreams. Semuanya kembali ama decision maker nya, yaitu Tuhan. Ternayata Tuhan ga mengizinkan saya menjadi artis cilik, astronot, menjadi penari latar, dokter, atau bahkan apoteker. Saat ini saya "diletakkan" di Teknik Kimia. Kalau saya berjalan menurut jalur yang benar, harusnya saya jadi insinyur. Namun kadang mimpi saya emang ekstrim. Apa yang saya lihat, saya suka, dan saya demen; langsung terpatok di otak saya. Dulu sempat suka liat Captain Tsubasa, lalu sempet pengin jadi manajer klub bola kayak di kartun itu (terkadang ampe mikir kalo-kalo saya kemudian cinlok ama kaptennya, persis kayak cerita kartun geje itu..).  Untung sekarang saya sudah ga gitu lagi (bayangin aja kalo saat ini lagi demen ama Spongebob, ga mungkin kan punya mimpi jadi kayak spongebob gitu.. Bisa-bisa saya pake baju ala spongebob buat ke kampus.. hadoohhh).

Meski sudah disuratkan untuk menimba ilmu di teknik kimia, saya masih saja punya mimpi yang "menyimpang". Saya punya mimpi menjadi JURNALIS sekaligus PENULIS. Sangat menyimpang bukan? Mana ada hubungan jurnalis ama reaktor, mana ada hubungan antara neraca massa dengan penulis. Dreams are like love, sulit dimengerti dan dipahami. Kenapa ga dari dulu masuk kuliah penyiaran aja? Kenapa ga dari  dulu masuk sastra aja? Hidup saya memang rumit, penuh pemikiran, dan kehati-hatian sekaligus penuh coba-coba. Siapa sangka tiba-tiba minat menulis saya menjadi bangkit kembali saat saya kuliah di teknik kimia? Siapa sangka imajinasi saya dalam menulis kembali muncul saat saya masuk Kinetika? Jujur saya ga punya harapan berlebih akan mimpi saya saat ini. Harus saya akui juga minat serta bakat menulis saya bisa tiba-tiba luntur oleh jutaan tugas kuliah, ribuan mata kuliah yang tak pernah saya mengerti, dan ratusan masalah selama kuliah. Namun ada satu hal yang ingin saya pahami dari mimpi itu...

Mimpi itu hal murah. Gratis. Maka saya suka bermimpi. Mimpi itu bukan khayalan. Kalau khayalan adalah hal-hal yang sangat tidak realistis yang mucul di otak (ex: manusia bertelur, pergi kuliah naek pesawat, pengin jadi orang kaya tapi ga kerja, dll). Tapi mimpi jelas berbeda dengan khayalan. Definisi mimpi menurut saya: sesuatu yang mendorong manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bersifat realistis. Mimpi mampu menjadi motivator terbaik buat saya. Mimpi adalah kunci untuk menaklukkan dunia (pinjem liriknya Nidji deh). Kalau kita punya mimpi berarti kita berpikir selangkah lebih maju. Mimpi itu tak akan lekang oleh waktu (jika dipupuk dan dijaga). Meski suatu saat nanti mungkin saya akan menjadi PNS (kebetulan ini lagi jadi trending topic di rumah saya) ato ibu rumah tangga, saya rasa mimpi menjadi seorang penulis dan jurnalis akan tetap ada. Saya pasti akan tetap menulis meski menjadi PNS. Saya akan tetep menulis walau harus tetep ngemong anak. Itulah yang saya namakan dengan The Power of Dreams. Kekuatan yang mampu mengalahkan kepesimisan kita akan dunia ini. Bermimpilah, karena bermimpi itu GRATIS dan HALAL. Bagi saya, orang yang punya mimpi adalah orang yang punya tujuan di masa depan..

Jumat, 10 Desember 2010

PAK DJOKO, SOSOK PENGAJAR, PENDIDIK, DAN ORANG TUA DI TEKNIK KIMIA UNDIP

Apabila berbicara tentang dosen, maka di benak kita akan muncul pertanyaan apa perbedaan antara guru dan dosen. Guru dapat didefinisikan sebagai pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sebutan “guru” biasa kita temui pada pendidikan setara TK, SD, SMP, dan SMA. Dalam Undang-Udang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal 1 ayat 6, dosen disebutkan sebagai pendidik termasuk pula di dalamnya guru, kanselor, pamong belajar, dan sebagainya. Selanjutnya dalam Bab XI Pasal 39 ayat 2 disebutkan “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Dari definisi pendidik tersebut dapat saya tarik kesimpulan bahwa perbedaan mendasar antara guru dan dosen terletak pada aktivitas penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Dosen tidak hanya sekadar melaksanakan tugas mengajar dan mendidik  seperti guru. Menurut saya, tidak lengkap rasanya seorang dosen menjadi dosen jika hanya mengajar saja tanpa pernah melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Begitu pula tidak layak seseorang disebut dosen  jika dosen tersebut hanya melakukan penelitian dan mengabaikan tugas utamanya untuk mengajar.

Di mata orang awam seperti saya, ada sebuah perbedaan yang begitu nampak antara dosen dan guru. Gambaran kasarnya seperti ini: tingkat kepedulian dosen akan mahasiswanya jauh lebih rendah dibandingkan tingkat kepedulian guru pada muridnya. Guru akan berusaha menerangkan pelajaran sejelas-jelasnya pada  murid sampai semua murid mampu mengerti dan memahami pelajaran tadi. Lain halnya dengan dosen yang kadang mengajar pun tak pernah penuh bahkan hanya beberapa menit saja di dalam kelas. Saya bisa maklumi hal ini mengingat peserta didik antara dosen dan guru berbeda. Guru biasa mengajar murid usia 6 sampai 17 tahun (usia yang dirasa masih sangat membutuhkan bimbingan intensif) , sedangkan dosen mengajar mahasiswa yang berusia di atas 17 tahun (usia yang dianggap sudah cukup dewasa dan sudah mampu belajar mandiri).

Terlepas dari semua perbedaan yang ada, tentu ada persamaan antara dosen dan guru. Mereka sama-sama memiliki tugas tidak hanya mengajar melainkan juga mendidik. Sekilas tak ada perbedaan antara mengajar dan mendidik. Namun jika kita melihat lebih dalam ke definisi pengajaran dan pendidikan, kita akan memahami bahwa ada perbedaan pada keduanya. Pengajaran merupakan aktivitas atau proses yang berkaitan dengan penyebaran ilmu pengetahuan atau kemahiran yang tertentu. Pengajaran merupakan pembinaan terhadap anak didik yang hanya menyangkut segi kognitif dan psikomotor saja yaitu agar anak lebih banyak pengetahuannya, lebih cakap berfikir kritis, sistematis, objektif ,dan terampil dalam mengerjakan sesuatu. Sedangkan pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Jadi antara mengajar dan mendidik ada perbedaan pada tujuan yang akan dicapai. Dalam mengajar tujuan akhirnya adalah ilmu yang disampaikan mampu diserap dengan baik oleh peserta didik dan hasilnya dapat bersifat kognitif serta psikomotor. Sedangkan mendidik tidak hanya dititikberatkan pada hasil kognitif saja, melainkan juga kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosi. Jadi “mendidik” merupakan bagian terpenting dalam “mengajar” agar peserta didik tidak hanya menerima ilmu baru atau sekadar mencari nilai melainkan juga mampu mengaplikasikannya agar bermanfaat bagi masyarakat.

Selama dua tahun kuliah di teknik kimia Undip ini, saya tak melihat banyak dosen yang mampu melakukan tugas sebagai pengajar sekaligus pendidik. Kebanyakan dosen di teknik kimia ini mampu melaksanakan tugas sebagai pengajar dengan baik, namun sangat jarang yang mampu berperan sebagai pendidik juga. Saya sendiri merasa sering bahkan selalu tidak mengerti apa-apa ketika diajar oleh dosen-dosen di sini. Saya terkadang memiliki perasaan “hampa” atau “tidak menemukan sesuatu yang baru” setelah dosen masuk kelas. Sudah tak ada ilmu yang masuk ke kepala, didikan dari dosen pun jarang saya dapat. Memang saya akui otak saya tak seencer beberapa mahasiswa lain yang bisa menyerap penjelasan dosen dalam waktu singkat. Tak heran kalau kadang saya baru bisa memahami semua yang diajarkan dosen sesaat menjelang ujian saja.

Namun di mata saya ada satu dosen yang begitu unik dan berbeda dari dosen-dosen yang lain. Perbedaan yang paling nampak adalah cara beliau dalam menyampaikan ilmu pada mahasiswa. Mungkin untuk pertama kalinya dalam sepanjang hidup saya di teknik kimia ini saya benar-benar merasa “bodoh” sebagai mahasiswa. Saya rasa beliau lah yang layak disebut sebagai pengajar dan pendidik. Cara beliau yang unik dalam mengajar mampu membius banyak mahasiswa untuk menjadikan beliau sebagai tokoh panutan. Bahkan jika kita search di facebook pun akan muncul grup pecinta dosen yang satu ini. Beliau adalah Ir. R. P. Djoko Murwono, SU atau yang biasa kita sapa dengan pak Djoko.
 
Pak Djoko mengampu mata kuliah Matematika Teknik Kimia 2 dan Fenomena Perpindahan di semester 4. Sejujurnya sebelum bertemu beliau di kelas, saya tidak pernah sekali pun melihat wajah beliau di kampus teknik kimia ini. Saya hanya mendengar desas-desus tentang beliau yang suka mempermalukan mahasiswa di depan kelas dan mem”bodoh-bodoh”i mahasiswa sampai mahasiswa tadi benar-benar merasa “bodoh sekali”. Jika dilihat dari fisik beliau, saya tak menyangka usia beliau sudah mencapai kepala enam. Badan beliau masih tegap serta selalu terlihat sehat dan bugar. Semangat beliau tidak kalah dengan dosen yang jauh lebih muda dari beliau. Pak Djoko merupakan sosok dosen yang sederhana di mata saya. Dari tutur kata dan bahasa “kasar” yang sering beliau ucapakan, mungkin tak akan ada yang percaya beliau adalah dosen. Meski terlihat agak “nyleneh” dan “seenaknya”, saya rasa hampir semua warga teknik kimia Undip ini begitu respect pada beliau.

Pak Djoko bukanlah dosen yang “banyak maunya”. Kuliah hanya perlu OHP dan transparansi dan kadang-kadang beliau meminta persediaan kapur tulis yang cukup banyak. Beliau sering memberi tugas pada mahasiswa namun tak pernah minta untuk dikumpulkan. Hal inilah yang tak jarang membuat hampir sebagian besar mahasiswa enggan untuk mengerjakan tugas. Boro-boro mengerjakan tugas, mengingat tugas mana yang diberikan saja jarang sekali dilakukan mahasiswa. Selama hampir 14 tahun menempuh pendidikan formal, hanya ada dua nama yang saya sebut sebagai orang cerdas. Yang pertama adalah almarhum guru matematika SMP saya dan yang kedua adalah Pak Djoko. Sosok Pak Djoko sangat mirip dengan guru matematika SMP saya. Dari luar terlihat galak dan begitu killer, namun di balik semua itu beliau  adalah dosen yang “lebih dari sekadar dosen”.
 
Saya sebenarnya heran bagaimana mungkin Tuhan menciptakan manusia secerdas pak Djoko. Saat mengajar beliau hanya membawa satu buku pegangan yang nampak sudah sangat tua. Buku yang dibawa pak Djoko biasanya berwarna kecoklatan dan terlihat sangat lusuh. Hal ini menunjukkan terlalu seringnya buku itu dibuka oleh sang pemilik (lain dengan buku milik saya yang masih sangat mulus dan tak kadang masih ada bau-bau fotocopy-an). Kecepatan berpikir pak Djoko dalam mengajar sangat jarang bisa dilampaui oleh mahasiswa. Semakin cepat otak pak Djoko berpikir semakin jelek tulisan beliau (yang langsung ditulis di atas OHP) pada tranparansi sehingga tak bisa dipungkiri semakin bingung pula mahasiswa yang melihatnya. Saat beliau mengajar kebanyakan mahasiswa hanya bisa mengangguk-angguk, menjawab pertanyaan pak Joko dengan “iya...iya..iya..”, ternganga karena kebingungan, menguap, dan mungkin sedikit yang berusaha memahami dengan konsentrasi penuh. Atau mungkin ada yang seperti saya: bergumam dalam hati, “Ya ampun masih ada saja manusia sedahsyat ini. Betapa luar biasanya Tuhan menciptakan makhluk ini”.

Hal yang paling dinanti-nanti adalah saat beberapa mahasiswa disuruh maju mengerjakan soal. Saya sebut “hal yang paling dinanti-nanti” karena saat itulah berbagai kejadian akan muncul. Detik pertama semua mahasiswa mungkin akan menahan nafas berharap tidak mendapat giliran maju. Detik berikutnya ada dua fenomena: mahasiswa yang dapat giliran maju akan memiliki ekspresi campur aduk antara takut dan pasrah, sedang mahasiswa yang selamat akan menghela nafas sebebas-bebasnya dengan tak henti mengucap syukur pada Yang Kuasa. Menit-menit selanjutnya pasti akan muuncul tawa riuh dari seisi kelas ketika mahasiswa yang maju tidak bisa mengerjakan kemudian dicaci maki pak Djoko dengan “guyonan” khas beliau. Begitu seterusnya terjadi sampai benar-benar ada mahasiswa yang bisa mengerjakan soal (dengan bantuan pak Djoko sepenuhnya tentunya). Di balik semua tawa dan malu yang ada, sebenarnya cara pak Djoko mengajar sangat mendidik kami. Mungkin hanya dengan cara dibentak-bentak dan dipermalukan di depan kelas lah kami menjadi bisa mengerti apa yang beliau ajarkan.
 
Sebenarnya apa yang diajarkan pak Djoko saat kuliah sangat jarang mampu diserap oleh otak saya ini dengan baik. Kalau dipresentase mungkin hanya 2-3 % yang ada di otak saya, sisanya tentu saja melayang entah ke mana. Namun di sela-sela mengajar beliau selalu memberi didikan yang sangat jarang saya dapatkan selama kuliah. Beliau selalu memberi pendidikan moral dan tanpa saya sadari beberapa yang beliau ucapkan mampu memotivasi saya menjalani beratnya kuliah di teknik kimia ini. Bahkan boleh dibilang beliau adalah best motivator yang ada (jauh lebih baik daripada trainer-trainer kebanyakan yang biasanya jago omong saja). Beliau mendidik mahasiswa agar tak hanya mengejar IP selama kuliah. Justru memperoleh dan memahami ilmu yang didapat jauh lebih berharga daripada IP cumlaude tiap semester. Pendidikan di Indonesia sekarang lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh", bukan pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa segala kondisi. Pak Djoko bukanlah dosen yang mendidik mahasiswa dengan “cetakan buruh”. Beliau selalu berbagi pengalaman beliau dan tak lupa selalu memberi contoh mengaplikasikan ilmu teknik kimia yang kami peroleh ke masyarakat. Beliau tak jarang selalu menyelipkan filosofi kehidupan dan moral di sela-sela mengajar. Hal itu lah yang membedakan pak Djoko dengan dosen-dosen yang lain. Satu hal yang paling saya kagumi dari beliau adalah sifat beliau yang sangat “merakyat” (saya menyebut beliau sebagai sahabat para petani) dan tak pernah silau akan sebuah jabatan. Beliau berani memilih jalan kehidupannya sendiri yang mungkin sangat dianggap tak lazim bagi orang lain

Pak Djoko merupakan sosok dosen yang begitu komplit. Beliau tak hanya mengajar namun juga mendidik. Beliau juga melakukan aktivitas pengabdian masyarakat. Selain itu, menurut saya pak Djoko bisa juga disebut sebagai sosok “ayah” di kampus. Beliau mendidik “anak-anaknya” dengan cara unik. Ejekan dan segala cemoohan bagi mahasiswa merupakan bukti sayang beliau kepada mahasiswa teknik kimia Undip agar mahasiswa di sini mampu tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Beliau selalu mampu memberikan harapan bagi sebagian mahasiswa yang mungkin merasa kehidupannya sudah “tamat” di teknik kimia seperti saya. Saya menyebut beliau: Great Teacher Mr. Djoko!


Sabtu, 30 Oktober 2010

Saling Menghargai dan Toleransi, Kunci Keberhasilan Membangun Keberagaman


...sebuah esai yang tak menang dalam perlombaan... namun sengaja saya publikasikan untuk menyampaikan segala uneg-uneg saya tentang Bhineka Tunggal Ika... semoga bermanfaat


 
Tuhan menciptakan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Besar kepulauannya, besar kekayaan alamnya, hingga besar jumlah penduduknya. Dari sekitar 200 juta penduduk di Indonesia, terdapat ragam budaya serta adat istiadat yang kompleks. Indonesia memiliki sekitar 1.128 suku bangsa (data dari BPS hingga akhir Februari 2010) yang tersebar hampir di seluruh kepulauan. Sudah selayaknya sebagai generasi muda, kita bangga akan keberagaman yang ada di Indonesia. Mungkin hanya di Indonesia lah kita bisa melihat ragam warna kulit, ragam bentuk mata, ragam bentuk rambut, hingga ragam dialek. Indonesia kaya akan budaya yang bukan hanya berbeda tiap propinsi, kadang meski masih satu propinsi budaya yang dimiliki masing-masing daerah pun beragam. Contohnya, bahasa Jawa yang dipakai di daerah Yogyakarta akan berbeda jika dibandingkan dengan dialek bahasa Jawa orang-orang Semarang. Ada juga daerah seperti Kebumen, Brebes, Tegal, atau Probolinggo yang dialek Jawanya sangat khas “ngapak”. Itu baru contoh yang berasal dari satu suku (suku Jawa) dan satu propinsi (Jawa Tengah), tentu masih banyak lagi ragam budaya yang dimiliki daerah-daerah di Indonesia. Bukan hanya suku bangsa atau pun adat istiadat saja yang beragam, setidaknya ada enam kepercayaan (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, serta Konghuchu)  yang diakui di Indonesia. Berangkat dari segala keberagaman itulah bangsa Indonesia masih bisa bertahan sampai sekarang.
Salah satu semboyan bangsa Indonesia yang begitu fasih kita kenal adalah Bhineka Tunggal Ika yang berarti “walaupun berbeda-beda namun tetap satu juga”. Ciri khas Indonesia sangat nampak dari semboyan tadi. Bangsa Indonesia dipersatukan melalui ribuan suku bangsa yang ada, ribuan budaya yang berbeda, serta ragam kepercayaan yang dianut. Bahkan sebaris lirik lagu Kahitna dengan judul Bumi Indonesia pun seolah menceritakan kebanggaan akan bangsa ini: “..seribu perbedaan tak mengubah bangsaku, kejayaan hanya untuk bumi Indonesia...”. Saya sendiri merasa sangat bersyukur saat Tuhan menetapkan saya untuk lahir dan hidup di Indonesia. Saya belajar banyak hal dari kebragaman di sini, terutama dalam hal saling menghormati. Indonesia memiliki masyarakat yang begitu ramah dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Meski hidup dengan segala perbedaan (baik budaya maupun agama), masyarakat Indonesia tak pernah menganggap perbedaan itu sebagai masalah melainkan sebagai bagian dari kekayaan dan keunikan Indonesia.
Namun belakangan ini ada beberapa kelompok yang nampaknya mulai mencederai makna Bhineka Tunggal Ika. Salah satu contoh yang baru saja terjadi adalah kejadian yang menimpa jemaat Gereja HKBP Bekasi pada bulan Agustus 2010 silam. Sekelompok orang melarang para jemaat Gereja HKBP untuk melakukan ibadah di hari Minggu. Tak jelas apa motif dari tindakan itu. Selain itu penyebab adanya pelarangan ibadah pun masih simpang siur. Buntut dari masalah ini nampaknya melebar bahkan mulai menjalar ke masyarakat pada umumnya. Beberapa komentar yang muncul pada situs-situs internet yang memberitakan kasus ini sungguh memprihatinkan. Perang argumen dan lontaran kata-kata kotor menjadi penyedap berita ini. Sungguh sangat disayangkan mengapa masyarakat ini masih sangat mudah tersulut emosi dan mulai melupakan nilai-nilai toleransi yang ada. Bukan hanya soal agama saja yang menjadi hits akhir-akhir ini, kerusuhan yang masih sering terjadi di Ambon, Maluku, maupun Papua juga menjadi bukti mulai terkikisnya rasa kebanggaan akan keberagaman di Indonesia.
Saya rasa akar dari segala masalah yang berhubungan dengan keberagaman tadi adalah kurangnya rasa saling menghormati di antara sesama. Selama 20 tahun hidup di Indonesia saya tak mengalami banyak masalah tentang keberagaman. Saya seorang Nasrani dan saya sudah terbiasa hidup  sebagai kaum minoritas. Mayoritas penduduk di Indonesia merupakan Muslim dan sudah hal yang wajar jika orang-orang terdekat saya pun kebanyakan juga Muslim. Sejak TK sampai sekarang saya sudah terbiasa dengan kata-kata seperti Assalamualikum, Astagfiruglah, Alhamdulilah, dan masih banyak “kata-kata” yang sering dipakai umat Islam. Saat saya duduk di bangku TK dan SD, saya merupakan satu-satunya penganut agama Kristen. Awalnya saya sempat minder dan risih, namun lama-kelamaan saya terbiasa juga hidup di sekeliling umat Muslim. Saya juga tak sungkan membalas sapaan assalamualikum dengan walaikumsalam (bagi saya sapaan itu sama dengan kata Syaloom yang dipakai sehari-hari di Gereja, hanya saja assalamualikum merupakan bahasa Arab). Saya jamin sebenarnya Islam dan Kristen itu mampu hidup berdampingan. Tahun ini saya melewatkan bulan Ramadhan di kost dan saya bisa menghormati ibadah teman-teman kost saya. Setiap waktu sahur sekitar pukul 03.00 saya ikut teman-teman saya membeli makan sahur. Tanpa saya sadari saya juga kadang ikut-ikutan puasa seperti yang lain. Tak jarang pula saya sering ikut acara buka bersama dengan teman-teman. Intinya, meski lahir sebagai minoritas namun saya bisa merasakan hidup bahagia bersama kaum mayoritas. Perselisihan tak akan timbul jika kita mampu menempatkan diri kita dengan tepat dan mau menghargai sesama kita. Rasa bangga akan agama yang kita anut memang penting, namun jangan sampai kebanggaan  tadi mampu melecehkan pemeluk agama lain.
Cerita saya di atas hanya bagian dari seklumit kisah toleransi yang ada. Ada lagi satu kisah yang mungkin bisa membuka mata kita akan indahnya keberagaman. Setelah lulus SMA saya melanjutkan studi saya ke Universitas Diponegoro Semarang. Di tempat ini lah saya bisa melihat keanekaragaman budaya Indonesia. Saya menjumpai banyak orang di kampus mulai dari orang Jawa, orang Sunda, sampai orang Batak. Awalnya saya geli mendengar logat bicara teman saya yang berasal dari Bima. Selain logatnya yang begitu aneh di telinga saya, cara bicara teman saya yang begitu keras tak jarang membuat saya harus menutup telinga. Teman saya yang dari Batak juga hampir sama gaya bicaranya dengan orang Bima (keras dan lantang. Kadang gayanya terkesan “menggurui”). Lain lagi dengan orang Sunda yang begitu halus dalam bicara dengan bahasa Sunda (tentu saja bahasa Sunda juga agak lucu di telinga saya). Ada juga teman saya yang meski sama-sama fasih berbahasa Jawa, namun kosakata kami sangatlah berbeda. Orang-orang Semarang jauh lebih fasih berbicara “bahasa Jawa ngoko” ketimbang “bahasa Jawa krama inggil” (bahkan kebanyakan dari mereka tidak bisa memakai “bahasa Jawa krama inggil”). Bahasa Jawa orang Semarang terkesan dan terdengar lebih kasar daripada orang-orang Yogyakarta atau pun Solo. Dalam hal budaya terutama bahasa, kami memang berbeda-beda. Untuk berkomunikasi tentu kami memakai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Namun lama-kelamaan tak jarang juga beberapa teman saya yang dari luar Jawa mulai belajar bahasa Jawa. Meski kosakata yang diapakai masih terbatas dan sangat lucu jika didengarkan, teman-teman saya nampak bersemangat belajar bahasa Jawa. Bahkan ada satu orang yang selalu mencatat tiap kosakata baru dalam bahasa Jawa di buku catatannya. Nampaknya teman-teman saya mempunyai cara tersendiri untuk menghargai keberagaman yang ada. Ketika mereka hidup di tanah Jawa, maka segala tutur dan tindakan mereka harus dijaga agar sesuai dengan budaya yang ada.
Banyak cara untuk menunjukkan rasa bangga akan keberagaman budaya di Indonesia. Saya dan teman-teman angkatan saya punya cara sendiri untuk melestarikan budaya Indonesia. Misalnya, tiap hari Kamis kami sepakat untuk memakai baju batik saat ke kampus (walau harus diakui juga ada beberapa yang enggan memakai batik). Teman-teman yang berasal dari luar Jawa dan tidak terbiasa memakai batik pun sanggat bangga bisa mengenakan batik saat di kampus. Ini bukti bahwa berawal dari rasa saling menghargai (mereka yang bukan orang Jawa dengan senang hati memakai batik) maka segala keberagaman yang ada akan menjadi penguat kebersamaan di antara kami. Selain melestarikan batik di kalangan anak muda, beberapa dari kami juga melestarikan salah satu budaya Indonesia yang lain, yaitu tari Saman. Tarian yang berasal dari daerah Aceh ini menjadi inspirasi bagi kami untuk mendirikan perkumpulan tari Saman. Para anggotanya pun kebanyakan bukan berasal dari Aceh. Kami dari berbagai suku dan latar belakang berbeda bekerja sama melestarikan tari Saman. Tari Saman kemudian menjadi hiburan tersendiri yang dinanti-nanti di tiap acara seperti seminar maupun penerimaan mahasiswa baru. Satu lagi bukti bahwa keberagaman yang ada justru mampu membuat sebuah budaya tak akan mati.
Dari semua kisah yang saya alami, saya bisa katakan bahwa keberagaman bukanlah alasan untuk kita menjadi terpecah. Rasa untuk mau saling menghormati dan menghargai budaya serta agama orang lain menjadi kunci lestarinya keberagaman itu. Sudah sewajarnya kita mengingat bahwa Indonesia diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai perbedaan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika bukanlah semboyan yang “main-main”. Ada sebuah doa dan harapan dalam makna semboyan tadi. Jika kami para mahasiswa yang baru seumur jagung “melek” mampu membuat keindahan di balik segala perbedaan kami, saya yakin masyarakat Indonesia yang lain pun mampu. Kuncinya adalah saling menghargai. Jangan pernah menganggap budaya atau agama kita lebih baik daripada milik orang lain. Segala provokasi yang dapat memicu konflik hendaknya tak membuat kita mudah tersulut amarah. Justru jadikan provokasi-provokasi tadi menjadi pelecut bagi kta untuk bisa bertahan hidup dengan saling menghargai di atas segala keberagaman. Ada baiknya kita melakukan perubahan mulai dari diri sendiri dengan harapan suatu saat kemudian perbuatan kita mampu dicontoh orang lain. Saya percaya bahwa satu perbuatan kecil mampu mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
 Keberagaman di Indonesia selayaknya dijadikan kekayaan Indonesia yang paling berharga. Seperti yang sudah saya ulas di depan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang unik. Unik karena masyarakatnya memiliki latar belakang, fisik, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Enam puluh lima tahun sudah Indonesia berdiri tegak meski dengan keberagaman yang ada. Berbagai konflik yang timbul (konflik agama, konflik etnis, maupun konflik-konflik yang lain) lebih disebabkan karena kurangnya rasa menghargai dan toleransi di antara kita. Marilah dengan berbagai perbedaan yang kita miliki, kita bangun dan lestarikan kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Milikilah rasa bangga akan keberagaman ini. Ingatlah bahwa tonggak dari negara ini pun karena adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika: walaupun berbeda-beda namun tetap satu juga.

SEPEDA MOTOR, SOLUSI BERSIFAT SEMENTARA UNTUK MENIMBULKAN MASALAH JANGKA PANJANG


Sepeda motor nampaknya kini sudah menjadi kebutuhan “pokok” bagi masyarakat Indonesia. Keberadaan sepeda motor di jalanan sudah sering kita jumpai dan tak salah juga bila kini sepeda motor bukan kategori “barang mewah” lagi. Pemakaian sepeda motor di kota-kota besar nampaknya menjadi alternatif saat mengalami kemacetan yang luar biasa. Pengendara sepeda motor pun bervariasi mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga para pekerja kantoran. Sepeda motor dianggap sangat efektif dan efisien untuk perjalanan menuju kantor maupun sekolah. Tak heran jika jumlah sepeda motor di kota-kota besar pun semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Banyak alasan mengapa masyarakat memilih sepeda motor sebagai alat tranportasi mereka. Pertama, harga sepeda  motor kini mudah dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Iming-iming uang muka dan biaya cicilan yang cocok dengan kantong konsumen mampu menarik perhatian masyarakat untuk membeli sepeda motor. Daya beli masyarakat untuk membeli sepeda motor tentu jauh lebih tinggi daripada daya beli masyarakat untuk membeli mobil. Kedua, sepeda motor dinilai lebih efektif dan efisien jika dipakai untuk berkendara di kota-kota besar, terutama kota-kota yang sering mengalami kemacetan di jalan. Body sepeda motor yang jauh lebih ramping daripada mobil tentu memudahkan pengendara motor untuk menyelip di sela-sela mobil saat kemacetan terjadi. Ketiga, buruknya alat transportasi umum di Indonesia. Kondisi alat transportasi umum di Indonesia memang memprihatinkan, misalnya dari segi kelayakan pakai, kenyamanan, dan keamanan. Mesin pada alat tranportasi umum kadang sudah sangat tua sehingga tak jarang menimbulkan kebisingan bagi para pemakai. Kondisi ini diperparah dengan suasana dalam kendaraan umum yang kadang sesak dan panas. Dari segi keamanan, ancaman dari para pencopet adalah hal yang paling sering disoroti. Jadi jangan heran jika kemudia masyarakat lebih memilih memakai kendaraan pribadi seperti motor daripada menggunakan jasa transportasi umum.
Jika dilihat sekilas,sepeda motor dapat dipandang sebagai solusi bagi masyarakat. Sepeda motor memberikan kenyamanan dan keamanan, mudah didapat, serta efisien bagi para pengendara. Namun tanpa disadari solusi yang diberikan oleh sepeda motor sebenarnya bersifat sementara. Secara kasat mata memang sepeda motor mampu dijadikan jalan keluar yang paling efektif di tengah hiruk-pikuk dan keramaian jalan-jalan di kota besar. Mungkin sudah saatnya kita membuka mata akan dampak pemakaian sepeda motor ke depannya. Kenyamanan berkendara dengan sepeda motor tidak akan mampu diimbangi dengan kenyamanan lingkungan. Meningkatnya jumlah sepeda motor merupakan faktor paling berpengaruh dalam meningkatnya pencemaran udara di kota-kota besar.
Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Sumber pencemaran udara pun kebanyakan berasal dari aktivitas manusia, seperti asap pabrik dari industri dan asap kendaraan dari sektor transportasi. Di kota-kota besar, 70% penyebab pencemaran udara adalah penggunaan kendaraan bermotor. Emisi gas buang pada kendaraan bermotor menghasilkan zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia seperti karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx) dan oksida nitrogen (NOx). Sepeda motor menempati urutan pertama penyebab pencemaran udara dibandingkan dengan mobil dan angkutan umum. Banyak masyarakat beranggapan asap hitam yang keluar dari asap kendaraan berbahan bakar solar, misal dari bus-bus kota atau metromini, sangat membahayakan kesehatan dan mencemari udara.  Tidak ada yang salah dengan anggapan itu karena indikasi asap hitam juga merupakan penanda adanya pencemaran udara. Namun tak banyak yang tahu asap yang keluar dari kendaraan berbahan bakar bensin (seperti sepeda motor) ternyata jauh lebih berbahaya. Sistem pembakaran yang tidak sempurna pada mobil diesel bisa dengan mudah kelihatan, sebaliknya pada kendaraan yang menggunakan bahan bakar bensin sistem pembakaran yang tak sempurna tidak kelihatan sehingga kalau sudah melebihi ambang batas bisa mematikan manusia.
Sebenarnya ketika bensin dibakar di dalam mesin kendaraan, maka akan dihasilkan gas CO2 dan H2O saja. Namun pada kenyataannya pembakaran yang terjadi tidaklah sempurna sehingga menghasilkan CO, NOx, dan hidrokarbon yang tidak terbakar. Karbon pun juga akan menjadi masalah ketika karbon dibakar akan berubah menjadi CO2 yang merupakan gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini akan menyebabkan perubahan iklim bumi (pemanasan global), naiknya permukaan air laut (karena es di kutub mencair), banjir, terancamnya kota-kota di pesisir pantai, dan sebagainya.  Solusi untuk mengatasi kemacetan dengan sepeda motor nampaknya bukan pilihan yang baik jika kita ingat kondisi udara di kota-kota yang semakin tercemar. Kini pilihan yang kita anggap sebagai solusi mau tak mau akan menjadi bumerang bagi masyarakat sendiri.
Secara keseluruhan, sebenarnya keberadaan sepeda motor bukanlah solusi yang tepat dalam mengatasi masalah lalu lintas seperti kemacetan. Membludaknya jumlah sepeda motor di jalan justru menimbulkan masalah pencemaran udara yang kronis. Masalah ini tidak hanya menjadi “pe-er” bagi pemerintah saja, namun juga harus mendapatkan perhatian khusus dari kita. Jika kita mau melihat negara maju, sarana transportasi umum di sana justru sangat dimanfaatkan dengan baik sehingga dapat menekan jumlah kendaraan pribadi di jalan. Sebenarnya tak ada salahnya jika kita beralih dari sepeda motor ke sepeda. Meski jauh lebih lambat dari sepeda motor, namun sepeda memiliki keunggulan tersendiri, yaitu sangat ramah lingkungan. Selain itu berkendara dengan sepeda juga menyehatkan tubuh. Andai saja pemerintah memberi perhatian lebih bagi pengguna sepeda (misal dengan menyediakan jalur sepeda di setiap jalan di kota-kota), bukan tidak mungkin keberadaan sepeda motor akan bisa berkurang sehingga pencemaran udara pun menurun.
Memang tak ada aturan yang melarang kita berkendara sepeda motor. Kita bebas memilih untuk memakai kendaraan pribadi, transportasi umum, atau bahkan berjalan kaki saja. Namun ada baiknya kita memberi sedikit perhatian akan lingkungan kita ini. Pohon atau tumbuhan hijau di kota-kota tentu tak bisa berbuat banyak jika polusi akibat keberadaan sepeda motor makin meningkat. Mungkin ada wacana untuk mengadakan jalur hijau sebagai solusinya, namun saya rasa kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan lingkungan akan lebih menjadi solusi terbaik. Marilah kita belajar untuk menghargai alam pemberian Tuhan. Sepeda motor memang mampu memberikan solusi, namun justru akan memberikan masalah dalam jangka waktu yang panjang di kemudian hari.


tulisan ini sebenarnya esai yang saya kirim untuk lomba esai (sayangnya ga menang.. hehe).
daripada tidak terpakai, mending saya publikasikan sendiri :)

Sabtu, 04 September 2010

Bahagia Hidup di Tengah-Tengah Segala Perbedaan

Pluralisme menjadi topik yang kadang bisa dibilang "menarik" namun kadang juga bisa dibilang "sangat sensitif". Dapat dikatakan menarik jika kita bisa berpikir positif mengenai segala keberagaman yang ada di Indonesia ini. Bisa dikatakan sangat sensitif jika kita melihat segala keberagaman yang ada sebagai persoalan yang dapat memecah belah bangsa ini. Sudah sewajarnya kita bangga dengan segala ke-bhineka-an bangsa ini. Banyak suku bangsa di Indonesia, banyak kebudayaan daerah di Indonesia, hingga beragam macam pemeluk agama ada di Indonesia. Mungkin kita tak sadar bahwa keberagaman itulah yang membedakan kita dengan bangsa lain. Bertahun-tahun kita hidup sebagai bangsa dengan penuh keberagaman dan sampai detik ini masih bisa bertahan dengan pluralisme yang ada, bukankah itu hal yang hebat???

Saya prihatin jika melihat perpecahan di antara pemeluk agama. Saya akan sangat tambah terpukul ketika banyak aliran-aliran kepercayaan yang muncul justru menimbulkan kerusuhan. Agama dan kepercayaan memang hal yang paling sensitif untuk dibicarakan. Masing-masing pemeluk agama menganggap agamanya paling benar. Tak ada yang salah dengan anggapan itu karena bagaimana pun juga saya juga senantiasa menerapkan hal itu untuk memperkuat iman saya. Namun jika kita terlalu "fanatik" atau "ekstrim" terhadap agama kita dan sengaja "melecehkan" agama lain, itu baru jadi masalah. Rasa bangga akan agama yang dianut harus diimbangi dengan rasa hormat pada pemeluk agama lain. Saya percaya tak ada agama yang mengajarkan untuk "saling mengganggu" ibadah pemeluk lain. Setiap agama pasti mengajarkan kasih, sukacita, perdamaian, dan hala-hal baik lain.

Sejak kecil saya hidup di antara keberagaman dan segala perbedaan. Masih lekat di ingatan saya ketika saya masih SD dan TK saya lah satu-satunya pemeluk agama Kristen di sekolah saya. Kata-kata seperti Assalamualikum, alhamdullilah, astafiruglah (maaf jika ada salah ejaan, saya kurang tahu) sudah akrab di telinga saya sejak saya TK. Bahkan terkadang saya sangat fasih mengatakan kata-kata itu sehingga tak jarang juga banyak orang mengira saya adalah seorang Muslim. Tak heran jika banyak yang kaget pula waktu mereka tahu saya adalah seorang Nasrani. Saya hanyalah kaum minoritas di negara ini maka sebisa mungkin saya menyesuaikan diri dengan keadaan di bangsa ini. Misalnya saat puasa saya tentu berusaha menghargai yang menjalankan ibadah puasa. Saya ikut mencoba menahan lapar dan haus seperti teman-teman saya. Kadang saya harus mencari tempat yang agak aman untuk sekadar menghilangkan dahaga saya saat bulan puasa. Tiga kali menjalani puasa di kost membuat saya makin bisa menghargai apa puasa itu. Tidak mudah mencari warung makan yang tetap buka selama bulan puasa. Biasanya saya ikut teman-teman kost membeli makan sahur, bedanya makan sahur saya akan saya makan sebelum kuliah. Siang hari saya jarang makan karena malas juga membeli makanan di warung. Awalnya bukan hal mudah untuk menahan rasa lapar di saat puasa. Namun lama-kelamaan saya terbiasa juga. 

Itu seklumit pengalaman saya hidup di tengah pluralisme bangsa ini. Sebenarnya masih banyak lagi hal yang ingin saya bagi, namun ada baiknya hal-hal itu saya simpan dulu untuk ide pembuatan esai saya nanti. Hehehehe.... Intinya, jangan pernah anggap perbedaan di Indonesia sebagai sebuah "ancaman". Pandanglah segala perbedaan yang ada sebagai "keindahan" yang diciptakan Tuhan untuk kita. Janganlah rusak semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Seribu suku bangsa, seribu budaya, dan seribu perbedaan di bangsa ini tak akan mampu menghancurkan kita. Biarkanlah segala perbedaan tadi menjadi pondasi dan dasar bagi kita untuk tetap berdiri tegak dan mampu menjadi bangsa yang besar.

"Tuhan membuat kita berbeda agar kita mampu melihat keindahan di balik segala perbedaaan itu.. SATUKAN INDONESIA DENGAN SEGALA PERBEDAAN YANG KITA PUNYA"

Jumat, 20 Agustus 2010

Beda Es Teh di Jakarta dengan Es Teh di Semarang

Seklumit cerita... Sebuah obrolan dengan mas saya...
 
Tanggal 6 ampe 8 Juli yang lalu mas saya berada di Jakarta dalam rangka mengikuti lomba (yang entah apa itu saya kurang mengerti, pokoknya ujung-ujungnya dia dapat juara deh) di Universitas Tri Sakti. Hal yang membuat saya tertarik dari berbagai cerita dia adalah seputar ES TEH.

Es teh, sebuah minuman yang menjadi favorit saya ketika makan di warteg, di warung penyet, atau di tempat makan rada mahal sekali pun. Umumnya dan setahu saya selama hidup di dunia, es teh rata-rata punya harga Rp 1000,00 ampe Rp 2000,00 (di Semarang rata-rata harganya segitu sih). Pernah sih saya nemu yang lebih mahal, tapi paling pol cuma Rp 2500,00. Nah, yang bikin saya kaget ampe loncat-loncat (sedikit lebai saking kagetnya,,,) , mas saya beli es teh di Jakarta harganya Rp 1000,00 tapi TANPA GULA!!! Tiap satu sendok gula dihargai Rp 500,00. Jadi kalo pengin manis paling tambah 2 sendok dan harganya jadi Rp 2000,00.  Dalam otak saya, betapa komersilnya orang-orang sana!!! Gula per sendok aja dikasih harga. Ga bisa ngebayangin gimana kalau saya hidup ato kuliah (ato bahkan kerja) di sana.. Saya yang kata teman-teman adalah orang super irit dan efisien dalam makan, mungkin harus berpikir 2000 kali untuk membeli sekadar es teh..

Dapat saya simpulkan sementara, tuntutan hidup yang tak mudah di Jakarta mungkin menjadi penyebab utama mengapa minuman seperti es teh saja berharga mahal. Kalo mau hidup di sana emang sulit. Bersyukur saya dikasih Tuhan kuliah di Undip Semarang, yang biarpun panasnya minta ampun harga es teh tetap Rp 1000,00 dan UDAH PAKE GULA....

Seperti kata pepatah lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya... Maka lain kota lain pula harga es tehnya...hahahahaha

Rabu, 18 Agustus 2010

DULU "PENJAJAHAN FISIK", KINI "PENJAJAHAN MORAL"

Sudah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka. Usia enam puluh lima bukanlah usia remaja lagi. Jika diibaratkan manusia, di usia itulah manusia sudah banyak menjalani pahit manis kehidupan. Indonesia bukan lagi “remaja” yang sedang berusaha mencari jati dirinya, melainkan negara yang seharusnya sudah mampu memperbaiki diri dari banyak masalah di negara ini. Meski secara yuridis dan de facto Indonesia telah merdeka sejak enam puluh lima tahun yang lalu, kini nampaknya bangsa ini harus menerima kenyataaan kalau kembali “terjajah”. Perjuangan merebut kemerdekaan oleh para pahlawan sejak bertahun-tahun yang lalu nampaknya sia-sia jika melihat kondisi bangsa ini sekarang.

Apakah sekarang benar-benar sudah merdeka? Ada baiknya kita telisik dulu definisi merdeka tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka artinya bebas dari penghambaan, penjajahan, dan lain-lain; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; atau leluasa. Jika dilihat dari peristiwa enam puluh lima tahun yang lalu, memang bisa dikatakan Indonesia telah merdeka. Dalam sejarah tercatat setidaknya ada lima bangsa yang pernah menjajah Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang. Bentuk penjajahan oleh kelima bangsa tersebut lebih bersifat “penjajahan fisik” (misal kerja paksa di zaman Jepang: romusha). Kini kita telah bebas dari belenggu kelima bangsa tadi dan berdiri sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan. Namun jika kita lebih mau membuka mata, sebenarnya negara ini kembali “terjajah” di tengah “kemerdekaan” yang dirasakan. Ibarat paradoks, bangsa ini mencoba menutupi jenis “penjajahan” yang ada saat ini dengan “perayaan kemerdekaan” di berbagai daerah.

Tak ada yang salah jika hari kemerdekaan Indonesia selalu dirayakan di mana-mana. Hal itu wajar dilakukan karena bisa dianggap sebagai bentuk ungkapan syukur bangsa ini atas kemerdekaan yang diberikan oleh Tuhan. Segala upaya perayaan kemerdekaan tadi diharapkan mampu menumbuhkan semangat patriotisme dan cinta tanah air bagi penduduk Indonesia, terutama generasi muda. Namun marilah kita sejenak meninggalkan kemeriahan perayaan kemerdekaan dengan melihat kondisi bangsa ini sekarang. Masihkah kita berkata “merdeka” saat kita melihat bobroknya hukum di negara ini? Masih lantangkah kita berseru “merdeka” saat kita melihat pincangnya keadilan di negara ini? Masih banggakah kita sebagai bangsa “merdeka” saat melihat kebodohan, kemiskinan, kemerosotan moral, ketidaktertiban, hingga korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mendominasi berita di koran-koran?

Bentuk penjajahan saat ini bukanlah “penjajahan fisik” lagi, melainkan “penjajahan moral”. Kini norma agama seolah mulai dilupakan. Batasan akan apa yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan mulai samar. Banyak pemimpin bangsa korupsi demi memenuhi kepuasan pribadi. Nilai-nilai kebenaran tak lagi nampak. Tak usahlah jauh-jauh mencari contoh penjajahan tadi. Bobroknya moral para pemimpin bangsa telah menyebabkan jutaan masyarakat hidup dalam kemiskinan. Meski digadang-gadangkan program sekolah gratis, toh masih ada anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena tak mampu membayar biaya pendidikan yang makin lama makin tinggi. Bersekolah merupakan “hak” bagi setiap anak. Jika anak-anak tak bisa bersekolah, itukah yang disebut “merdeka”? Bukan hanya pemimpin bangsa yang mengalami kemorosotan moral. Bahkan generasi muda sekarang pun dengan mudah “terjajah” oleh budaya barat. Mulai dari fashion hingga perilaku orang-orang barat seolah sudah hampir mendarah danging di sini. Kini nampaknya sudah tak tabu lagi melakukan free sex bagi generasi muda. Bahkan video asusila mulai mudah beredar dan laris dinikmati bak kacang goreng.  Selain itu drugs seolah menjadi gaya hidup bagi anak muda zaman sekarang. Tuntutan hidup yang keras yang tidak diimbangi kemampuan untuk survive tak bisa dipungkiri menjadi penyebab utama anak muda mudah jatuh dalam lembah hitam.

Sulit rasanya mencari siapa yang salah dan wajib bertanggung jawab atas kemerosotan bangsa ini di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-65. Satu hal yang wajib dilakukan adalah memupuk kesadaran diri kita terlebih dahulu untuk berbuat yang lebih baik. Lakukanlah dari hal-hal kecil seperti kejujuran, optimisme, dan semangat pantang menyerah dari diri kita. Tak usah lah para mahasiswa berteriak “maling” pada para koruptor kalau mereka juga belum bisa berbuat “jujur” saat ujian. Janganlah kita sering memaki-maki pemerintah atas segala kebijakannya kalau kita sendiri masih belum bisa menata keteraturan dalam kehidupan kita masing-masing. Dekatkanlah diri pada Tuhan dan berpegang teguh lah pada aturanNya karena aturanNya jauh lebih sempurna daripada aturan yang dibuat manusia. Saya percaya, INDONESIA pasti BISA keluar dari “penjajahan moral” ini. Salam merdeka!