Rabu, 27 April 2011

...when i talk about kormat....

Sebuah tulisan yang aku dedikasikan untuk para kormat. They are inspiring my life. They show me how to be faithful. Mereka mengajarkanku bagaimana caranya sabar....


Kormat. Nampaknya jabatan tadi sangatlah terhormat. Jika menjadi kormat, maka  bersiap-siaplah menjadi orang penting. Kau akan berhubungan langsung dan lebih intens  dengan dosen. Tak salah jika berharap nomor hapemu juga akan di-save oleh si dosen.  Inbox di hapemu akan dipenuhi pertanyaan kawan-kawanmu yang sama tiap minggunya: nanti  ada kuliah tidak? Maka setelah kau bosan dengan pertanyaan yang sama tiap minggunya,  setiap malam sebelum hari H kuliah kau akan membuat jarkom: JARKOM!! Besok ada kuliah  bla bla bla di ruang bla bla bla pukul bla bla bla. Kalau sudah musim menjelang ujian  maka sms yang masuk ke inboxmu berganti: besok ujiannya open apa close? Jenuh menjawab  pertanyaan yang sama pada tiap orang, ujung-ujungnya kau akan membuat jarkom lagi:  JARKOM!! Ujian bla bla close book. Derita kormat tak sampai di situ saja. Kadang jika  dosen memberi tugas yang rada "geje" dan sulit dipahami oleh otak mahasiswa rata-rata  macam kami, maka seolah-olah kormat lah yang harus bertanggung jawab. Ditanya ini itu,  kalau tak tahu disuruh tanya ke dosennya. Itulah kormat, mengemban tugas yang cukup  berat, menjadi penopang bagi mahasiswa malas macam kami ini.

Ada lagi derita kormat yang lain, dia hampir tak bisa membolos mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya (kecuali kalau dia nekat dan cuek pada nasib kawan-kawannya). Kormat biasanya duduk di depan saat kuliah. Dia akan mengikuti kuliah dengan amat baik, mencatat setiap tugas yang diberikan oleh dosen. Maka kutemukan lagi satu derita kormat: "memperhatikan kuliah dengan sungguh-sungguh". Sudah menjadi rahasia umum kalau mahasiswa bengal seperti kami jarang mengikuti kuliah dengan sungguh-sungguh. Ada saja yang dikerjakan: bergosip dengan teman sebelah, melamun, menggambar rupa-rupa bentuk di kertas, menyalin laporan praktikum, membuat proposal praktikum, mengantuk, tidur, sms an, browsing via hape. hingga sok serius memandang diktat kuliah padahal pikirannya ngelantur ke mana-mana. Namun sekali kau menyandang gelar kormat maka jangan harap bisa melakukan hal-hal tadi dengan leluasa. Kormat lah source of information bagi kawan-kawannya. Salah memberi info pasti akan menjadi pergunjingan walau hanya sesaat. Seperti tabiat kebanyakan orang Indonesia yang suka mengeluh, mahasiswa pun demikian. Sekali berbuat salah, pasti langsung dicibir, dianggap tak bertanggung jawab lah, lalai lah, malas lah, dan lain-lain. Padahal aku yakin, mereka yang tukang mengeluh tadi (termasuk aku) pasti belum tentu mengemban amanah mulia sebagai kormat. Oh ya satu hal lagi derita kormat yang paling akut: saat akan memfotocopy diktat dengan tebal yang lumayan ditambah jumlah mahasiswa yang lumayan banyak juga, mau tak mau dia harus menalangi uang pembayaran kawan-kawannya. Dapat kutarik kesimpulan bahwa kormat haruslah punya uang cadangan untuk keadaan mendadak macam ini. Belum lagi kalau ada beberapa kawan yang belum membayar uang diktat namun dia relakan memberikan diktat pada kawannya karena kasihan.

Atas dasar segala penderitaan yang kulihat jika menjadi kormat tadi, maka kuputuskan aku tak akan pernah mencalonkan diri menjadi kormat. Bahkan kalau sampai ada yang melambungkan namaku saat pemilihan kormat maka bisa kupastikan habislah dia di tanganku. Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya mengurusi puluhan mahasiswa-mahasiswa labil di kelasku. Aku malas sekali mengurusi nasib jadwal kuliah mereka. Aku malas juga jika ada jadwal yang bertabrakan atau dosen yang bersangkutan berhalangan hadir, maka aku harus mencari jadwal penggantinya. Belum lagi kalau kawan-kawanku selalu menghantui malamku dengan sms tentang kapan kuliah. Bukannya aku pelit pulsa, tapi malas saja membalas sms yang sama setiap minggu. Di mataku, setelah menjabat sebagai kormat maka hidup terasa gelap. Satu semester dijalani dengan kelelahan tiap minggu. Ambil absen, ambil LCD, mengingatkan dosen untuk kuliah, ada pula dosen minta dijemput di ruangannya (macam anak SD saja tipe dosen macam ini), kadang ada dosen meminta dibawakan air minum saat kuliah, dan hal-hal absurd lain. Aku akui kalau aku bukanlah tipe penyokong yang bisa melakukan hal-hal tadi. Aku malas mengurusi hajat hidup mahasiswa labil ini. Kalau aku jadi kormat maka pastilah kuliah berantakan. Kalau kau tanya tugas, mungkin kujawab: tidak ada tugas kok, santai saja. Kalau kau tanya ujian close book atau open book mungkin kujawab: open kok (padahal close book).

Kalian boleh men-judge aku sebagai mahasiswa tak bisa diandalkan dan tak bisa bertanggung jawab. Terserahlah. Namun daripada kalian menghujatku terus, aku bawa kalian ke sosok-sosok hebat yang sukses menjadi kormat. Kormat yang bisa aku katakan teladan karena kesabarannya, kepeduliannya pada nasib kami, kerajinannya, keuletannya, keramahnnya, dan terjaminnya nasib kami selama kuliah. Sosok pertama adalah TRINUG. Aku menyebutnya Master of Kormat. Bukan tanpa alasan aku menyebutnya seperti itu. Dia sosok paling bertanggung jawab dari semua kormat yang pernah aku lihat. Dia selalu datang lebih pagi dari yang lain. Dia selalu menyiapkan segala yang diperlukan sang dosen sebelum perkuliahan dimulai. Yang membuatku tambah kagum, meski saat tak menjabat sebagai kormat sekalipun, dia rela melakukan tugas kormat macam ambil LCD dan daftar absen saat kormat yang bersangkutan berhalangan bertugas tanpa alasan yang jelas. Dialah TRINUG, anak asli Semarang, cerdas, santun pula. Aku memandangnya sebagai muslim yang baik. Sosok yang kedua adalah ULIL. Dalam kamus kehidupan tekimku, aku menetapkannya sebagai orang kepercayaan Master of Kormat. Dia rajin datang pagi ke kampus (apalagi untuk download anime-anime kesukaannya). Kelakuannya mirip sang Master of Kormat. Hanya saja dia agak "grusa-grusu" alias agak mudah panik. Dia suka berlari-lari dari lantai dua gedung B menuju tempat perkuliahan. Dia juga ahli dalam memecahkan "masalah LCD". Ada kalanya LCD tidak mau connect dengan laptop, maka ULIL lah yang berhasil menjinakkan LCD tadi. Sebenarnya masih banyak lagi kormat-kormat yang di mataku baik, namun dari semuanya mereka berdua lah yang terbaik. Muncul pula nama kormat-kormat lain yang tak mungkin pula aku sebutkan satu per satu (karena sepertinya hampir semua anak sudah merasakan menjadi kormat..).

Keseluruhan, merekalah sebagian dari mahasiswa labil yang berani mengemban tanggung jawab berat. Mereka lah sosok yang menjadi panutan selama hidupku. Melalui mereka aku belajar agar aku jangan sampai hidup menderita seperti mereka. Ah, salah lagi. Maksudku melalui mereka aku belajar untuk menjadi pengayom bagi yang lain. Sulit memang sepertinya, namun aku tahu di balik kesengasaraan mereka muncul sebuah senyuman manis di akhir masa kerja mereka. Mereka patut berbangga karena melalui merekalah kuliah lancar, melalui merekalah tugas-tugas dapat dikumpulkan, melalui merekalah nilai-nilai  -baik indah maupun hancur-   milik kawan-kawannya akhirnya bisa terpampang di KHS. Sejuta hormatku untuk kalian, wahai para kormat...

Senin, 04 April 2011

Nge-Fans: Antara SUKA ato DEMEN??

Tulisan ini aku buat berdasarkan kisah pribadi, nyata, dan tanpa rekayasa. Apa yang ada di sini adalah bagain-bagian tak terpisahkan manusia ketika dia nge-fans dengan seseorang. Aku tertarik menulis hal "geje" ini karena sejujurnya inilah hal paling aneh yang sering aku lakukan. Mungkin hanya ingin sekadar share saja, kali aja ada yang kisahnya sama kayak aku.

Mengagumi seseorang bukanlah hal yang salah. Misal saja sekadar flash back, zaman SMA dulu aku kagum pada seorang pegawai TU di sekolahku. Beliau begitu santun, ramah, tidak neko-neko, dan tentu saja ganteng. Atau aku juga sempat kagum kepada guru SMP ku yang begitu galak namun sangat pintar dan membuat para siswanya pintar. Ada kalanya kagum itu dalam batasan "wajar", namun ada kalanya "kagum" itu dalam batasan yang "sangat tidak wajar". Untuk kategori "sangat tidak wajar" aku klasifikasikan untuk kisahku akhir-akhir ini selama duduk di bangku kuliah. Bentuk-bentuk tindakan "geje" plus aneh mulai muncul saat aku nge-fans dengan seseorang -sebut saja mas Oki- . Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari laki-laki itu. Dia begitu dingin dan teramat cuek plus sedikit jaim. Hal-hal itulah yang membuatku begitu penasaran dengannya. Sebenarnya sejak awal semester 1 aku sudah "tertarik" akan tingkah lakunya, namun mungkin baru semester ini lah aku menjadi terkena "penyakit gila" sebagai efek nge-fans kepadanya.

Aku membedakan antara nge-fans dan cinta. Perbedaan yang nyata terlihat tentu saja kalo nge-fans tuh ya cuma suka saja. Suka ama gerakannya, suka lihat wajah segernya, suka tingkah lakunya, pokoknya menjurus ke hal-hal yang berbau fisik. Tapi cinta itu lain. Cinta itu perasaan yang sulit didefinsikan, yang ada hanya perasaan gelisah, deg-deg an, berbunga-bunga, sampai patah hati. Kalau nge-fans biasanya aku tak sampai deg-deg an saat memandang wajahnya, namun jika cinta pasti ada deg-deg an di dalam dada. Nah, berdasarkan teori di atas (teori yang aku buat sendiri tentunya), maka bisa aku simpulkan apa-apa yang belakangan ini aku rasakan hanyalah sekadar perasaan sebagai fans mas Oki. Meski bukan cinta, namun tindakan yang akhir-akhir ini sering dilakukan sama "gila" nya dengan jatuh cinta. Inilah beberapa tindakan gila itu:
  • Mulai mencari wajahnya saat seharian tak melihat wajahnya. Ini tindakan gila pertama yang sering aku lakukan bersama partnerku (baca: Lia). Tempat-tempat yang sering menjadi sasaran utama kami biasanya gedung A bawah, gedung B bawah, dan parkiran (akhir-akhir ini perpustakaan juga menjadi target).
  • Mulai cengar-cengir kalau melihatnya berjalan atau lewat di hadapan kami. Ini juga tindakan gila karena kami dengan "geje" nya mengharapkan senyumnya untuk kami. Kadang yang muncul di bibirnya bukanlah sebuah senyuman untuk kami melainkan sebuah cengiran yang tak kalah geje bentuknya dengan tindakan kami
  • Mulai hapal jadwal mas Oki dari hari ke hari. Ini tindakan gila terparah yang kami alami. Entah karena sudah kebiasaan atau emang entah karena "sengaja" menghapal jadwal lewatnya jam berapa, jadwal hari apa biasanya dia di mana, jadwal jam berapa dia ada di parkiran, dan jadwal-jadwal lainnya. Ini makin menggila karena lama-kelamaan kami hapal di mana kami harus stand by buat menanti masnya lewat.
  • Mulai hapal baju yang dia pake. Ini tindakan gila yang jarang aku lakukan namun sering dilakuakan oleh partnerku (baca: Lia). Aku no comment untuk tindakan ini karena sudah termasuk level "parah".
Well, setidaknya itulah beberapa tindakan "gila" yang aku lakukan bersama partnerku.  Gila memang, namun kami seolah menikmatinya. Kadang kami menganggap sosok mas itu sebagai penyegar buat kami di tengah kejenuhan kuliah dan tugas plus kadang penyejuk hati kami yang kadang tersakiti oleh cinta. Namun makin ke sini jujur saja muncul pertanyaan di benakku, beda antara suka ama demen tipis sekali. Aku tidak demen ama mas itu, tapi suka aja lihat tingkah polahnya. Tapi lama-lama bisa saja suka itu jadi demen kalau aku sendiri tidak bisa mengendalikan "tindakan gila" di atas. Lucu memang kisah-kisah macam ini. Aku anggap ini sebagai kenangan, kenangan yang terlupakan saat aku berumur 20 tahun. Kenangan gila yang aku miliki di tengah frustasi hidup di teknik kimia. Nge-fans pada mas Oki menjadi sesuatu yang tidak akan aku sesali karena menurutku itu bukan hal salah.

Rabu, 27 April 2011

...when i talk about kormat....

Sebuah tulisan yang aku dedikasikan untuk para kormat. They are inspiring my life. They show me how to be faithful. Mereka mengajarkanku bagaimana caranya sabar....


Kormat. Nampaknya jabatan tadi sangatlah terhormat. Jika menjadi kormat, maka  bersiap-siaplah menjadi orang penting. Kau akan berhubungan langsung dan lebih intens  dengan dosen. Tak salah jika berharap nomor hapemu juga akan di-save oleh si dosen.  Inbox di hapemu akan dipenuhi pertanyaan kawan-kawanmu yang sama tiap minggunya: nanti  ada kuliah tidak? Maka setelah kau bosan dengan pertanyaan yang sama tiap minggunya,  setiap malam sebelum hari H kuliah kau akan membuat jarkom: JARKOM!! Besok ada kuliah  bla bla bla di ruang bla bla bla pukul bla bla bla. Kalau sudah musim menjelang ujian  maka sms yang masuk ke inboxmu berganti: besok ujiannya open apa close? Jenuh menjawab  pertanyaan yang sama pada tiap orang, ujung-ujungnya kau akan membuat jarkom lagi:  JARKOM!! Ujian bla bla close book. Derita kormat tak sampai di situ saja. Kadang jika  dosen memberi tugas yang rada "geje" dan sulit dipahami oleh otak mahasiswa rata-rata  macam kami, maka seolah-olah kormat lah yang harus bertanggung jawab. Ditanya ini itu,  kalau tak tahu disuruh tanya ke dosennya. Itulah kormat, mengemban tugas yang cukup  berat, menjadi penopang bagi mahasiswa malas macam kami ini.

Ada lagi derita kormat yang lain, dia hampir tak bisa membolos mata kuliah yang menjadi tanggung jawabnya (kecuali kalau dia nekat dan cuek pada nasib kawan-kawannya). Kormat biasanya duduk di depan saat kuliah. Dia akan mengikuti kuliah dengan amat baik, mencatat setiap tugas yang diberikan oleh dosen. Maka kutemukan lagi satu derita kormat: "memperhatikan kuliah dengan sungguh-sungguh". Sudah menjadi rahasia umum kalau mahasiswa bengal seperti kami jarang mengikuti kuliah dengan sungguh-sungguh. Ada saja yang dikerjakan: bergosip dengan teman sebelah, melamun, menggambar rupa-rupa bentuk di kertas, menyalin laporan praktikum, membuat proposal praktikum, mengantuk, tidur, sms an, browsing via hape. hingga sok serius memandang diktat kuliah padahal pikirannya ngelantur ke mana-mana. Namun sekali kau menyandang gelar kormat maka jangan harap bisa melakukan hal-hal tadi dengan leluasa. Kormat lah source of information bagi kawan-kawannya. Salah memberi info pasti akan menjadi pergunjingan walau hanya sesaat. Seperti tabiat kebanyakan orang Indonesia yang suka mengeluh, mahasiswa pun demikian. Sekali berbuat salah, pasti langsung dicibir, dianggap tak bertanggung jawab lah, lalai lah, malas lah, dan lain-lain. Padahal aku yakin, mereka yang tukang mengeluh tadi (termasuk aku) pasti belum tentu mengemban amanah mulia sebagai kormat. Oh ya satu hal lagi derita kormat yang paling akut: saat akan memfotocopy diktat dengan tebal yang lumayan ditambah jumlah mahasiswa yang lumayan banyak juga, mau tak mau dia harus menalangi uang pembayaran kawan-kawannya. Dapat kutarik kesimpulan bahwa kormat haruslah punya uang cadangan untuk keadaan mendadak macam ini. Belum lagi kalau ada beberapa kawan yang belum membayar uang diktat namun dia relakan memberikan diktat pada kawannya karena kasihan.

Atas dasar segala penderitaan yang kulihat jika menjadi kormat tadi, maka kuputuskan aku tak akan pernah mencalonkan diri menjadi kormat. Bahkan kalau sampai ada yang melambungkan namaku saat pemilihan kormat maka bisa kupastikan habislah dia di tanganku. Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya mengurusi puluhan mahasiswa-mahasiswa labil di kelasku. Aku malas sekali mengurusi nasib jadwal kuliah mereka. Aku malas juga jika ada jadwal yang bertabrakan atau dosen yang bersangkutan berhalangan hadir, maka aku harus mencari jadwal penggantinya. Belum lagi kalau kawan-kawanku selalu menghantui malamku dengan sms tentang kapan kuliah. Bukannya aku pelit pulsa, tapi malas saja membalas sms yang sama setiap minggu. Di mataku, setelah menjabat sebagai kormat maka hidup terasa gelap. Satu semester dijalani dengan kelelahan tiap minggu. Ambil absen, ambil LCD, mengingatkan dosen untuk kuliah, ada pula dosen minta dijemput di ruangannya (macam anak SD saja tipe dosen macam ini), kadang ada dosen meminta dibawakan air minum saat kuliah, dan hal-hal absurd lain. Aku akui kalau aku bukanlah tipe penyokong yang bisa melakukan hal-hal tadi. Aku malas mengurusi hajat hidup mahasiswa labil ini. Kalau aku jadi kormat maka pastilah kuliah berantakan. Kalau kau tanya tugas, mungkin kujawab: tidak ada tugas kok, santai saja. Kalau kau tanya ujian close book atau open book mungkin kujawab: open kok (padahal close book).

Kalian boleh men-judge aku sebagai mahasiswa tak bisa diandalkan dan tak bisa bertanggung jawab. Terserahlah. Namun daripada kalian menghujatku terus, aku bawa kalian ke sosok-sosok hebat yang sukses menjadi kormat. Kormat yang bisa aku katakan teladan karena kesabarannya, kepeduliannya pada nasib kami, kerajinannya, keuletannya, keramahnnya, dan terjaminnya nasib kami selama kuliah. Sosok pertama adalah TRINUG. Aku menyebutnya Master of Kormat. Bukan tanpa alasan aku menyebutnya seperti itu. Dia sosok paling bertanggung jawab dari semua kormat yang pernah aku lihat. Dia selalu datang lebih pagi dari yang lain. Dia selalu menyiapkan segala yang diperlukan sang dosen sebelum perkuliahan dimulai. Yang membuatku tambah kagum, meski saat tak menjabat sebagai kormat sekalipun, dia rela melakukan tugas kormat macam ambil LCD dan daftar absen saat kormat yang bersangkutan berhalangan bertugas tanpa alasan yang jelas. Dialah TRINUG, anak asli Semarang, cerdas, santun pula. Aku memandangnya sebagai muslim yang baik. Sosok yang kedua adalah ULIL. Dalam kamus kehidupan tekimku, aku menetapkannya sebagai orang kepercayaan Master of Kormat. Dia rajin datang pagi ke kampus (apalagi untuk download anime-anime kesukaannya). Kelakuannya mirip sang Master of Kormat. Hanya saja dia agak "grusa-grusu" alias agak mudah panik. Dia suka berlari-lari dari lantai dua gedung B menuju tempat perkuliahan. Dia juga ahli dalam memecahkan "masalah LCD". Ada kalanya LCD tidak mau connect dengan laptop, maka ULIL lah yang berhasil menjinakkan LCD tadi. Sebenarnya masih banyak lagi kormat-kormat yang di mataku baik, namun dari semuanya mereka berdua lah yang terbaik. Muncul pula nama kormat-kormat lain yang tak mungkin pula aku sebutkan satu per satu (karena sepertinya hampir semua anak sudah merasakan menjadi kormat..).

Keseluruhan, merekalah sebagian dari mahasiswa labil yang berani mengemban tanggung jawab berat. Mereka lah sosok yang menjadi panutan selama hidupku. Melalui mereka aku belajar agar aku jangan sampai hidup menderita seperti mereka. Ah, salah lagi. Maksudku melalui mereka aku belajar untuk menjadi pengayom bagi yang lain. Sulit memang sepertinya, namun aku tahu di balik kesengasaraan mereka muncul sebuah senyuman manis di akhir masa kerja mereka. Mereka patut berbangga karena melalui merekalah kuliah lancar, melalui merekalah tugas-tugas dapat dikumpulkan, melalui merekalah nilai-nilai  -baik indah maupun hancur-   milik kawan-kawannya akhirnya bisa terpampang di KHS. Sejuta hormatku untuk kalian, wahai para kormat...

Senin, 04 April 2011

Nge-Fans: Antara SUKA ato DEMEN??

Tulisan ini aku buat berdasarkan kisah pribadi, nyata, dan tanpa rekayasa. Apa yang ada di sini adalah bagain-bagian tak terpisahkan manusia ketika dia nge-fans dengan seseorang. Aku tertarik menulis hal "geje" ini karena sejujurnya inilah hal paling aneh yang sering aku lakukan. Mungkin hanya ingin sekadar share saja, kali aja ada yang kisahnya sama kayak aku.

Mengagumi seseorang bukanlah hal yang salah. Misal saja sekadar flash back, zaman SMA dulu aku kagum pada seorang pegawai TU di sekolahku. Beliau begitu santun, ramah, tidak neko-neko, dan tentu saja ganteng. Atau aku juga sempat kagum kepada guru SMP ku yang begitu galak namun sangat pintar dan membuat para siswanya pintar. Ada kalanya kagum itu dalam batasan "wajar", namun ada kalanya "kagum" itu dalam batasan yang "sangat tidak wajar". Untuk kategori "sangat tidak wajar" aku klasifikasikan untuk kisahku akhir-akhir ini selama duduk di bangku kuliah. Bentuk-bentuk tindakan "geje" plus aneh mulai muncul saat aku nge-fans dengan seseorang -sebut saja mas Oki- . Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari laki-laki itu. Dia begitu dingin dan teramat cuek plus sedikit jaim. Hal-hal itulah yang membuatku begitu penasaran dengannya. Sebenarnya sejak awal semester 1 aku sudah "tertarik" akan tingkah lakunya, namun mungkin baru semester ini lah aku menjadi terkena "penyakit gila" sebagai efek nge-fans kepadanya.

Aku membedakan antara nge-fans dan cinta. Perbedaan yang nyata terlihat tentu saja kalo nge-fans tuh ya cuma suka saja. Suka ama gerakannya, suka lihat wajah segernya, suka tingkah lakunya, pokoknya menjurus ke hal-hal yang berbau fisik. Tapi cinta itu lain. Cinta itu perasaan yang sulit didefinsikan, yang ada hanya perasaan gelisah, deg-deg an, berbunga-bunga, sampai patah hati. Kalau nge-fans biasanya aku tak sampai deg-deg an saat memandang wajahnya, namun jika cinta pasti ada deg-deg an di dalam dada. Nah, berdasarkan teori di atas (teori yang aku buat sendiri tentunya), maka bisa aku simpulkan apa-apa yang belakangan ini aku rasakan hanyalah sekadar perasaan sebagai fans mas Oki. Meski bukan cinta, namun tindakan yang akhir-akhir ini sering dilakukan sama "gila" nya dengan jatuh cinta. Inilah beberapa tindakan gila itu:
  • Mulai mencari wajahnya saat seharian tak melihat wajahnya. Ini tindakan gila pertama yang sering aku lakukan bersama partnerku (baca: Lia). Tempat-tempat yang sering menjadi sasaran utama kami biasanya gedung A bawah, gedung B bawah, dan parkiran (akhir-akhir ini perpustakaan juga menjadi target).
  • Mulai cengar-cengir kalau melihatnya berjalan atau lewat di hadapan kami. Ini juga tindakan gila karena kami dengan "geje" nya mengharapkan senyumnya untuk kami. Kadang yang muncul di bibirnya bukanlah sebuah senyuman untuk kami melainkan sebuah cengiran yang tak kalah geje bentuknya dengan tindakan kami
  • Mulai hapal jadwal mas Oki dari hari ke hari. Ini tindakan gila terparah yang kami alami. Entah karena sudah kebiasaan atau emang entah karena "sengaja" menghapal jadwal lewatnya jam berapa, jadwal hari apa biasanya dia di mana, jadwal jam berapa dia ada di parkiran, dan jadwal-jadwal lainnya. Ini makin menggila karena lama-kelamaan kami hapal di mana kami harus stand by buat menanti masnya lewat.
  • Mulai hapal baju yang dia pake. Ini tindakan gila yang jarang aku lakukan namun sering dilakuakan oleh partnerku (baca: Lia). Aku no comment untuk tindakan ini karena sudah termasuk level "parah".
Well, setidaknya itulah beberapa tindakan "gila" yang aku lakukan bersama partnerku.  Gila memang, namun kami seolah menikmatinya. Kadang kami menganggap sosok mas itu sebagai penyegar buat kami di tengah kejenuhan kuliah dan tugas plus kadang penyejuk hati kami yang kadang tersakiti oleh cinta. Namun makin ke sini jujur saja muncul pertanyaan di benakku, beda antara suka ama demen tipis sekali. Aku tidak demen ama mas itu, tapi suka aja lihat tingkah polahnya. Tapi lama-lama bisa saja suka itu jadi demen kalau aku sendiri tidak bisa mengendalikan "tindakan gila" di atas. Lucu memang kisah-kisah macam ini. Aku anggap ini sebagai kenangan, kenangan yang terlupakan saat aku berumur 20 tahun. Kenangan gila yang aku miliki di tengah frustasi hidup di teknik kimia. Nge-fans pada mas Oki menjadi sesuatu yang tidak akan aku sesali karena menurutku itu bukan hal salah.